Apakah Agama Mengajarkan Kekerasan?
Ogoh-ogoh yang dibuat masyarakat salah satu desa di Kediri, pada perayaan Hari raya Nyepi. Ogoh-ogoh dikenal sebagai simbol demon yang akan dibakar setelah diarak keliling kampung. |
Tindakan kekerasan ditengarai akibat dari
pengertian teks agama yang membenarkannya sebagai upaya untuk mengikuti
keinginan Tuhan. Paul B. Cliteur mengkritisi pendapat yang bersiteguh
mengatakan bukanlah agama yang menyebabkan masalah, termasuk pendapat Spencer.
Dia menegaskan bahwa agama pun harus dievaluasi karena terdapat teks-teksnya
yang secara langsung maupun tidak menjadi motivasi tindakan kekerasan
(Cliteiur, 2010, p. 210). Tentu saja, Paul menemukan beberapa ayat The Quran
yang dinilai memakai kekerasan dan memiliki implikasi hukum dalam suatu negara,
serta pada Deuteronomy yang berhadapan dengan deklarasi hak-hak asasi manusia
(p. 212-214). Oleh karena itu, sangat masuk akal kalau dia berkesimpulan bahwa
‘religious terrorism as an important manifestation of religious evil’. Namun
demikian, Paul ignores the context, not only in the text itself but also the
understanding of the reader. Jika memang terdapat kekerasan dalam agama,
mengapa tidak seluruh pengikutnya melakukan kekerasan yang sama. Sebuah teks
pun bebas nilai, sehingga siapa pun yang membaca pasti akan memiliki pengertian
yang berbeda-beda. Oleh karena itu, tidak serta merta hanya agama saja yang
menjadi faktor tindakan kekerasan, namun dibutuhkan gambaran konteks pembaca
atau kondisi nyata kenapa teks menjadi motivasi kekerasan.
Konflik yang terjadi memiliki berbagai isu
yang muncul dipermukaan, sehingga terkadang menyebabkan kerancuan untuk memilah
dan menentukan penyebab utama konflik. Untuk memetakan seberapa besar peran agama
dalan sebuah konflik, maka terdapat beberapa cara pandang untuk melihatnya
lebih jelas, yakni primordialist, instrumentalist, dan konstruktivist
(Hasenclever and Rittberger, 2000,p. 641-644). Penggunaan theoritical point of
view tersebut tergantung bagaimana perhatian penelti terhadap sebuah peristiwa
based on the issues in contention and conflict behafiour ranging from peachful
accomodation to aggresive self-help (p. 642). Primordialist percaya bahwa
penyebab utama konflik berasal dari agama, sedangkan bagi instrumentalist,
agama hanya secara kebetulan berada di tengah konflik, dan konstruktivist
menekankan bahwa agama ikut mengintervensi konflik. Cara pandang ini memiliki
kelebihan untuk menjelaskan faktor-faktor penting yang puncul pada konflik. Namun,
cara pandang ini juga memiliki kekurangan yakni tidak terdapat indikasi agar
pilihan penentuan cara pandang paling tepat ditentukan. Indikasi-indikasi
primer seharusnya bisa mendapatkan penyebab utama dan penyebab pendukung sebuah
konflik, sehingga peneliti tidak terus-terusan berdebat pandangan mana yang
paling tepat.
Kekuasaan maupun diskursus yang berada di
sekitar konflik, memiliki peran penting untuk membaca konflik lebih detail.
Oleh karena itu, mengukur keterlibatan agama dalam sebuah konflik, selain
ketiga cara pandang tersebut, ada dua hal lain yang membedakan konflik, yakni
conflicts about interest and conflicts about value (p. 652). Namun, Hasenclever
menilai konflik tentang nilai lebih cenderung mendorong tindakan kekerasan
daripada konflik tentang interest (p. 653). Dia menjelaskan tiga alasan tentang
hal itu, yakni individual identity, regarded as moral justified, and reinforced
by the belief that compromises are impossoble. Tetapi menurut saya justru
sebaliknya, keberadaan konflik nilai memang menjadi motivasi tindakan kekerasan
paling efektif, karena berkaitan dengan emosi. Namun, konflik tentang
kepentingan menjadi agenda utama yang seharusnya diselesaikan terlebih dahulu.
Saya percaya bahwa konflik akan sulit lepas dari pengaruh kekuasaan
(kepentingan) yang membentuk diskursus (nilai) dan bermain di dalamnya.
Oleh karena itu, penyebab kekerasan yang seharusnya berada di luar ranah
agama (interest), bisa menjadi isu konflik agama (nilai), karena akan semakin
mengancam keberadaan atau kesejahteraan umat beragama jika tidak segera
diselesaikan. Terdapat beberapa teori yang menjelaskan tentang akar kekerasan
yang berasal dari agama, dua di antaranya Charles Kimball dan Hector Avalos.
Keduanya secara umum menjelaskan bahwa dalam hal-hal tertentu, agama memang
memiliki potensi untuk menjadi sumber kekerasan. Charles Kimbel fokus pada lima
hal yang membuka kemungkinan agama menjadi jahat, salah satunya teks dan
penafsiran teks sebagai absolute truth claims, sehingga menghasilkan cara
pandang superior dan inferior dan mengakibatkan konflik (Kimbel, 2008, p. 44).
