Kemah Lampion Borobudur Part 1
Borobudur dari Putuk Setumbu malam sebelum perayaan Waisak |
Siang sangat terik sekali, sedang bus yang
aku tumpangi tidak segera meneruskan perjalanan. Setengah jam berlalu, tapi
tidak ada tanda-tanda bertambahnya penumpang, bahkan sopir maupun kernet juga
tak nampak. Aku memaksakan melihat lingkungan terminal melalui jendela. Sepi,
hanya beberapa orang berseragam mondar-mandir. Dua bus ke jurusan Yogyakarta
sudah berangkat, tapi bus ini, bernafas pun sepertinya tidak. Hampir seluruh
penumpang turun, ketika bus sampai di terminal Tidar Magelang. Jika seandainya
aku tahu akan selama ini, seharusnya aku memilih turun dan pindah bus. Tapi
sudah terlambat, tak ada pilihan selain duduk menunggu.
Aku hubungi teman di Jogja, seharusnya jam
satu siang atau selambat-lambatnya setengah dua aku sudah sampai di rumah
temanku itu. Kami berencana untuk mengunjungi perayaan Waisak di Borobudur. Jam
di hapeku menunjukkan pukul 12 lebih 45 menit, sangat tidak memungkinkan. Masih
dibutuhkan satu jam dari Magelang hingga terminal Jombor, itu pun jika tidak
macet dan lain-lain. huft bus ekonomi.
Waktu aku habiskan dengan melamun. Demi
acara hari ini, aku kabur dari rumah dan meninggalkan beberapa hal penting.
Ternyata, karena mungkin tidak mendapat restu (hehehe), perjalananku
benar-benar kacau. Aku tertinggal travel yang sudah aku pesan jauh-jauh hari.
Aku kehabisan tiket bus dan travel lain yang biasa aku gunakan. Tidak ada
kemungkinan untuk bus patas. Semua penuh dan satu-satunya pilihan adalah bus
ekonomi. Aku banyak memiliki kenangan buruk dengan bus ekonomi. Pernah suatu
malam aku harus menempuh perjalanan enam jam Jogja-Semarang, yang seharusnya
bisa ditempuh tiga jam. Dari persoalan macet, ngetem di terminal, kerusakan
mesin, oper ke bus lain, hingga bocor karena hujan lebat. Hampir mati pingsan
di bus saking gemesnya. Aku tengok kembali sekeliling bus, masih sama, tidak
ada tanda-tanda bus bergerak.
Peringatan Waisak di Candi Borobudur
banyak aku dengar sebelumnya. Dari berbagai ritual yang dihadiri oleh
sangga-sangga Budhis di Indonesia sampai pelepasan seribu lampion. Nah, yang terakhir
itu menarik perhatianku. Aku membayangkan akan membangun tenda di kompleks
borobudur dan ikut menerbangkan satu lampion dengan teman-temanku nanti. Aku
pernah melihatnya meski lewat film. Ada satu adegan di Film Java Heat, ketika
ribuan orang berkumpul di halaman Candi Borobudur dan menerbangkan
lampion-lampion itu bersamaan. Indah sekali. Ramai sekali. Aku seperti sudah
berada di tengah-tengah keramaian itu. Apa pun yang terjadi aku harus sampai.
Batinku. Bus bergerak perlahan.
Temanku mengirim pesan. Dari pada telat
sampai Jogja, aku diminta untuk berangkat sendiri ke Candi, tanpa harus mampir
ke rumah panitia. Aku menyanggupi dan mulai bertanya bagaimana caranya agar
sampai ke Candi. Semua orang menjawab. Dari naik bus arah sana sini. Haduh, aku
makin bingung, tidak tahu harus mengikuti pendapat siapa. Tiba-tiba ada yang
menawariku ojek, bapak-bapak penjual buku. Langsung saja aku iyakan, tanpa
peduli berapa ongkos yang bapak itu minta. Yang penting aku ingin segera sampai
di Candi.
Akhirnya kami turun tepat di mall yang
terletak di jantung Kota Magelang, tidak terlalu kuperhatikan, judul mallnya.
Kami berjalan ke arah tempat bapak itu memarkinkan motornya selagi dia
berjualan buku di bus-bus. Dia berpesan, kalau akan membawa aku melalui jalan
yang tidak biasa dilewati orang atau jalan umum ke arah Candi. Tapi jalan yang
biasa ia lalui, karena rumahnya searah dengan candi. Bagiku tidak masalah mau
lewat jalan mana pun, yang penting sampai ke Candi.
Ternyata bapak itu benar, kami melewati
gang-gang rumah, pematang sawah, perkebunan pepaya, jalan-jalan berliku naik
turun seperti melewati lembah-lembah, dan sungai-sungai kecil. Selama
perjalanan, bapak itu bercerita, ia memiliki dua anak perempuan, yang paling
besar lulus SMP tahun ini dan mendapatkan peringkat ke-17 dari 300-an siswa di
sekolahnya. Bapak itu menanyakan padaku nama sekolah yang baik di Jogjakarta.
