Culture, Modernity and Gender
Laporan
Kunjungan Sekolah Pluralism ke Kraton Yogyakarta Part-2
Pendar-pendar
cahaya merah senja masih jelas di langit. Jalan Malioboro nampak padat,
Terlihat lampion merah sisa perayaan Tahun Baru Cina. Beberapa pemain music
perkusi pun sedang tampil meramaikan jalanan. Lima mobil melalui Gerbang
Plengkung Kraton Yogyakarta, berjalan mengikuti arah selatan dan masuk dalam
tembok-tembok besar yang semakin menyempit.
Turun
dari mobil, tamu mendapatkan arahan abdi dalem kraton, mereka berjalan
beriringan melewati pendopo yang di dalamnya beberapa perangkat gamelan. Pada
ruangan utama, kursi-kursi yang telah ditata sejajar dan saling berhadapan.
Bagian ujung paling depan terdapat sepasang kursi warna merah tua dengan ukiran
lambang Kraton Yogyakarta. Di belakangnya, papan pembatas warna cokelat berukiran hewan, bonsai
sakura di tengah dan di sisi kanan kiri secara simetris ada dua guci cina
sebesar orang dewasa bergambar merak.
Ngarso
Dalem, Raja Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono X dengan ramah menerima peserta Sekolah Pluralisme Kewargaan (SPK) UGM
Yogyakarta, yang diselenggarakan kerja sama Pusat Studi Agama dan Lintas Budaya
UGM, Hivos dan The Kosmopalis
Institut of University for Humanistics Belanda, Kamis (21/2) malam di Kraton
Nyayogyakarta Hadiningrat.
Sultan
Hamengku Buwono X memberi kesempatan peserta SPK untuk
berdiskusi berbagai persoalan yang menjadi pengalaman peserta sekolah
pluralism. Setelah beberapa prinsip budaya dan filosofi Jawa dijelaskan oleh
Sultan sebagai dasar pengelolaan keberagaman, maka Sultan juga menerangkan
lebih lanjut tentang tantangan budaya dalam menghadapi modernisasi, isu
perpecahan dan masalah gender.
Sultan
menyebutkan lima kualifikasi yang menjadi identitas
etnik, yakni bahasa lokal, menu makanan lokal, cara
berpakai lokal,
tradisi dan filosofi lokal. Hal
terpenting yang seharusnya dibangun dalam peradaban manusia adalah bagaimana
manusia berbudi luhur dan berintegritas. Namun sayangnya, pasca-kemerdekaan,
pembangunan hanya menggunakan pendekatan ekonomi. Akhirnya, menurut
penilaiannya identitas Negara saat ini hanya diukur dengan sejumlah uang. Masyarakat grassrote melihat orang kaya itu
jauh dihargai dari pada orang yang bermoral baik. “Akhirnya yang dijumpai apa? Bagi-bagi
kekuasaan. 2014 bingung ya kan? Sedangkan bagi saya, buka siapa yang akan
dipilih, tetapi bagaimana politik ‘bagi-bagi kekuasaan’ harus runtuh di Republik Indonesia ini. Kalau tidak dirubah akan sama lagi, pertanyaannya
akan selalu kapan akan mendapat bagian? Bukan
didasari pengabdian,” keluhnya.
Salah satu peserta dari Jawa Tengah, Burhanudin, pegawai Balai Besar
Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial Jayapura, Papua, menceritakan
pengalaman dan kesulitan yang dihadapinya selama bertugas empat tahun terakhir.
“Saya mempososisikan
diri dengan berbagai identitas ketika berada di papua. Identitas sebagai abdi
negara, Orang Jawa sekaligus pendatang. Saat ini, pandangan dikotomi antara orang asli dan pendatang sangat kuat. Kalau memang dialog itu menjadi salah satu
atau mungkin malah satu-satunya jalan, seberapa besar masa depan Papua agar tetap menjadi bagian dari NKRI,”
tanya Burhan.
Mengenai
isu kemerdekaan Papua dan masalah sosial di sana, Sultan Hamengku Buwono X
memberikan beberapa tawaran solusi.
Burhanuddin diminta untuk berupaya sekuat
tenaga menangani masyarakat yang kehilangan lahan pertaniannya dengan kegiatan
ekonomi lainnya. Khususnya, masalah
ekonomi yang harus dibebankan kepada penduduk Papua. Pertama, terkait kebutuhan
beras. Bagi masyarakat Papua dalam setahun membutuh 20 ribu ton beras. Bulog mempunyai 7 ribu ton beras, sedangkan
beras yang beredar di petani sebanyak 13.000. Namun,
pemerintah justru mengimpor beras dari Surabaya sebanyak 6 tibu ton. Dengan demikian Bulog memiliki persediaan 13 ribu ton. Masalahnya beras sebanyak 13 ribu
ton di
petani itu tidak
dapat didistribusikan, karena semua kebutuhan TNI, Polri, dan PNS dicukupi
Bulog. Kedua, banyaknya
pengangguran di kota besar. Mereka
adalah petani dengan metode ladang berpindah. Terdapat tiga periode dalam setahun untuk masa
tanam. Namun, masa tanam menjadi
dua periode karena tanah ladang berubah fungsi akibat pembangunan. Karena
kehilangan satu periode tanam, maka
mereka mengadu nasib ke kota tanpa keterampilan. Tapi justru sebaliknya, mereka
menjadi pengangguran yang tidak memiliki rumah.
