Agama Republicanism Perancis
Perancis memiliki ideologi dasar republikanisme yang dalam pengertian
tertentu menjadi ‘agama’ dalam sistem pemerintahan. Hal itu memberi dampak
tidak hanya terhadap Perancis tetapi juga negara jajahannya, bahkan masa
kolonial kekaisaran Perancis. Demikian dijelaskan oleh Michael G. Vann, Ph.D, Profesor Sejarah California State
University melalui beberapa ikonografi kota pada masa
1871-1940 di Indochina, pada Wednesday Forum, 3 April 2013 di Gedung Pascasarjana UGM.
Setelah peritiwa Perang Salib terdapat konflik politik antara agama dan
negara. Pada saat itu Perancis masih berbentuk kerajaan dan memiliki hubungan
kuat dengan Vatikan. Pada tanggal 26 Agustus 1789 terbentuk deklarasi hak
manusia dan warga negara, dan republikan pertama. Kemudian, masa Republikan
Ketiga terjadi sekulerisasi secara menyeluruh di Perancis yang menyebabkan
kebijakan pemisahan agama dan negara. Hal demikian berdampak langsung terhadap Perancis termasuk, wilayah kolonialnya dan hubungannya dengan negara Eropa maupun
misi kristenisasi.
Menurutnya, sejarah Perancis sangat penting untuk diketahui terkait alasan
mengapa Pemerintah Perancis mempunyai kebijakan penolakan simbol-simbol agama
di ruang publik. Bagi Vann, Perancis sangat menarik karena ia memiliki karakter
sejarah berbeda dibanding negara-negara eropa lainnya. Khususnya tentang misi
kristenisasi yang tidak bisa dipisahkan dari kolonialisme.
Vann menjelaskan lebih jauh hubungan kolonialisasi dan penyebaran agama
Kristen. Kerajaan-kerajaan Eropa pada umumnya memiliki ikatan sangat kuat
dengan Kristen, khususnya Katolik dibawah pengaruh Paus. Pada masa Perang
Salib, identitas Eropa sama artinya dengan identitas Kristen. “Menjadi Eropa
berarti menjadi Kristen,” tegas Vann.
Kolonialisasi merupakan bagian dari tugas suci untuk menyebarkan Agama
Kristen di seluruh belahan bumi. Pada saat bersamaan, Islam dinilai sebagai
musuh agama (religious enemy). Tidak hanya Islam tetapi juga agama-agama
asli lainnya yang disebut sebagai pagan. Akibatnya, istilah yang digunakan pada
masa Perang Salib dalam mengidentifikasi musuh-musuh agama Kristen juga dipakai
di seluruh dunia, bahkan diadosi oleh penduduk lokal. Misalnya penjajah Eropa
menyebut populasi muslim di Afrika sebagai Moro, yang istilah tersebut juga
dipakai untuk muslim Filipina. Kebijakan tersebut dipertegas dengan tiga
pilihan untuk populasi muslim di Andalusia. Yakni mati, berpindah agama, atau
meninggalkan tanah Eropa.
Kolonialisasi, menurut Vann, sebenarnya tidak hanya bertujuan untuk mencari
rempah-rempah, tetapi hasil penjualan rempah-rempah tersebut akan digunakan
untuk biaya missionaris. Sebagaimana Columbus yang menemukan dunia baru yang
saat ini disebut Amerika. Demikian juga Vasco Da Gama yang mencari
rempah-rempah hingga ke India dan negara-negara Asia Tenggara. Keduanya
merupakan anggota tentara suci yang membawa identitas militer kristen. Mereka
bertugas untuk mencari pembiayaan agenda misionari sebagaimana perintah gereja.
Namun demikian, Perancis berlainan sikap dengan kerajaan-kerajaan eropa tersebut.
Alih-alih menyebarkan agama seperti selayaknya konsepsi Eropa tentang Tuhan,
Perancis cenderung bersikap anti-cleric. Perancis mengedepankan nilai-nilai
modernitas, kewarganegaraan, dan upaya-upaya untuk menghasilkan uang. Hal itu
terjadi setelah revolusi Peranci, ditandai dengan berkurangnya peran agama
dalam pemerintahan.
Sebelumnya, gereja memiliki pengaruh yang sangat penting dalam sistem
politik Perancis. Dalam bentuk masyarakat feodel, Perancis mempunyai susunan
sosial yang bertingkat. Golongan pertama adalah pemimpin agama Kristen (clerics),
kedua adalah para bangsawan (nobility), dan ketiga adalah masyarakat
lainnya. Herarki tersebut berimplikasi terhadap hak-hak politik dan hak-hak
istimewa berdasarkan tingkatan tertinggi.
Karena alasan-alasan politik yang bersifat herarkis tersebut, masyarakat
mulai melakukan perlawanan Mereka menuntut seharusnya warga negara memiliki
suara yang sama tanpa herarki yang hanya menguntungkan sebagian kecil golongan.
Warga yang marah tersebut menyerang gereja dan para bangsawan. Mereka
menjauhkan segala sesuatu dari kekuasaan gereja dan membentuk keyakinan baru
yang disebut republikanism. Yakni keyakinan bahwa manusia memiliki nilai-nilai
filosifis yang baik lepas dari pengaruh gereja maupun agama apa pun.
Pada masa Republikan, Perancis mengakui hak-hak universal manusia, termasuk
di negara-negara jajahannya, seperti Sinegal dan Vietnam. Namun, karena ingatan
yang buruk tentang kekuasaan politik gereja di Perancis, maka warga negara
harus mendapatkan perlindungan dari pengaruh agama. Artinya, pemerintah terus
mengupayakan pemisahan agama dan negara secara keseluruhan.
Hal itu ditegaskan dengan kebijakan bahwa sekolah maupun rumah sakit tidak
diperbolehkan dikelola oleh gereja atau institusi agama lainnya. Segala hal
terkait simbol-simbol keagamaan juga dilarang untuk dipertunjukkan di
ruang-ruang publik, apalagi kantor-kantor pemerintahan. Oleh karenanya, siswa
di Perancis dilarang memakai kerudung di sekolah. Pemerintah berusaha agar
segala sesuatu terkait agama hanya menjadi kepentingan privasi masing-masing
individu.
Namun demikian, Michael Vann juga menemukan hal-hal yang kontras dengan
semangat anti-agama. Sikap tersebut bukan berarti tidak mengurangi kebijakan
penjahahan Perancis di Indocina. Vann melihat kontradiksi
dalam beberapa kartun, poster, kartu pos, maupun arsitektur bangunan di Kota
Hanoi, Vietnam. Misalnya, ada patung Paul Bert, seorang republikan, ilmuwan,
dan anti-clerix, dan patung liberty di atas Pagoda di Vietnam. (Mahmudatul
Imamah/CRCS UGM)
0 komentar: