Idul Adha 2012, aku kamu dan mereka

00.10 Unknown 1 Comments

Susah juga mau bercerita tentang perjalananku. Saya bersyukur waktu yang saya lalu selama lima hari terakhir ini begitu sempurna, meskipun tidak lepas dari kesulitan, penyesalan dan kecewa. Tapi untuk ukuran kehidupan yang singkat ini, patut disyukuri.
Saya sendiri tidak menyangka liburan kali ini menjadi begitu indah, meskipun saya hanya punya sedikit waktu dengan ibu. Semoga lain kali, aku bisa membayar kekurangan ini.
Rabu siang setelah kuliah kelas Zoe, aku kebingungan mencari bantuan goncengan gratis sampai Jombor, memang jodoh itu tidak lari ke mana, seorang sahabat yang kayaknya hanya dia yang bisa kuandalkan. Sekali lagi menjadi pahlawan. Dengan nada bicaranya seperti pastur campuran dalang jawa selalu membuatku geli dan gak bisa berpaling melihatnya ketika mulai berbijaksana ala Golden Ways . Dia mengantarkan aku ke Jombor.  
Ketika menulis ini, aku dalam perjalanan berangkat ke jogjakarta menggunakan Travel sumber Alam, goncangannya memang mengganggu, tapi aku tetapi berusaha senyaman mungkin. Kali pertama aku memakai jasa travel ini. Biasanya menggunakan nusantara.
Jam lima sore waktu semarang, matahari tinggal sorot-sorotnya yang berpendar dari balik awan-awan berwarna biru lembut. Cahaya kekuningan mulai menyapu jalanan dan bayangan menghilang. Lebih redup dibanding sore itu saat bus Jogja beberapa hari lalu membawaku ke Semarang.
Terminal Terboyo terletak di sebalah utara Kota Semarang, terminal tua yang tidak pernah bebas banjir menyambutku dengan kerumunan menawarkan taksi, becak, atau bus jurusan lain. Aku lewati mereka menahan lapar serta membayangan satu potong berger berdaging ayam penuh bumbu pedan nan kracy,, upz. Sayang tidak ada penjualan berger di terminal. Hanya nasi-nasi rames dan setumpuk jajanan di toko.
Saat yang paling kutunggu. Semoga rinduku terbayar sore ini. Meskipun sebentar. Sepertinya sebentar. Dan memang sebentar.  Liburan  panjang tapi waktuku pendek untuk rinduku di kota ini. Ruang dan waktu selalu menjadi batas yang sulit ditembus. Ada kalanya hati harus pandai membujuk diri. Suatu saat nanti. Semoga lebih baik. Apa pun itu.
Malam Kamis, masih besok malam takbiran Idul Adha. Di rumah ibu. Terkapar di kamar. Menunggu alasan untuk bangun. Biasa saja. Adik pulang dari pondok pesantren. Ramai orang kerja bakti memperbaiki jalan. Tidak ada apa-apa kecuali kecemasan. Malam berlalu dengan satu film India “Mein Ho Na” hingga larut dan terlelap dengan bantal buku Richard King.
Kamis, 26 Oktober 2012
Sudah siang. Tepat 07.30 melirik adikku yang berganti pakaian dan berdandan. Apa yang harus kulakukan pagi ini. No dating. No homes. “bisakah aku on line di kampusmu?” tanyaku. “Bisa” jawab adiku sambil mengoleskan celak di bawah kelopak matanya. Teringat tugas journals membuatku harus on line. Segera moloncat. Mandi bebek. Memilih pakaian seadanya. Kaos panjang warna abu-abu dan rompi cokelat dari Mbak Nenis. Dalam lima menit siap ngikutin adikku. Dia kuliah mengambil jurusan Hukum Islam.