“Bisa
tidak Bapak berkoordinasi
dengan Pemerintah Pusat untuk
mengurusi orang-orang kehilangan periode tanamnya dan tidak
memiliki pekerjaan lainnya. Jangan
sampai masalah sosial mengganggu stabilitas nasional,” harap Sultan kepada
peserta tersebut.
Berhubungan
dengan proses industrialiasisi
dan modernisasi sebagaimana terjadi di Papua dan beberapa tempat lainnya,
Sultan Hamengku Bowono X mengungkapnya perlunya perubahan paradigma.
Menurutnya, kebudayaan harus berubah menyesuaikan dengan zaman dan
tantangannya. Sultan mencontohkan konsep harmoni. Pada masyarakat agraris,
persaingan tidak diperbolehkan karena akan mengganggu keharmonisan penduduk.
Adapun masyarakat industru justru sebaliknya, semangat berkompitisi justru
sangat diperlukan. Oleh karena itu pengertian harmoni harus mendapatkan
nilai-nilai baru. Namun demikian, pada aspek-aspek universal nilai-nilai tidak
akan lapuk oleh zaman.
Persoalannya kemudian adalah seringkali
pada proses pembangunan masyarakat yang pada dasarnya sudah demokrat agamis,
namun pendekatan yang dipakai pemerintah maupun kelompok akademis justru bukan
menggunakan bahasa masyarakat etnis sendiri. Misalnya istilah
demokrasi yang biasa dipakai oleh tentara, diaplikasikan kepada masyatakat
etnis yang belum tentu bisa menterjemahkan istilah tersebut.
“Untuk
menyebut kebersamaan, setiap masyarakat memiliki budayanya sendiri. Bagaimana
masyarakat sejahtera tergantung bagaimana masyarakat mendesain. Mestinya
civitas akademis mudah menerima pendapat orang lain. Bukan justru ngotot untuk
menang sendiri,” kritiknya.
Untuk
mengatasi masalah tersebut, Sultan menegaskan bahwa etnik harus menjadi
kekuatan berbasis kearifan local. Tantangan modernisasi harus dihadapi dengan
perhatian penuh terutama meningkatkan taraf hidup masyarakat miskin. “Misalnya
ubi kayu tidak hanya dijadikan sebagai produk pertanian, namun bagaimana
menjadi bagian dari sektor industri. Menanam ubi kayu dilakukan pada hari yang
sudah ditentukan, tidak lagi sesuka hati. Maka
kita harus mengubah budaya itu. Kalau yang miskin tidak didahulukan saya
khawatir dia tidak bisa masuk ke sektor industri. Takutnya tidak ada peluang,”
terangnya.
Isu
gender juga menjadi perhatian diskusi yang berlangsung semakin larut namun
justru semakin menarik ini. Peserta dari Perkumpulan
Kelompok Perempuan dan Sumber-sumber Kehidupan (KPS2K) Surabaya, Iva Hasanah,
mengutarakan apresiasinya terhadap kebijakan Ngarso Dalem yang telah
memperbolehkan putrinya menikah, meskipun harus mendahului salah satu kakaknya.
Selain itu, dia juga meminta penjelasan tentang upaya meningkatkan partisipasi
perempuan dalam politik.
“Kraton
menjadi ikon perubahan gaya Jawa, ketika ada pernikahan yang dilaksanakan
kemarin. Menikahnya tidak urut. Hal itu berdampak sangat jauh hingga pada
masyarakat di grass root, menjadi sesuatu yang berbeda, sehingga terjadi
perubahan sudut pandang,” tutur Iva Hasanah.
Pada
kesempatan itu pula, Sultan Hamengku Buwono X, menerima permintaan Pesantren
Waria untuk berkunjung ke Istana, sebagaimana disampaikan oleh salah satu
peserta yang sebelumnya telah melakukan dialog sebelumnya dengan mereka. “Bagi
saya bertemu dengan waria tidak masalah, tapi tolong buat surat dulu. Kapan
mereka punya waktu, kalau bisa dua atau tiga tanggal, biar nanti saya yang
memilih. Kira-kira saya bisa kapan. Kan mereka lebih banyak, pasti sulit untuk
menentukan agar semuanya bisa datang, kecuali kalau saya kan sendiri, bisa
mengatur waktu lebih mudah. Baiknya pagi atau siang pada hari libur, saya
membutuhkan waktu yang agak lama,” jelasnya.
Merespon
pertanyaan tersebut, Gusti Kanjeng Ratu Hemas memberikan jawaban yang sangat
positif. Pihaknya berusaha untuk bagaimana perempuan harus masuk dalam politik,
lembaga penentuan kebijakan baik eksekutif maupun legislative. Misalnya pada
system kepemimpianan politik, beliau mengupayakan agar salah satu dari calon
kandidat, baik ketua atau wakil, harus perempuan. Hal itu memang membutuhkan
negosiasi politik yang sangat sulit. Perempuan juga harus mengikuti Musyawarah
Perencanaan Pembangunan (musrembang) di setiap daerah.
Artikel keren gan. Saya penjual motor
BalasHapus