Budaya Cina dalam Kultur Masyarakat Jawa-Cina Tulungagung
dari kiri dikenal dengan Kong F Tse ,, tengah, saya lupa, dan ketiga dikenal dengan pendiri Touisme. |
Hampir di setiap kota di Indonesia saat ini akan ditemukan satu dua atau lebih klenteng atau bangunan umat beribadah masyarakat Cina. Mereka yang sudah berpuluh-puluh tahun dari nenek moyang hingga saat ini menjadi bagian dari Indonesia. Akan sangat menyenangkan jika sejak dini mahasiswa mengenal masyarakat yang beragam dari lingkungan mereka sendiri. Sebenarnya, tidak lah baru untuk mahasiswa Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah IAIN Tulungagung berkunjung ke beberapa rumah ibadah. Tradisi ini sudah lama dirintis oleh HMJ, bahkan mereka membuat paguyuban anak muda antar iman.
Nah, semester ganjil kemarin saya mengajar kelas Perbandingan Agama di
jurusan tersebut. Maka, aku usahakan untuk melakukan kunjungan dan mulai
membangun hubungan ke salah satu Klenteng di Tulungagung. Klenteng ini terletak
di pinggiran jalan besar sehingga mudah sekali ditemukan. Nama Klentengnya
adalah Tjoe Tik Kiong, terletak di Jalan Wage Rudolf Supratman No. 10 Kelurahan
Kampungdalem, Kecamatan Tulungagung, Kabupaten Tulungagung. Jalur bus dari
Tulungagung ke arah Surabaya akan melewati klenteng ini, letaknya juga
berdekatan dengan hotel yang cukup besar, yakni Hotel Bharata.
narasumber atau Guru di Klenteng menjelaskan kepada mahasiswa tentang beberapa simbol, |
Untuk dapat berkunjung ke klenteng ini, saya menghubungi pengurus dan
merencanakan kedatangan mahasiswa. Secara sangat baik, pengurus dan keluarga
besar klenteng menyambut kedatangan mahasiswa dan langsung diajak untuk
berkeliling. Berbeda dengan sebagian besar masyarakat yang menilai bahwa warga
cina adalah beragama Kong Hu Chu, namun perlu diketahui bahwa terdapat banyak
sekali varian kepercayaan dan keyakinan masyarakat cina, namun yang paling
mudah dikenali adalah dengan melalui budayanya, seperti simbol dan ragam
keseniannya. Seperti juga klenteng ini, tidak hanya untuk penganut Kong Hu Chu,
seperti juga budaya masyarakat Cina untuk menghormati nenek moyang dan
dewa-dewi yang dipercaya memberikan berkah dan doa kepada kehidupan mereka.
Ada juga dari pengguna klenteng yang memiliki keyakinan Buddha Matrayana, salah satu dari varian Budhisme yang mengenal tokoh Buddha Matrayana. Nah, sampai di sini ceritanya sangat panjang, perlu belajar lagi untuk menjalskan berapa banyak varian tradisi keagamaan dalam agama Buddha. Khusus untuk Kong Hu Chu juga memiliki altar di klenteng ini. So, sungguh benar-benar tidak ada yang seragam atau tunggal bahkan pada satu rumpun budaya sekali pun, tidak hanya pada Islam, Jawa atau identitas lainnya.
Ada juga dari pengguna klenteng yang memiliki keyakinan Buddha Matrayana, salah satu dari varian Budhisme yang mengenal tokoh Buddha Matrayana. Nah, sampai di sini ceritanya sangat panjang, perlu belajar lagi untuk menjalskan berapa banyak varian tradisi keagamaan dalam agama Buddha. Khusus untuk Kong Hu Chu juga memiliki altar di klenteng ini. So, sungguh benar-benar tidak ada yang seragam atau tunggal bahkan pada satu rumpun budaya sekali pun, tidak hanya pada Islam, Jawa atau identitas lainnya.
salah satu pahatan atau relief di dinding klenteng adalah cerita tentang 36 Buddha |
Oke, dalam gedung Klenteng yang tampak kecil dari luar ini, sebenarnya
terdapat banyak ruangan dan luas dan penuh dengan simbol dan ajaran budaya
Cina. Dari Halaman Paving, itu sebelah selatan adalah aula besar yang biasanya
digunakan untuk acara-acara bersama, kemudian ada ruang pertemuan, dan ruang
pengurus, kemudian lokasi peribadatan.