Di sisi lain, Hector Avalos menekankan peran agama yang menciptakan sesuatu
yang harus diperebutkan (scarce) sehingga memicu tindakan kekerasan bahkan
konflik untuk mempertahankan hal-hal tersebut (Avalos,p.103) seperti
inscripturation, sacret place, group privileging, and salvation. Saya mengambil
benang merah terkait kedua teori tersebut, bahwa sumber utamanya adalah kitab
suci. Meskipun demikian, pemahaman dari kitab suci tidak bisa lepas dari
realitas pembaca. Realitas itulah yang seharusnya juga menjadi bahan
pertimbangan, untuk mendapatkan gambaran logika pelaku kekerasan. Walaupun saya
tetap yakin tindakan kekerasan tidak dibenarkan dalam bentuk apa pun, kecuali
dalam usaha untuk mempertahankan diri. Realitas itu yang kadang tidak bisa
dipisahkan dengan pandangan agama, seperti rasa marah dan kekecewaan terhadap
ketidakadilan, dominasi kekuasaan yang menekan, dan kepercayaan bahwa dunia ini
dalam situasi ‘perang’.
Logika pelaku tindakan kekerasan atas nama
agama tidak hanya berkisar tentang teks yang diinterpretasikan secara literal,
tetapi yang lebih penting adalah bagaimana mereka memandang realitas dalam
pemahamannya sebagai seorang yang beriman. Misalnya, Charles Kimbal memberi
contoh tindakan kasus Michael Griffin who shot and killed dr. David Gunn
outside an abortion clinic in Paninsula (Kimpal, p.44-46). The point is bukan
hanya mengapa mereka melakukan itu karena kitab suci menjelaskan tidak
diperbolehkan pembunuhan (aborsi dinilai sebagai pembunuhan), tetapi realitas
yang ada adalah bisa jadi jumlah tindakan aborsi meningkat tanpa ada tindakan
pengendalian dari pemerintah. Apalagi, jika alasan tindakan aborsi tersebut
bukan karena untuk melindungi ibu yang mengandung, tetapi akibat
dari seks bebas yang semakin banyak. Oleh karena itu, terdapat sikap
marah yang dirasakan Griffin, dan mendorongnya melakukan pembunuhan, yang
menurutnya sebagai tindakan religious. Meskipun hal itu tidak dibenarkan sama
sekali, namun perlu diperhatikan ‘penyebab utama’ juga harus diselesaikan.
Terkait dengan penyebab utama dan
bagaimana tindakan kekerasan dilakukan, Mark Jurgenmeyer memberikan penjelasan
yang menarik dan sistematis. Dia menggambarkan tindakan kekerasan atau
terorisme sebagai suatu theater of terror. Hal tersebut karena terorisme
merupakan produk yang berdasarkan logika internal, pertimbangan matang, penuh
perhitungan, bertujuan tertentu dan yang jelas bukan tindakan serampangan.
(Jurgensmeyer, 2000, p. 123). Pertimbangan matang tersebut meliputi aksi
terorisme sebagai simbol, yang menjadi ruang untuk menyatakan political
statemen (p.124) and public symbole as setting the stage (p. 125)
seperti normal goeverment operation and major trasportation system (p, 126).
Walaupun penjelasan Jurgensmeyer menunjukkan bahwa aksi terrorist berupaya
untuk mempertontonkan kelemahan kekuasaan pemerintahan, namun dia tetap
mempertimbangkan hal yang lebih signifikan, yakni sebagian besar kasus teroris
adalah ilusi, ‘the movements prepertrating the acts have enermous power and
that ideologies behind them have cosmic importance’ (p. 132-133). Selain
itu, aksi teorisme juga mempertimbangan audiens, by the ability to
seize the attention if the public through the news media is precisely the point (p.140).
Dengan analogi sebuah panggung teater, maka realitas yang ditemukan adalah,
terdapat persaingan kekuatan maupun kekuasaan yang menyinggung identitas
keagamaan, sehingga melahirkan aksi kekerasan dan konflik. Jurgenmeyer sedikit
sekali atau bahkan tidak sama sekali mengungkap tentang keterlibatasn
penafsiran teks yang lebih dominan mendorong tindakan terorisme. Dia lebih
menekankan argumentasinya, terdapat kepentingan yang lebih signifikan untuk
terorisme hingga tindakan tersebut dilakukan dengan perencanaan yang sadar.
Untuk melengkapi penjelasan Jurgensmeyer,
terdapat analisis yang menjelaskan secara lebih normative tentang motif agama
dalam aksi kekerasan, yakni Scott Appleby in The Ambivalence of the
Sacred: religion, Violence and Reconciliation. Dalam buku tersebut,
walaupun Scott menerangkan tentang ambivalensi yang ditemukan dalam agama.
Namun begitu, dia menekankan agar tidak terjadi kesalahpahaman, bahwa yang
dimaksud adalah ‘the ambivalence need not reside in the sacred
itself, of course, only in the imperfect human perception of the sacred’
(Appleby, 2000, p. 30). Dengan menyebutkan ‘living tradition’, dia menjelaskan,
terkadang agama dalam posisi ambivalensi saat ‘seeking the good in the nexus
between inhereted wisdom and the possibilities in the present momen’ (p.33).
oleh karena itu memiliki kemungkinan, untuk tidak hanya menyalahkan sisi
negatif dalam ambivalensi terhadap teks sebagai penyebab kekerasan, tetapi juga
menguatkan sisi positif untuk menguatkan diri dan memiliki alternatif
menyelesaikan masalah.
Artikel keren gan. Saya penjual motor
BalasHapus