Agama dan Relasi Sosial
|
Malam tidak nampak semakin larut. Cahaya lampu menyela
lebih cantik dibanding terang mentari, di Jogja. Jalan-jalan juga
ramai. Meski berkali-kali berkunjung ke kota ini, aku tak kunjung mengurangi
kekagumanku. Seperti negeri dongeng buatku. Kotanya, tamannya,
sekolah-sekolahnya, orang-orangnya,,,,tapi yang paling membuatku tertarik di
sini, adalah bukunya. Selalu,,,,,bukunya.
|
Misi di siang hari sudah terlaksana. Alhamdulillah.
Meski agak belepotan di sana sini, tapi tidak berantakan amat, semoga. Sebelum
pulang pada keesokan harinya, ada undangan makan malam dan sedikit reoninan
teman lama, mungkin pertama kali bertemu tiga atau empat tahun yang lalu di
Jaringan Islam Kampus Jogjakarta.
Ternyata jalan yang harus aku tempuh dengan salah satu
teman yang kuminta menjemput di lokasi kos teman yang kutumpangi cukup jauh.
Banyak perempatan yang kami lewati. Aku tidak tahu arah mana sepeda motor itu
berjalan. Entah ke barat, ke timur atau selatan. Ikut saja percaya bahwa
sebentar lagi ada makanan menanti sedang perut laparku sedang lapar. Sesekali
memperhatikan café, warung, gedung, hotel, toko, rumah-rumah dan taman-taman.
Membayangkan, suatu kali nanti saya bisa tinggal di kota ini, meski tidak
selamanya, dan akhirnya aku berkesempatan setelah satu bulang sejak kunjungan
ini.
Sepeda motor berbelok, di sisi jalan, kemudian masuk
gang kecil di antara rumah-rumah. Berhenti di depan rumah, disambut empat
orang, dengan hmmmm pecel di tengah-tengah mereka.
Setelah berbasa-basi menghabiskan masakan yang sudah disajikan pemilik
rumah, dilanjut jagongan, diskusi dimulai dengan pemantik yang memberikan bahan
diskusi Rabu Wijilan. Ini yang pertama
bagiku, kebetulan saja di Jogja, syukurlah, saya berkesempatan. Sudah sejak
lama tak berdikusi.
“Jadi, malam ini, kita akan berdiskusi tentang agama,
kalangan menengah, dan penyimpangan. Hmm sebelumnya untuk dua komponene di atas
akan dijelaskan terlebih dahulu,” kata pemantik.
Dia mempertanyakan, sebenarnya bagaimana kalangan
menengah memfungsikan agamanya, atau seperti bagaimanakah hubungan kalangan
menengah dengan agama yang mereka anut. Berbagai macam bentuk dan contoh mulai
disebutkan oleh masing-masing yang datang.