Untuk masuk ke dalam klenteng, yang ingin berdoa harus cuci tangan dan
berdoa (dengan bahasa cina tentunya... ) dan terdapat pendeta yang akan
membunyikan semacam mangkuk dari kayu dan besi yang dibunyikan berturut-turut
dan nyaring. Kemudian, orang tersebut akan mengambil dupa untuk dipersembahkan
dahulu kepada Thian, atau Tuhan yang Maha Esa, altarnya terletak di paling
depan klentang, akan terlihat dari luar klenteng, yakni berupa gentong besar
berwarna emas dan ditanamkan di situ dupanya, diapit dengan beberapa lilin
raksasa berwarna merah. Orang tersebut akan melakukan sujud sebanyak tiga kali
berturut-turut, dalam rangka membersihkan hati.
altar untuk penganut Kong Hu Chu |
Kemudian, orang tersebut menuju kepada dewa yang berada di Klenteng Tjoe
Tik Kiong dikenal dengan Mak Co Thian Siang Seng Bo merupakan Dewi Laut,. Dewi
ini memiliki banyak cerita yang dirasakan langsung oleh masyarakat Tulungagung,
salah satu dari narasumber, menceritakan bahwa terdapat seorang nelayan yang
hampir mati tenggelam karena badai yang menerpa kapalnya, kemudian melihat
sosok perempuan dan menyelamatkannya, hingga ia menemukan bahwa sosok tersebut
berada dalam Klenteng Hok Tek Tjeng Sien sebagai seorang Dewi Pelindung.
Di ruangan yang sama, juga terdapat Dewa Hok Tek Tjeng Sien (Dewi Bumi) dan
Ka Lam Ya. Ka Lam Ya adalah salah satu ‘malaikat pintu’ versi Buddha yang
sering digambar (berpakaian perang lengkap dengan membawa kampak sebagai
senjatanya) di daun pintu bersama-sama Wie Tho (berpakaian perang dengan membawa
gada penakluk iblis), sebagai pelindung bangunan-bangunan suci atau klenteng.
Di dinding ruangan ini terdapat lukisan yang seperti pahatan, dan juga perlengkapan persembahyanngan lainnya, seperti lemari yang menyimpan catatan berdoa (ramal) khas budaya Cina, seperti menggunakan bidak kecil dua dari kayu sama persis dan dilempar bersamaan setelah berdoa. Kedua bidak itu akan merujuk pada jawaban dewa terhadap pertanyaan umat manusia. Selain itu, juga ada metode bertanya dengan beberapa bilah kecil bambu yang sudah dinomeri (menggunakan nomor cina tentunya), sehingga orang berdoa bisa menggoyang tempat bilah dengan pelan-pelan hingga terdapat satu dari banyak bilah tersebut jatuh. Nah, angka yang berada pada bilah akan tertuju pada lemari catatan doa, dan akan dibacakan oleh pendeta, mau mencoba?
Di dinding ruangan ini terdapat lukisan yang seperti pahatan, dan juga perlengkapan persembahyanngan lainnya, seperti lemari yang menyimpan catatan berdoa (ramal) khas budaya Cina, seperti menggunakan bidak kecil dua dari kayu sama persis dan dilempar bersamaan setelah berdoa. Kedua bidak itu akan merujuk pada jawaban dewa terhadap pertanyaan umat manusia. Selain itu, juga ada metode bertanya dengan beberapa bilah kecil bambu yang sudah dinomeri (menggunakan nomor cina tentunya), sehingga orang berdoa bisa menggoyang tempat bilah dengan pelan-pelan hingga terdapat satu dari banyak bilah tersebut jatuh. Nah, angka yang berada pada bilah akan tertuju pada lemari catatan doa, dan akan dibacakan oleh pendeta, mau mencoba?
Kemudian lagi, masuk ke ruanga di balik ruang pertama tadi, terdapat ruang
untuk persembahyangan kepada Kwan She Im
Pho sat (Dewi Welas Asih), Kong Tek Cun Ong (Raja Mulia yang memberi berkah
berlimpah), dan Co Su Kong (Dewa yang berwajah hitam dari Cadas Air Jernih). Di
ruang yang sama itu juga terdapat persembahyangan untuk umat tridharma, yakni
terdapat Kong Hu Chu, Tao, dan juga Buddha Matrayana. Ruangan ini lebih terang
dan pencahayaa yang baik, dicat putih berbeda dengan ruang sebelumnya yang
hampir semua ornamen berwarna merah dan emas. Ruang ketiga adalah untuk
peribadatan umat Buddha, ruangannya sangat luas dan tenang.
altar di ruang ketiga |
Kunjungan ini juga dilengkapi dengan dialog dan saling bertukar cerita dan
ramah tamah, semoga para mahasiswa dapat mendapatkan pengalaman yang akan
mempengaruhi cara pandang mereka tentang Indonesia, selain itu juga saya sangat
berterima kasih kepada pengurus yang memberi banyak sekali pengatahuan,
persahabatan dan keramahan. Semoga ada kesempatan lagi untuk berkunjung dan
bersilaturahmi.
1 komentar: