Politik Opium, Politik Monopoli Kolonial Belanda
Abdul Wahid menyampaikan sejarah Opium pada masa Belanda |
Abdul Wahid, SS., M.Hum., M.Phil., Dosen
Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada dalam presentasi
di Wednesday Forum (12/3) di CRCS, menceritakan tentang kebijakan opium di Jawa
pada tahun 1870s-1930s. Menjawab pertanyaan di atas, Wahid menjelaskan bahwa
opium adalah komoditas mewah bahkan sebelum Bangsa Eropa masuk dalam kepulauan
nusantara. Kemudian, Belanda memonopoli perdagangan opium sejak pertengahan
abad 17. Namun demikian, Wahid menegaskan, opium tidak pernah ditanam di Jawa,
seluruhnya diimpor dari India dan Turki yang pendistribuasiannya didominasi
oleh Inggris. Sebagai bisnis yang sangat menguntungkan, pernggunaan opium di
masyarakat meningkat dengan cepat, sehingga menuntut bertambahnya perusahaan
cabang di berbagai negara.
Wahid membagi kebijakan opium oleh
Pemerintah Kolonial Belanda menjadi tiga masa. Pertama, pada masa VOC ( Vereenigde
Oostindische Compagnie-
Kongsi Perdagangan Hindia Timur) the Opium Society
(Amfioen Sociëteit) in 1745. Kedua, akhir masa kekuasaan VOC, mulai abad 19, Pemerintah
Kolonial Belanda menerapkan pacthstelsel atau opium
tax farming. Melalui Pacthstelsel,
Pemerintah membuat kebijakan untuk mengontrol adminsitrasi bisnis dengan
memberikan lisensi kepada pecandu atau agen-agen distribusi. Lisensi tersebut
digunakan sebagai syarat izin resmi pembelian opium. Salah satu Pacthstelsel berada di Semarang, yang
mempunyai kewenangan terhadapan distribusi opium di wilayah Semarang dan
sekitarnya.
Bisnis opium pun semakin meningkat dan
berbahaya jika tidak mendapatkan kontrol yang kuat. Penghasilan terbesar
pemerintah dari bisnis opium selama 99 tahun (1816-1915) terjadi pada tahun
1886-1895, sebesar 182,1 juta gulden. Kemudian memasuki abad 20, keuntungannya
mencapai hingga 79 % dari penjualan opium sebesar 163,5 juta gulden. Oleh
karena itu, Pemerintah Kolonial Belanda pun mengubah kebijakan dari bisnis
opium yang bersifat perusahaan swasta menjadi milik negara. Pada abad 20,
Pemerintah Kolonial Belanda secara langsung memonopoli opium (opiumregie).
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahkan
sebelum Belanda memasuki Nusantara, opium sudah digunakan untuk beberapa
tujuan, seperti penghilang rasa sakit dalam kebutuhan pengobatan, obat capek,
dan kesenangan. Cara mengkonsumsinya pun dengan cara berbagai macam, seperti
dimakan, diminum, dan dihisap. Hingga tahun 1870s, muncul kritik terhadap dampak
penggunaan opium. Diantaranya meningkatnya jumlah pasar gelap dan
penyelundupan, bertambahnya jumlah pengguna opium dari kalangan pribumi, dan
berkembangnya masalah sosial, seperti masalah kriminal, kekerasan, korupsi, dan
menurunnya kesejahteraan masyarakat pribumi. Secara tidak langsung, hal-hal
tersebut berakibat pada rentan tindakan korupsi di kantor-kantor administrasi,
degradasi kualitas kesehatan masyarakat, dan munculnya ‘negara dalam
negara’. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, negara mereformasi sistem
administrasi opium pada tahun 1894-1915.
Setelah 15 tahun, sistem baru secara resmi
diperkenalkan oleh Pemerintah Belanda untuk meningkatkan keuntungan dan
tanggung jawab sosial atas bisnis opium. Di bawah sistem ini, pemerintah
berusaha untuk mengkontrol rantai bisnis opium melalui beberapa tahapan.