(ketika saya ingin menuliskan ini terjadi berbagai
pertimbangan di kepala saya. Seperti, apakah ini pantas, atau memang pilihan
bagi mereka yang mengambil sikap demikian. Analisis-analisis yang kami buat
dalam diskusi juga terjadi dengan sendirinya. Kadang mencelat ke hal-hal lain
yang tidak tentu arah, tapi memang disengaja untuk tidak banyak membeatasi
imajinasi kami. Tapi ragu juga saat mau menuliskan. Apakah karena saya terbiasa
menkonvirmasi hasil record wawancara saya, sehingga berharap tidak ada
kesalahpahaman dalam penulisan dan penyampaian, atau karena ketakutan ada yang
komplain dengan ide-ide atau pendapat kami dalam diskusi itu. Meskipun begitu
biarin saja lah,,,, diskusi ini umurnya sudah setahun lalu hehe,,, mungkin
orang yang berdiskusi juga sudah lupa)
“Misalnya kelompok kalangan menengah atas yang
menyelenggarakan pelatihan salat khusu’. Seperti les privat, ada biaya yang
harus dikeluarkan. Jangan-jangan menjadi gaya hidup, untuk mencari ketenangan
spiritual tertentu, di tengah-tengah kesibukan kerja, kalangan menengah
membentuk budaya islam dengan versi mereka. Bahkan ada yang harus memiliki
kartu member jamaah tertentu. Tentu saja di lain sisi akan menimbulkan
kesenjangan, karena akses terbatas,”
“Belum lagi fenomena haji. Motif haji saat ini
akan sangat beragam. Tidak bisa dipungkiri. Akses dan fasilitas berhaji pun
bisa dijual dengan kriteria sesuai kantong calon haji. Tidak seperti zaman
dulu. Mau haji, harus naik kapal, berbulan-bulan, bahkan disempatkan belajar
dengan beberapa pemuka agama atau masyayikh di sana. Ada juga forum diskusi
dari berbagai wilayah negara menceritakan kondisi masing-masing. Maka
terjadilah dialog untuk saling membantu baik secara ekonomi maupun politik
antar umat Islam dari seluruh belahan dunia waktu itu. Lah sekarang, haji jadi
salah satu sarana untuk mencitrakan diri. Baik secara politik maupun kesan
feodalisme bagi sebagian masyarakat. Haji menjadi bagian dari status sosial
masyarakat, bukan tahapan kewajiban ritual agama saja. Tidak hanya makna
spiritual. Tapi lebih karena kebutuhan
dunia.
“Akumulasi kapitalisme dalam ritual. Semacam itu
mungkin,” aku menimpali.
“Ndak cuma soal agama, termasuk moral, ne
nyampe model baju. Memanfaatkan moral dalam hukum agama untuk
bentuk-bentuk style atau gaya hidup yang dibilang trend. Seperti beberapa mode
pakaian muslim yang banyak dipertontonkan di sinetron-sinetron. Sangat gak
masuk akal tuh, jika untuk kegiatan sehari-hari harus berpakaian seribet itu,
kerudung diputer-puter, pakaian berlapis-lapis, lah nek mau salat malah susah
tow, dandan saja bisa berjam-jam,” protes perempuan yang memang nampak
sederhana dengan kerudung menempel apaadanya.
“Ye, kalau soal style kan memang urusane mode dan
keinginan konsumen.Hmm, iklan kale di sinetron pakai gituan. Mosok yo tiru
modelmu, rak payu sinetrone ra….” celetuk suara tanpa rupa.
Lagi serius berdiskusi sms itu muncul lagi, entah apa
yang dipikirkan orang ini.
”Menurutku, kapitalisme itu bukan memanfaatkan hukum agama, tapi memang Islam sudah terlalu dekat dengan kapitalisme. Islam sendiri yang mendekatkan diri terhadap kapitalisme. Tidak beda dengan Kristen. Kristen dan kapitalisme sudah menyatu,”
”Menurutku, kapitalisme itu bukan memanfaatkan hukum agama, tapi memang Islam sudah terlalu dekat dengan kapitalisme. Islam sendiri yang mendekatkan diri terhadap kapitalisme. Tidak beda dengan Kristen. Kristen dan kapitalisme sudah menyatu,”
Dasar, ini orang selalu saja membuat komentar
seenaknya. Apa maunya coba dibilang deket-deket gitu, menjeneralisir. Padahal
ada bagian dari Islam yang bernama sufisme, yang sering bertolak belakang
dengan prinsip-prinsip kapitalisme. Saya belum punya waktu untuk membantah
orang ini, nanti dulu saja, jika ada waktu senggang. Hmmm mendengarkan diskusi
kembali.
”Sori aku lagi ngomong, ada pertanyaan yang menarik. Mereka pinter-pinter ini, anak universitas ternama,” balasku atas smsnya.
”Sori aku lagi ngomong, ada pertanyaan yang menarik. Mereka pinter-pinter ini, anak universitas ternama,” balasku atas smsnya.
