Merajut Imajinasi Keberagaman Yogyakarta
Masjid Gedhe Keraton |
Yogyakarta merupakan salah satu kota yang memiliki tingkat keragaman tinggi
di Indonesia, khususnya Jawa. Oleh karena itu diperlukan manejemen tentang
keberagaman yang mampu bersinergis dengan kebijakan pemerintah maupun budaya
masyarakat setempat. Berdasarkan penelitian sejarah Yogyakarta, Dosen Fakultas
Sosial dan Ilmu Politik Universita Atma Jaya Yogyakarta, Argo Twikromo
menyatakan tahapan sejarah pada masa lalu, telah membentuk unconsiusness contruction of diversity atau konstruksi di bawah alam masyarakat Yogyakartasadar terhadap
keberagaman. Hal itu meliputi bagaimana masyarakat hidup dalam konstruksi
keberagaman dan perkembangan pengelolaan keberagamaan hingga sekarang.
Demikian dijelaskan dalam Wednesday Forum, Rabu (20/3) yang diselenggarakan
oleh Indonesian Consortioum of Religious Studies (ICRS) dan Center for
Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Pada kesempatan tersebut. Argo Twikromo menerangkan konteks sejarah di
Yogyakarta yang akan sangat mempengaruhi kontruksi alam bawah sadar masyarakat.
Konteks sejarah tersebut antara lain pembagian unit pemukiman, unit militer,
kampung kauman, serta berdirinya Universitas Gadjah Mada.
Lebih lanjut, Twikromo memaparkan kebijakan Keraton Yogyakarta
memperbolehkan penggunaan lahan untuk pemukiman bagi warga asing. Seperti
wilayah Kota Baru yang dihuni oleh warga Eropa dan Ketandan oleh warga Cina.
Hal lain yang dipertimbangkan adalah keberagaman dalam unit kemiliteran.
Pasukan militer tidak hanya berasal dari Jawa, tetapi juga Bugis. Bahkan
terdapat cerita, Sultan Yogyakarta memberikan anugerah gelar kepada seorang
Kapten Cina bernama Tan Jin Sin dengan gelar Kanjeng Raden Tumenggung
Setyodiningrat (1760-1831).
abdi dalem di Keraton Yogyakarta |
“Sultan merespon keberagaman dengan mengundang perwakilan raja atau suku
dari negara lain dalam ritual gerebeg. Bagi mereka yang melihat kirab gerebeg,
maka secara tidak langsung akan terbangun kesadaran bahwa adanya berbagai
macam suku maupun budaya di luar Jawa. Hal itu akan mempengaruhi bahkan
membentuk emosi dan pemahaman masyarakat tentang keberagaman,” terang Twikromo.
Keraton sebagai cermin masyarakat, sebagaimana terlihat dalam gambar-gambar
perarakan perayaan Garebeg dalam buku yang berjudul Den Garebeg Optoct van den Sultan van Djogjokarta at 5 May 1857, menggambarkan berbagai
suku bangsa yang diundang dan hadir dalam perarakan upacara gerebeg, antara
lain suku Amfoang (Timor), Amarasi (Timor), Solor, dan Rote dari Timur
Indonesia serta suku Sunda dan Madura, juga ditunjukkan warga Belanda, Arab dan
Cina dalam rombongan gerebeg. Konteks yang demikian menjelaskan dukungan
pemegang kekuasaan melalui pendidikan sosial tentang keberagaman kepada
penduduk setempat. “Bagi saya, diversity (keberagaman) itu persoalan mindset,” tegas Twikromo.
Diskusi menjadi semakin menarik ketika pengalaman keberagaman di Yogyakarta
dibandingkan dengan di Solo. Twikromo mengungkapkan, Solo sebenarnya juga
memiliki latar belakang pengalaman yang hampir sama sebagai masyarakat yang plural. Hal itu berlangsung hingga
sekarang, misalnya Kho Tjien Tiong, atau dikenal dengan Teguh Slamet
Rahardjo, merupakan warga cina yang menciptakan panggung Srimulat. Padahal,
Srimulat merupakan hiburan lawak dengan konteks budaya jawa yang sangat kental.
