Koeksistensi Dua Peradaban: Islam dan Cina
salah satu klenteng di Goa Batu Sam Po Kong |
Profesor Yang Guiping memaparkan Islam datang setelah Gengis Khan
menaklukkan Asia Tengah dan Asia Timur. Ribuan muslim secara sukarela
berimigran ke Cina. Hal itu tidak hanya karena dorongan ekonomi, tetapi juga
kondisi politik Dinasti Yuan yang tidak memberikan batasan jumlah imigran. Selain itu, Dinasti Yuan juga memberikan hak kebebasan beragama kepada penduduk
Cina. Didukung dengan
jalur perdagangan aman, seorang Hui Muslim, Zheng He bisa membawa produk-produk
Cina seperti sutera dan porselen ke berbagai negara di Asia, yang tentu
menguntungkan perekonomian Cina.
Hingga saat ini, Islam merupakan agama pribumi Cina, meskipun hanya
suku-suku minoritas yang memeluknya. Jumlah penduduk muslim sekitar 1,6 persen dari seluruh
penduduk di Cina. Dari 56 suku, terdapat sepuluh suku minoritas yang sebagian
besar penduduknya beragama Islam, yakni Hui, Uighur, Kazak, Dongxiang, Kirghiz, Salar, Tajik,
Uzbek, Bonan and Tatar. Jumlah tersebut jika dibandingkan dengan Suku Han yang mencapai 91, 59 % dari seluruh jumlah penduduk, sisanya 8,41 % merupakan suku minoritas, maka jumlah pemeluk Islam sangat lah kecil. Meskipun begitu
bukan berarti Peradaban Islam tidak dapat mempengaruhi perkembangan Peradaban
Cina sama sekali.
Secara umum, Islam dipraktikkan dalam kehidupan
pribadi, keluarga atau komunitas muslim sendiri. Namun di ruang publik,
penganut Islam bergabung dalam sistem sosial maupun ekonomi Cina. Mereka
menggunakan nama Cina, pakaian Cina, berbicara dengan Bahasa Cina, dan belajar
karakter-karakter Kebudayaan Cina sebagaimana budaya Suku Han.
Setelah Republik Rakyat China didirikan pada tahun 1949, muslim dengan
latar belakang berbagai etnis mempnyai
kesempatan dalam berpartisipasi dalam pembangunan politik, ekonomi dan budaya
di Cina. Namun, pada Revolusi Kebudayaan (1966-1976), karena kebijakan etnis dan agama yang ketat, menyebabkan pelarangan keyakinan
agama, termasuk Islam. Baru pada reformasi tahun 1978, kebebasan keyakinan
agama dibuka kembali dan memberi peluang baru Islam untuk berkembang di Cina.
Menurut perkembangan terakhir, terdapat 23 juta muslim
di Cina, di antaranya 17 juta tinggal di barat laut Cina --- 12.020.000 di
Daerah Otonomi Xinjiang Uygur, 2,2 juta di Ningxia Daerah Otonomi Hui, 1,76
juta di Provinsi Gansu, dan satu juta di Provinsi Qinghai. Sekitar 90% dari
muslim di Cina adalah Sunni, yang tinggal di seluruh negara bagian. Adapun
Muslim Syiah diikuti oleh Suku Tajik dan sejumlah kecil Suku Uygurs di Shache
County. Mereka merupakan pengikut Ismailiyah dan Ithna Ashariyah. Ada juga yang disebut dengan Muslim Menhuan, yakni kelompok muslim yang mengkombinasikan antara ajaran
tasawuf dan budaya lokal Cina.
Kemudian muncul pertanyaan, mengapa hanya suku minoritas Cina yang memeluk
Islam. Profesor Yang Guiping menjelaskan bahwa baik imigran maupun Mulim Cina
pribumi tidak secara aktif mengkonversi keyakinan Suku Han maupun suku
minoritas non-Islam menjadi islam. Selain itu, ilmu agama Islam, seperti
Al-Qur'an, hadits, kalam, dan syariah hanya dipelajari oleh muslim elit, yakni
imam, akhonds dan mullah. Bahasa Arab yang hanya digunakan dalam ritual keagamaan berada di luar pemahaman muslim
secara umum dan non-muslim di Cina.
Selain itu, kurangnya dukungan politik dari pemerintah pusat yang menjadi faktor mengapa hanya suku
minoritas yang memeluk Islam, menurut Yang Guiping, faktor penting
lainnya adalah perbedaan doktrin antara Islam dan Cina. Islam mengajarkan keyakinan dasar, seperti monoteisme, takdir, hari akhir dan hari kebangkitan. Hal itu secara esensial bertentangan keyakinan tradisional Cina seperti
Konfusianisme, Buddhisme dan Taoisme. Oleh karena itu, Islam sulit mempengaruhi
mayoritas Cina.
Budaya Islam berbeda dengan budaya tradisional Cina dalam hal pemikiran,
kitab suci, lembaga, dan ritual. Jika budaya Islam bertumpu pada Agama (Tian
Dao), maka budaya tradisional Cina berorientasi pada Etika (Ren Dao). Islam
menekankan adalah tanggung jawab moral utama dan akuntabilitas Muslim
berdasarkan keberadaan supranatural Tuhan dan kemahakuasaan-Nya. Hubungan
antara Allah dan umatnya menjadi sangat penting.
Adapun budaya tradisional Cina menekankan pentingnya hubungan manusia,
tanggung jawab individu kepada keluarga, kerabat dan masyarakat, serta ideologi
hirarkis. Ideologi ini mengacu pada lima kebajikan dalam masyarakat Cina
tradisional, yaitu mematuhi etika hubungan dalam hal kebajikan, keadilan,
kesopanan, kebijaksanaan dan keyakinan dalam lima hubungan: bahwa antara kaisar
dan menteri, ayah dan anak, suami dan istri, saudara muda dan tua, dan antara
teman-teman.
Walaupun pada sisi esensial nampak bertentangan, tetapi bagi Yang Guiping,
Islam dan Budaya Cina lebih banyak saling melengkapi dalam kehidupan
masyarakat. Misalnya, Hui Ru, kelompok muslim konfusian yang mengenal empat
ajaran (Islam, Konfusianisme, Buddhisme dan Taoisme) telah mengembangkan
filosofi religius dan keislaman yang sistematis dalam Kitab Han.
Salah satu ajaran dijelaskan bagaiman rukun islam diinterpretasikan dalam
lima nilai konfusianisme, Shahadah --- Righteousness (知所归,不忘主恩,义), Salat --- Benevolence (践所归之路,仁), Puasa---Propriety (斋以绝物,礼), Zakat--- Wisdom (课以忘己,智), dan Haji---Trustfulness (复命归真,信). Adapun Kebenaran Tunggal dalam
Konfusianisme memiliki Inti (Ti), Function (Yong), Actions (Wei), sejajar dengan Allah yang
memiliki Dzat, atribute (Shifat), names (Ism), and command (Af’al).
Bahkan dalam arsitektur, muslim menyerap elemen Budaya Cina dalam
pembangunan masjid. Selain itu, muslim Cina juga menggunakan tiga penanggalan,
kalender solar, kalender lunar dan kalender islam. (Mahmudatul Imamah/CRCS UGM)
kemegahan Klenteng Sam Po Kong, meskipun klenteng umat Kong Hu Cu tetapi dipercaya pembawanya yakni Laksamana Ceng Ho beragama Islam |
Artikel keren gan. Saya penjual motor
BalasHapus