“Iya, mereka pinter. Bacaannya banyak,”
“Enaknya di jogja tuh gene. Jagongan enam orang
aja cukup,”
”Njenengan cocok di Jogja,”
”Njenengan cocok di Jogja,”
“Baiklah, aku simak dulu jagongan mereka yah,”
Keberadaan FPI malah mengukuhlan legitimasi agama2 itu
“Hmm tapi diskusine lompat2. Tapi bagus berbagi tentang pengalaman masing2” smsku lagi kepada orang itu.
Keberadaan FPI malah mengukuhlan legitimasi agama2 itu
“Hmm tapi diskusine lompat2. Tapi bagus berbagi tentang pengalaman masing2” smsku lagi kepada orang itu.
“ Intereksi pondok modern dengan masyarakat sekitarnya,” kembali aku sadar bahwa aku masih di tengah
diskusi.
“ Elit gak nya terpenting sistem pondoknya,”
“Interaksi sosial kan tidak harus harus santrinya.”
“Lembaga yang ada relasi dengan masyarakat sekitarnya”
“Hubungan sosial zaman sekarang berbeda, yang dominan yang terinstitusi dg baik.”
“Apakah agama ditakdirkan, setelah hidup sekali berarti setelah itu mati.”
“Apakah ada selalu melakukan pencarian?”
“Agama pertama kali muncul berupa ajaranm,” Kata temenku
“ kemudian berubah jadi penjajah, butuh disiplinkan, norma baru, apa yang menjadi aturan baru, yang sebelumnya tidak ada, Sudah ada akumulasi power, orang2 yang memegang otoritas, punya power untuk menggerakan, kepentingan lain yang menyusup
“Jangan2 agama tdk usah dilembagakan saja,”
“Kalau agama tidak dilembagakan, akan kehilangan fungsi utamanya, memberi kepastian hokum dan membentuk kode tertentu, persis seperti negara modern.”
“Bisakah kita meminimalisir esos negatif dari agama, efek otoritas dan legitimasi,”
“Negosiasi bersifat elitis, untuk kepentingan sendiri, bagaimana negosiasi itu membawa suara kalangan bawah,”
“ Elit gak nya terpenting sistem pondoknya,”
“Interaksi sosial kan tidak harus harus santrinya.”
“Lembaga yang ada relasi dengan masyarakat sekitarnya”
“Hubungan sosial zaman sekarang berbeda, yang dominan yang terinstitusi dg baik.”
“Apakah agama ditakdirkan, setelah hidup sekali berarti setelah itu mati.”
“Apakah ada selalu melakukan pencarian?”
“Agama pertama kali muncul berupa ajaranm,” Kata temenku
“ kemudian berubah jadi penjajah, butuh disiplinkan, norma baru, apa yang menjadi aturan baru, yang sebelumnya tidak ada, Sudah ada akumulasi power, orang2 yang memegang otoritas, punya power untuk menggerakan, kepentingan lain yang menyusup
“Jangan2 agama tdk usah dilembagakan saja,”
“Kalau agama tidak dilembagakan, akan kehilangan fungsi utamanya, memberi kepastian hokum dan membentuk kode tertentu, persis seperti negara modern.”
“Bisakah kita meminimalisir esos negatif dari agama, efek otoritas dan legitimasi,”
“Negosiasi bersifat elitis, untuk kepentingan sendiri, bagaimana negosiasi itu membawa suara kalangan bawah,”
Diskusinya masih panjang, tapi waktu juga semakin
malam. Aku terpaksan harus meninggalkan, takut kalau-kalau kos sudah ditutup
oleh induk semang. Bisa tidak punya tempat tidur sepanjang malam. Memang masih
menggantung, tapi saya pikir akan lebih baik, suatu kali akan dilanjutkan
kembali.
Artikel keren gan. Saya penjual motor
BalasHapus