“Namun mengapa di Solo terjadi beberapa kerusuhan. Hal ini menarik bagi
saya. Mungkin, karena di sana pernah terjadi tragedi Geger Pecinan yang juga
mempengaruhi alam bawah sadar masyakarat dalam merespon keberagaman. Meskipun
sebenarnya warga Cina hanya salah satu dari empat kelompok yang terlibat dalam
tragedi tersebut,” tutur Twikromo.
Oleh karena itu, menurutnya, pendidikan sosial budaya tentang kebaragaman
sangatlah penting. Kemudian, berdirinya Universitas Gajah Mada pada tahun 1949,
memberikan efek yang sangat kuat terhadap relasi sehari-hari masyarakat dalam
mengelola keberagaman. Twikromo menekankan bahwa konteks sejarah telah
membangun konstruksi keberagaman, yang tentunya telah dibingkai dalam proses
yang panjang.
Berdasarkan konteks keberagaman yang kaya tersebut, maka dibangun citra
tentang Yogyakarta sebagai kota sepeda (pada waktu lampau), kota pendidikan,
kota perjuangan, kota budaya, kota pariwisata, “berhati nyaman” dan “kota
toleransi”. Namun sayangnya, akhir-akhir ini ditemui bentuk keberagaman yang
semakin sempit. Twikromo menunjukkan kepada peserta Wednesday Forum, beberapa
gambar yang mengungkapkan kecenderungan tersebut, seperti perumahan, pemakaman,
dan kos-kos yang hanya khusus diperuntukkan satu pemeluk agama tertentu.
Hal itu mengundang berbagai tanggapan dari peserta diskusi. Salah satunya Leonard C. Epafras menanyakan tentang batas
kebijakan tentang pengelolaan keberagaman. Hingga saat ini, warga Cina tidak
diperbolehkan memiliki tanah di Yogyakarta. Mereka hanya memperoleh hak guna
bangunan. Beberapa peserta diskusi juga kurang setuju jika Yogyakarta dibandingkan
dengan Solo. Selain Solo dan Yogya sebelumnya adalah di bawah satu kerajaan
yang sama, tetapi juga saat ini Solo merupakan kota yang memberikan ruang
kepada keberagaman dengan tidak kalah baik dari pada Yogyakarta.
Twikromo mengaku bahwa secara detail pihaknya tidak tahu banyak tentang
kebijakan kepemilikan tanah. Namun, pembagian tempat pemukiman penduduk selain
mengakui adanya ‘pihak lain’ sebagai bagian dari keberagaman, tetapi juga
berdampak bahwa seseorang hidup dikotak-kotakkan di dalam keberagaman.
Sayangnya saat ini, tidak ditindaklanjuti dengan perundang-undangan yang kuat
dalam melindungi pengakuan keberagaman yang setara. Maka dari itu, sangat
penting dikembangkan perlindungan nyata terhadap keberagaman.
Terkait perbandingan kedua kota yang di sebut di atas, Twikromo berargumen
bahwa perbandingan tidak dimaksudkan untuk menunjukkan satu lebih baik dari
yang lain. Namun lebih pada usaha untuk memberikan pemahaman bahwa ‘ingatan masa
lalu’ seringkali memberikan pengaruh unconciousness untuk mengakui ‘yang lain’.
“Akhirnya, unconsiousness condition menjadi kontruksi
bagaimana masyarakat mengalami keberagaman. Kita memiliki pengalaman, khususnya
konteks sejarah Yogyakarta. Hal itu tetap hidup di bawah alam sadar kita. Yang
kemudian diberikan kepada anak cucu kita hingga sekarang,” kata Twikromo. (Mahmudatul Imamah/CRCS UGM)
Artikel keren gan. Saya penjual motor
BalasHapus