Agama Mengerucut. atau anda punya tawaran bentuk lain?
Kasus penyerangan terhadap Warga Syiah di Sampang Madura, Minggu 26 Agustus
2012 memberikan gambaran nyata kehidupan beragama di Indonesia. Peristiwa
tersebut menyebabkan perkampungan Warga Syiah terbakar, beberapa terluka bahkan
salah satu meninggal. Padahal, Tajul Muluk, pemimpin Komunitas
Syiah yang juga sekaligus korban, masih berada di LP Sampang, dia divonis dua
tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Sampang, dan sebelumnya massa Anti-Syiah
juga sudah pernah membakar rumahnya akhir Desember 2011. Hal itu seperti
mengulang peristiwa penyerbuan penganut Ahmadiyyah di Cikeusik, dan beberapa
tempat lainnya. Bukankah Syiah maupun Ahmadiyyah sudah berada cukup lama di
Indonesia, tidak tiba-tiba berada di sana? lalu mengapa konflik massal tersebut
bisa terjadi.
Saat ini, Tajul Muluk mengajukan Pemohon Pengujian Undang-Undang No. 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (Pasal 156a) dan UU No. 1/PNPS Tahun 1965 tentang
Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (Pasal 4). Sidang keempat yang
diselenggarakan Kamis (31/1) di Ruang Sidang Pleno
Mahkamah Konstitusi (MK), menghadirkan empat orang ahli, yakni Achmad Sodiki, yaitu Zainal Abidin Bagir (Ahli Studi Agama dan Lintas
Budaya), Siti Ruhaini Dzuhayatin (Ketua at Interim Komisi HAM OKI), Noorhaidi
Hasan (Ahli Antropologi Sosial, Hukum Islam, dan Fatwa), dan Pipip Ahmad Rifai
Hasan (Ahli Sejarah dan Filsafat Agama). Pada sidang tersebut terungkap pula
bahwa jumlah kasus penodaan agama yang diadili menggunakan undang-undang ini
meningkat menjadi empat kali dibanding sebelum reformasi. Terdapat 40 kasus
dalam sepuluh tahun terakhir. Padahal sebelumnya hanya 10 kasus sejak 1965
hingga 2000. Sebenarnya apa yang telah terjadi? Apakah undang-undangnya yang berpotensi
disalahgunakan atau masyarakatnya yang bermasalah?
Pemerintah Indonesia memiliki Kementerian Agama sebagai lembaga resmi
mengelola bidang keagamaan, bahkan UUD 1945 juga mengatur khusus hak-hak
warganegaranya terkait agama. Tidak hanya itu, di tingkat pemerintah daerah
hingga pusat juga terdapat Forum Kerukunan Umat Beragama, yang berupaya untuk
memberikan ruang dialog antar umat beragama. Juga ada banyak LSM yang bergerak
di bidang yang sama. Lembaga keagamaan pun turut berperan aktif dalam membangun
kehidupan beragama di Indonesia. Masalahnya adalah mengapa sentimen agama masih
menjadi bola panas yang siap dilempar kemana pun oleh siapa pun tanpa bisa
dikendalikan?
Negara hanya mengakui enam agama resmi. Sayangnya, negara dinilai tidak
adil dalam memperlakukan pilihannya ini. Tidak hanya negara yang setengah hati
untuk bertanggung jawab tetapi juga cara komunikasi yang kurang tepat. Negara
hanya merasa penting agar keenam agama tersebut mendukung pemerintahannya,
menjaga agar mereka tetap bisa ‘dikendalikan’ atas nama persatuan dan kesatuan,
tetapi juga menjaga agar masing-masing tidak saling bersinggungan. Oleh karena
itu, Orde Baru mengatur hubungan keagamaan dengan propoganda ‘Tri Kerukunan
Umat Beragama’ dibanding ‘kebebasan beragama’. Bukan tidak berguna, namun
pendekatan ini memiliki efek yang sangat besar hingga sekarang. Termasuk saat
definisi agama atau apa yang disebut sebagai beragama menjadi semakin sempit.