Sayangnya, aku tidak tahu apa pun tentang Jogja, selain kos dan kampus.
Haddeehh...
Bapak itu parasnya seperti familiar, meski
sebenarnya mungkin baru pertama kali aku bertemu dengannya. Dia berperawakan
sedang, tidak terlalu gemuk, tidak juga kurus. Berkulit gelap dengan bentuk
wajah yang keras namun tetap senyum dengan ramah. Nada bicaranya pun pelan dan
sopan, dengan bahasa jawa halus, seperti orang magelang lainnya yang aku kenal.
Bahkan, dia sempat memberiku berbagai nasehat, termasuk segera menikah, aku
hanya tertawa kecil.
Sekitar setengah jam perjalanan, cukup
jauh sebenarnya. Mungkin karena baru sekali aku melewatinya. Bapak itu menunjuk
bukit yang berada di sebelah Barat Daya jalan yang kami lewati. Kata bapak itu,
bukit itu dikenal dengan Menoreh. Aku langsung termangu-mangu sebentar. Menoreh
adalah kata yang paling membuatku semakin ingin tahu. Aku membaca 4.480 halaman
untuk satu jilid berjudul Api di Bukit Menoreh. Aku selalu membayangkan di mana
letaknya. Dan beberapa tempat yang juga disebutkan dalam cerita tersebut,
seperti Pajang, Mataram, Sangkal Putung, Jati Anom, dan lain-lain.
Jalan yang kami lalui menjadi semakin
padat, padahal itu adalah jalan alternatif, hanya sedikit yang tahu jalan itu
kecuali warga setempat. Sampai di dekat-dekat candi, suasana semakin panas dan
padat. Macet di mana-mana, untuk bergerak satu meter saja hampir lima menit
menunggu. Bapak itu tetap sabar, tidak mengeluh, mencarikan jalan yang lebih
baik, bahkan muter-muter sebentar untuk mencarikanku ATM, sebagaimana
permintaanku. Sementara itu, bahkan aku tidak tahu harus turun di mana dan apa
yang harus kulakukan selagi menunggu teman-temanku yang lain.
Bapak itu menurunku di dekat pintu gerbang
masuk Candi. Setelah membayar dan berterima kasih, aku berjalan melewati
parkiran di wilayah dalam Candi. Banyak orang berlalu lalang, termasuk
rombongan biksu-biksu yang memakai atribus khusus. Aku memilih untuk singgah
sebentar di warung es dawet. Penjualnya ibu yang mungkin umurnya 30-an, gemuk
berkerudung dan mengenakan pakaian panjang dengan lemek di pangkuannya. Es
dawet berwarna merah dan hijau, air santan dan gula merah, cukup menyegarkan,
disamping perutku yang juga lapar.
Aku duduk sambil melihat-lihat orang lalu
lalang. Mereka sepertinya dari berbagai daerah, aku mendengar dari logat bahasa
yang digunakan, dan beberapa bentuk fisik yang mudah dikenali. Siang begitu
amat terik, namun aku meminum dawet dengan tetap memperpanjang waktu berharap
temanku akan segera datang. Dengan demikian, aku tidak seperti orang hilang
macam ini.
Aku putuskan mencari mushola untuk sekedat
beristirahat. Aku tanya kepada pedagang dawet dan dia pun memberi petunjuk. Ternyata aku
berjalan kearah yang sama awal aku masuk di halaman parkiran Borobudur.
Berjalan berhati-hati menyelinap di tengah-tengah kemacetan dan keramaian,
mushola yang aku temukan terlalu sempit tanpa ada lubang colokan yang bisa
digunakan untuk mencharger netbuk maupun hp. Aku melanjutkan perjalanan,
ratusan warung dibuka, tapi sebagian besar hanya bakso, mie ayam, dan nasi
rames. Tentu saja, di warung seperti itu juga akan kesulitan mendapatkan
colokan listrik. Akhirnya, aku menentukan mengantri di salah satu warung ayam
goreng Olive, yang terletak dekat dengan pertigaan jalan menuju arah candi.
Mengantre hampir satu jam, memilih tempat
yang berdekatan dengan colokan listrik, menggeser meja, dan membuka netbuk. Aku
sebenarnya tidak terlalu lapar meskipun belum makan sedari pagi. Aku hubungi
temanku lagi. Jam setengah dua, sedangkan mereka baru berangkat dari Jogja jam
dua. Akan menjadi penantian yang cukup panjang.
Aku buka facebook dan sedikit
bermain-main. Tiga jam sudah berlalu, enam orang sudah bergantian menempati
kursi di meja yang sama denganku. Tidak ada kabar bahwa teman-temanku itu akan
nampak. Hanya sesekali salah satu dari mereka menelponku. Menyuruhku memesan
makanan lagi. Huft rasanya sudah hampir meledak kepalaku menunggu. Anyway...
gak da pilihan lain. Seperti tidak surut-surutnya sepeda motor dan mobil terus
mengalir, begitu juga dengan orang yang lalu lalang. MENUNGGU...
0 komentar: