Nelayan dan Senja di Pantai Popoh Sidem
sudut Pantai Popoh |
Siang itu langit masih mendung
dari arah timur Kota Tulungagung. Perjalanan kami pun diiringi dengan
rintik-rintik gerimis, tidak terlalu deras, tapi cukup membuat pakaian menjadi
basah jika tidak menggunakan mantel. Memasuki wilayah selatan Tulungagung,
hujan mereda dan hanya mendung saja... sehingga meskipun kami naik motor tidak
harus terbakar di bawah terik matahari. Udara sejuk setelah hujan dan tanaman
nampak menghijau di sisi kanan kiri jalan. Motor melaju dengan kecepatan sedang,
melihat gunung-gunung seperti gigi raksasa yang berjajar. Ada sebuah kecamatan
di Tulung Agung, namanya Pager Wojo,
kalau dalam imajinasiku, pager itu pagar ... dan wojo itu gigi, jadi pager
berbentuk gigi..... hohoho... karena gunung-gunung yang terletak di selatan
Tulung Agung itu, bentuknya persis seperti gigi seri. Pernah lihat film-film
Cina? Banyak gunung2 yang menjulang kan? Mirip seperti itu.... #sayang tidak
sempat ambil foto.
Kemudian, setelah hampir satu jam naik motor atau
sekitar 25 km dari pusat kota, kami memasuki Desa Gamping, pusat kerajinan
marmer di Tulung Agung. Di samping jalan, banyak etalase maupun galeri
kerajinan yang terbuat dari marmer, hampir setiap rumah dipenuhi dengan
batu-batu tersebut. Kerajinan itu dapat berupa meja, hiasan, patung, pernah
pernik ruangan, hingga tiang atau semacam keramik. Batu marmer yang masih utuh
pun bisa dengan mudah ditemukan,,,, ukurannya mungkin sebesar tiga manusia
berdiri... atau lebih... aku melihat batu tersebut ditimbang menggunakan tali
yang dikatrol. Woowww... bagaimana mungkin batu itu ditimbang. Meskipun sambil
lalu aku memperhatikan, batu-batu yang putih keras dan nampak tidak merata
permukaannya itu...... bisa menjadi hiasan batu yang halus dan dingin. Kata
sopirku... (suami maksudnya...) lantai yang menggunakan batu marmer awet
dinginnya... dia menyerap panas. Tidak seperti keramik.... aku mantuk-mantuk di
belakang. Dia cerita dulu, dia dan teman-teman menggunakan marmer untuk buat
kenang-kenangan. Jadi ingat, ketika di MA Banat, kami membuat hiasan kenang-kenangan
pondok menggunakan batu marmer, saat itu sangat ngetrend... memasang tulisan
dan foto kenang-kenangan di batu marmer. Masalahnya adalah pesanan kami waktu
itu, batunya berbentuk setengah lingkaran panjang, seperti bidang huruf U yang
dibalik. Persis seperti pathok kuburan.. haddehh...
Meninggalkan Desa Gamping, aku
mencium udara laut... anginnya berhembus dari atas gunung... dari atas gunung!!!
(maklum agak emosi,, karena rumahku memang dekat pantai tapi nggak pakai
gunung,,,, hanya pantai hehehehe) jalan
menanjak dan berkelok .. layer-layer pegunungan mulai nampak lebih luas dari
ketinggian kami, kota Tulung Agung terbentang,,, dikeliling jajaran pegunung,
dan satu ceruk pegunungan terdekat yang sebagian bebatuannya harus kroak karena
ditambang, mungkin itu lokasi tambah marmer di sini.
Aroma laut semakin membuatku
bersemangat... aku melihatnya... aku melihatnya... aku melihat laut
Pemandangan dari atas bukit |
Di pegunungan kanan kiri jalan,
tanah ditanami dengan palawija... berbeda dengan pegunungan Gunul Kidul tempat
dimana pantai Kukup Krakap Baron dan lain-lain ,, yang hampir hanya dipenuhi
ilalang dan pohon-pohon. Pegunungan di sini ditanami padi dan palawija
berbentuk terasering, subur dan hijau. Jagung-jagung itu masih kecil, belum
cukup tinggi, ,, ,,,, penduduk setempat sepertinya bekerja sebagai petani,...
bukan seperti petani di pegunungan wonosobo yang banyak menanam sayuran. Ini
palawija dan padi. Di pegunungan... dataran tinggi nan bergelombang.. bukan
dataran rendah yang rata. Teringat beberapa kecamatan di selatan Kabupaten
Pekalongan yang memiliki landscap dan tanduran sawah yang sama. Bedanya di sana
angin gunung di sini angin laut. hohohoho...
Semakin mendekati pantai, kami
menemukan gerbang perkampungan nelayan. Hanya melewatinya, kunjungan pertama
adalah Pantai Popoh. Pas googling pantai ini terlihat sangat bagus, dengan puluhan
kapal nelayan yang mendarat di atas lautan biru. Karena sudah sore dan langit
agak mendung, maka cahaya matahari tidak terlalu banyak. Aku mlongo
membayangkan pantai yang kutemukan bisa untuk lari-larian seperti orang pacaran..
tapi tidak untuk Pantai Popoh, pantai yang kulihat dari atas bukit tadi, pantai
Sidem, tetangga pantai Popoh. Pantai ini dibatasi dengan batu-batu, sepanjang
garis pantainya digunakan kapal nelayan untuk bersandar, atau cukup diikat di
pinggir pantai agak menjorok ke laut. Ada panggung pertunjukan di sebelah
barat, dan warung-warung makanan di tengah tempat wisata itu, begitu juga para
pedagang souvenir seperti kaus batik topi dan lain-lain. Nah, yang paling
terkenal di sini adalah ikan asapnya. Ikan asap di sini, bentuknya adalah ikan
utuh yang diolah dengan cara diasapin atau dipanggang. Di semarang, di rumahku,
ikan asap yang sangat terkenal adalah ikan asap manyung. Rasanya gurih. Kalau
yang di sini, aku tidak mencobanya. Karena masih mikir bagaimana cara
mengolahnya. Ketika aku belanja di pagi hari di Tulung Agung, pedagang
menyediakan ikan asap, itu pun aku masih enggan mencoba. Oke, lain kali, siapa
tahu aku mau. Ukuran ikan itu besar je, aku tidak bisa membayangkan itu
digoreng atau dibumbuin dengan sayur seperti sayur mangut.
Kami memilih untuk mencoba ikan
bakar di salah satu warung. Well, aku lupa nama warungnya, tapi karena sudah
ada blogger yang mereport tentang enaknya olahan ikan di sini, jadi kami pun
ikut terprovokasi untuk mencobanya. Hanya tersisa dua jenis ikan, Ikan banyar
dan ikan tengiri. Kami mencoba dua-duanya. Ikan itu dibakar dengan sudah
dibalur bumbu.
Ikan Tengiri dan Ikan Banyar |
Nah,,, mulai ke cerita inti yang
sesuai dengan judul (,,,, hahahaha setelah nulis dua halaman baru nyampe
juga...) . setelah dari Pantai Popoh, kami ke Pantai Sidem, pantai yang kami
lihat dari atas pegunungan tadi. Pantai ini berada di perkampungan nelayan.
Rumah-rumah nelayan di sini, bentuk dan ukurannya hampir sama persis, ,,,, dan
berjajar rapi. Di sepanjang jalan ada jaring yang digantungin seperti
botol-botol... dijemur di lapangan.
Saat sampai di situ, aku melihat
pemandangan yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Di Pekalongan, nelayan
kecil yang menggunakan kapal kecil menggunakan semacam jaring yang diangkat
dengan mesin. Kapal yang hanya membawa lima sampau tujuh orang. Ikan yang sudah
ditangkap biasanya masuk ke dermaga,,,, yang namanya dermaga itu,, biasanya
bentuknya pinggir pantai ada daratan yang sudah diaspal, atau diplester,
kemudian ada punuk-punuk di pinggirnya untuk tempat mengikat tali kapal,
sehingga bisa bersandar dan nggak hanyut karena ombak. Biasanya di dekat
dermaga, ada yang namanya TPI, tempat pelelangan ikan. Ikan-ikan hasil
tangkapan nelayan, kemudian dilelang, di situ ada petugas pemerintah dari
Kantor Perikanan daerah yang akan melelang dan mencatat hasil lelang setiap
hari. Ikan-ikan itu akan digelar di sebuah halaman beratap, dari ikan teri,
udang, cumi, kerang, dan lain-lain. Besar dermaga disesuaikan dengan besar
kapal yang bersandar dan jumlah kapal tersebut. Kalau dermaga kecil.. kapalnya
ya kecil. Paling kapal dengan panjang enam sampai tujuh meter, dengan peralatan
sederhana. Untuk kapal di pelabuhan kota, minimal 5 GT itu besarnya seperti
rumah.. bisa sampai 5 ton dia bawa ikan. Anak buah kapalnya bahkan mencapai
20-an. Jika kapal kecil berangkat sore pulang pagi,,, maka kapal besar bisa
berbulan-bulan di lautan. Eh.. ini kog sampai ke mana-mana. Aku tadi mau cerita
tentang apa yang aku lihat.
Nelayan bahu membahu menarik jaring |
Nah, berbeda dengan nelayan di
Pantai Sidem ini. Aku melihat puluhan nelayan baik laki-laki maupun perempuan
menarik jaring. Mereka berdiri berjajar dua larik, menarik bersama-sama jaring
yang panjangnya entah berapa itu, karena aku melihat di ujung jaring yang
berhasil ditarik sudah berlipat dan menggulung... padahal sepertinya jaring
yang ditarik secara bergotong royong itu masih sangat panjang. aku mencari
ujung jaring itu di tengah lautan, ternyata ada di kapal kecil jaaauuuhhh di
sana. Jaring itu terus ditarik... semakin ditarik.. semakin keras teriakan
nelayan. Entah apa yang mereka teriakkan, ,,, pokoknya itu jaring terus
ditarik, ,, dua diantara mereka mengambil keranjang dari bambu yang besar. ....
kemudian dengan sekuat tenaga nelayan-nelayan itu menjaga agar ikan tidak ikut
terhanyut ombak dengan menggunakan bambu,,, tetapi secara bersamaan juga
dipindahkan ke keranjang tersebut. Jumlah ikan itu tidak banyak, sangat
sedikit,, apalagi jika misalnya harus dibagi dengan orang-orang yang menarik
jaring tadi. Ada lebih dari 30 –an orang mungkin. Ikan itu hanya se keranjang
dan ukuran ikannya pun kecil. Aku tidak tahu ikan jenis apa. Semangat nelayan itu benar-benar membuatku
kagum. Pantai ini tidak memiliki dermaga, kapal-kapal itu mendarat di pantai
dibantu dengan nelayan lain. Saat kami mendatangi tempat dimana ikan itu
dibagi, kami terlambat karena sebelumnya asyik berfoto-foto di pantai. Kami
hanya melihat ikan-ikan itu yang jumlahnya tidak seberapa dibagi dan dibawa
oleh nelayan perempuan dalam buntalan plastik hitam yang kecil. Meskipun ada
juga pemuda yang membawa balok tempat ikan.
ini lo... kira-kira bekas hewan apa ya.. |
Pantai ini tidak berdemaga, tapi
teduh di bawah pegunungan. Senja sore itu berwarna keunguan. Matahari tepat di
atas gunung membuat bayangan gunung jatuh di pantai panjang-panjang. Ombak-nya
turut datang dan pergi,,,,, pasir di pantai ini, tidak pasir putih seperti
pantai di Gunung Kidul, tidak juga hitam seperti di Parangtritis atau pantai
utara semarang, tanah pantai di sini berwarna cokelat. Ada bekas kaki hewan
banyak,, entah hewan apa itu, tapi bekas yang ditinggalkan unik, titik-titik berputar
terpusat, lucu. Begitu juga tanah yang terkena ombak,,,,,,, ada bekas seperti
garis jig-jag dengan warna cokelat
bertumpuk dari muda hingga pekat. ...
Sudah sampai di sini liburan
kami.....
Sampai ketemu lagi.. masih ada
puluhan pantai lagi di Tulung Agung.
Artikel keren gan. Saya penjual motor
BalasHapus