Sebagaimana dikeluhkan oleh Direktur Zainal Abidin Bagir dalam Diskusi Publik Agama, Kekerasan dan Politik Penodaan: Membedah Kasus
Sunni-Syi’ah di Sampang, di UGM, 27 September 2012, bahwa
dengan reaksi yang semakin agresif dari masyarakat, banyak hal saat ini dinilai
sebagai sesat, dengan kata lain tidak sesuai dengan agama, termasuk respon
terhadap Lady Gaga, homoseksualitas (kasus Irsyad Manji), hingga pengkafiran
Syiah. Baginya yang paling mengkhawatirkan adalah UU Penodaan Agama digunakan
hanya untuk mengkriminalkan perbedaan.
Perubahan reaksi masyarakat tersebut tidak serta merta ada dengan
sendirinya, tetapi merupakan tumpukan pengalaman masyarakat yang berasal dari
hubungan keagamaan yang terbentuk berdasarkan sistem yang telah dibangun oleh
pemerintah. Sederhananya, negara tidak mengajarkan sikap dewasa kepada warga
negaranya dalam hubungan keagamaan. Bola panas masih dipelihara, siapa tahu
bisa digunakan untuk kepentingan tertentu.
“Tri Kerukunan Umatberagama” mengajarkan untuk bersikap toleransi terhadap
umat agama lain. Namun sayangnya, sikap tersebut tidak diikuti pula dengan
upaya untuk memahami (understand) perbedaan antara umat beragama. Toleransi
hanya berhenti sampai pada sikap keacuhan (ignorance) terhadap perbedaan,
hingga pada saatnya perbedaan tersebut menjadi bola panas, maka toleransi pun
berbuah kekacauan. Diana Eck (2005: 42) dengan kritis mengatakan toleransi
tidak melakukan apa pun untuk melepaskan ketidaktahuan kita dengan membangun
jembatan bagi bertukar pikiran dan ruang dialog. Karena toleransi tidak meminta
kita untuk mengetahui hal yang baru, atau bahkan membantu masyarakat dalam
proses menghadapi perbedaan.
Hasilnya adalah masing-masing umat beragama bersikap eksclusive demi
meneguhkan identitasnya di tengah dunia yang berbeda. Sebagaimana analisis
Ashutosh Varsney (2002:12), masyarakat yang menarik diri di dalam komunitas
(intracommunal-engegement) dari pada membentuk jejaring komunitas yang solid
(intercommunal-engagement), hanya akan berpotensi menjadi konflik sosial. Maka
terdapat kotak-kotak yang tidak saling mengenal atau bahkan tidak ada interaksi
selayaknya saudara dalam satu keluarga besar yakni Negara.
Apakah masyarakat siap untuk
tantangan bertransformasi dalam mendewasakan sikap kehidupan beragama? Belum.
‘Kebebasan beragama’ hingga saat ini tidak dimaknai sebagai sikap dewasa
menghargai keputusan seseorang dalam mengambil jalan hidupnya. Masyarakat
merasa lebih berhak untuk mengukur baik dan buruk seseorang di tengah-tengah
mereka. Sayangnya, hal itu tidak dibarengi dengan kontribusi penting dalam
menyelesaikan masalah, justru masyarakat jangan-jangan ‘digunakan’ untuk
kepentingan tertentu. Apa yang terjadi? Penghakiman secara semena-mena menjadi
pilihan. Negara seharusnya memiliki peran penting untuk mengakomodasi umat
beragama terutama perlindungan hak-hak kewarganegaraannya, bukan sebagai pengikut
agama yang taat. Jika taat diiukur oleh negara, maka bagaimana kehidupan
beragama akan berlangsung? Siapa agama dan siapa negara?
Artikel keren gan. Saya penjual motor
BalasHapus