Pertama, pemerintah membangun pabrik modern pengolahan opium yang sudah
distandarisasikan. Kedua, pemerintah menciptakan birokrasi yang mengelola opium
secara modern, sehingga mampu menekan penjualan opium di pasar gelap yang
dijalankan oleh mafia-mafia cina. Ketiga, pemerintah juga mengatur peredaran
opium melalui kebijakan penentuan harga opium sekaligus sistem registrasi
penggunaan opium. Keempat, pemerintah membangun angkatan militer anti-opium
yang terdiri atas polisi dan angkatan laut yang bertugas menangani
penyelundupan dan pasar gelap. Sistem tersebut memang mampu mengatasi masalah
adminitrasi bahkan mendapatkan keuntungan yang besar, namun tidak menyelesaikan
masalah sosial yang disebebkan oleh opium.
Sistem monopoli dalam bisnis opium oleh
Pemerintah Belanda, sebagaimana di atas, dikenal dengan the opiumregie. Pada masa tersebut,
hanya pengguna opium yang teregistrasi dalam adminsitrasi pemerintah Belanda
yang boleh membeli dan menggunakan opium. Namun demikian, sistem tersebut tidak
bisa lepas dari manipulasi yang terjadi di kalangan pecandu. Nomor registrasi
opium bisa digunakna pecandu lainnya ketika pemilik nomor tersebut meninggal.
Nomor tersebuut bisa juga diperjualbelikan. Kampanye anti penyelundupan opium,
menurut Wahid, sebenarnya sudah cukup efisien, meskipun dukungan terhadapnya
mulai menghilang pada tahun 1930-an. Secara umum, berkurangnya angka konsumsi
opium tidak hanya hasil dari kebijakan pemerintah, tetapi juga berbagai faktor
internasional lainnya.
Opium menyebabkan masalah kesehatan sejak
jumlah pecandunya meningkat. Sayangnya, baru dari tahun 1915 dan 1926
dibangun rumah sakit anti-opium yang diprakarsai oleh organisais swasta semacam
Anti-Opiumvereeniging (AOV). Pada tahun 1930, terdapat 21 rumah sakit/klinik
yang meningkat menjadi 41 pada tahun 1930. Namun rumah sakit juga mengalami
kesulitan finansial karena kurangnya dukungan dana dari pemerintah, panjangnya
masa yang dibutuhkan untuk terapi bebas opium sekitar 20 hingga 40 hari,
mahalnya biaya perawatan, sedangkan sebagian besar pasien pribumi berasal dari
kelompok masyarakat dengan penghasilan rendah.
Namun, gerakan anti opium sayangnya hanya
berpusat di Jawa, padahal, sebagian besar peredaran sudah mulai berpindah ke
Sumatra dan pulau-pulau lainnya di nusantara. Komitmen politik untuk mencegah
terjadinya penyelundupan pun dilakukan setengah hati. Pada tahun 1930, dalam
the ‘opium squad’ hanya terdapat 207 laki-laki, yang hanya difasilitasi satu
mobil, 38 sepeda, dan 8 kapal patroli, untuk mengawasi titik-titik
penyelundupan opium di Jawa. Lebih buruk, sebagian aparat justru ikut membantu
proses penyelundupan opium
Wahid berkesimpulan pemerintah kolonial
tidak berhasil memecahkan masalah opium. Hal itu karena kapasitas pemerintah
kolonial mengalami kendala baik disebabkan faktor internal maupun eksternal,
khususnya faktor sikap ambivalen pemerintah dalam menangani opium. Hal itu
karena ketidakmampuan pemerintah untuk berhenti mengambil keuntungan dari
bisnis opium meskipun mendapatkan tekanan kebijakan internasinal dan
meningkatnya permasalahan sosial yang disebabkan oleh opium. Tidak hanya bentuk
penanganan yang setengah hati, yang hanya berpusat di Jawa, tetapi juga
kegagalan pemerintah untuk mendisiplinkan aparatnya dari tindakan-tindakan
kriminal yang mendukung proses distribusi opium secara ilegal. Dengan
demikian, Wahid menegaskan berkurangnya peredaran opium di nusantara tidak
hanya merupakan capaian pemerintah kolonial tetapi juga atas pengaruh
faktor-faktor internasional seperti tekanan kebijakan ekonomi dan traktat
anti-opium antar negara.(Mahmudatul Imamah/CRCS UGM)
Artikel keren gan. Saya penjual motor
BalasHapus