Semarang panas sekali untuk ukuran jam setengah sembilan. Menyengat dan debu bertebaran. Pohoh-pohon di pinggir jalan yang rimbun saat aku sekolah SD dulu, habis untuk proyek pelebaran jalan. Adikku biasanya berangkat kuliah menggunakan sepeda warisanku. Sepeda yang diberikan Dekan tempat kuliah aku dulu, ketika aku mulai mengerjakan skripsi. Sekarang sepeda itu di rumah, masih tetap kuat. Rangkanya tebal tatapi tetap ringan. Warna putih keabuan pun tidak pudar, yang kulakukan hanya menggantikan roda yang mulai tipis tergerus jalan.
Tapi kali ini, kami naik becak hingga jalan raya. Jalan Ronggowarsito memiliki banyak sejarah dari aku kecil. Memiliki panjang satu kilometer menghubungkan antara kota lama menuju Pelabuhan Tanjung Mas. Selama 12 tahun, sejak aku SD jalan ini tidak pernah kering dari genangan rob maupun hujan. Tinggi banjir bisa mencapai 100 cm, seperti sungai yang dilewati truk-truk besar. Aku suka melihat ombak-ombakan yang terbentuk dari riak air karena gerakan roda-roda besar. Gelombang air itu menerpa trotoar yang semakin lapuk. Ada gedung tua yang terletak di seberang jalan gang rumahku. Tua tak terurus berbentuk limas dan satu lampu kuning di gerbang gedung. Tiap aku menangis, ibu akan meletakkan aku di goncengan sepeda miliknya dan membawaku di depan gedung tua limas bercat putih terendam air. Sebentar bercerita tentang dongeng rumah tua dan kembali ke rumah. 
Setelah enam tahun terakhir jalan Ronggowarsito dibangun dengan menggunakan aspal setebal 50 sentimeter. Jalan bagian utara yang lebih dahulu ditinggikan, bersamaan dengan pembangunn jalan layang di sepanjang pesisir pelabuhan. Adapun bagian selatan lebih rendah. Akibatnya air berpindah memenuhi jalan bagian selatan, masuk ke rumah-rumah dengan atap rendah, hanya berjarak satu setengah meter dari dasar jalan. Dua tahun kemudian, jalan selatan ditinggikan dengan kualitas beton lebih baik dari sebelah utara. Rumah-rumah semakin nampak pendek. Meskipun sebagian besar warga memilih bertahan dengan kondisi tinggi rumah yang selalu berlomba dengan tinggi jalan, namun ada juga yang meninggalkannya dan mencari tanah di dataran yang lebih tinggi.
Bagian jalan yang lain kini berubah menjadi lautan. Dulu, tempat itu digunakan sebagai lokasi pusat tumpukan kontainer. Seperti balok-balok warna yang disusun. Lego-lego anak berukuran raksasa. Lahan berbatako, anak-anak sering menggunakannya untuk bermain sepak bola. Adapun aku dan puluhan laki-laki dari kampung datang ke lapangan itu untuk berlatih silat. Aku? Tidak bisa silat. Masih berumur enam tahun, saat melihat mereka belajar menendang berpencak seperti menari, di bawah cahaya bulan, dan udara berbau laut.
Becak sudah sampai perempatan Pengapon, tempat kami akan berpindah naik angkutan umum. Kebetulan bus lewat, sepuluh menit berlalu, bus sudah berhenti di depan kampus.
Kami berjalan, lalu lalang motor dan mobil bergantian. Kampus yang terletak di perbatasan kota ini memiliki banyak pohon-pohon rindang. Wangi jamu tercium sejak arah gerbang. Kata adikku, wangi jamu itu berasal dari pabrik jamu yang terletak tidak jauh dari kampus. Dia menyuakinya. Rasanya khas rempah-rempah. Terdapat beberapa gedung, kami melewati gedung jurusan dokter gigi. Beberapa mahasiswa terlihat bercengkrama di dibawah pohon yang dibangun tempat duduk melingkar dari semen. Lokasi tersebut dilengkapi stop kontak di beberapa titiknya. Dengan demikian, mahasiswa bisa menggunakan sambungan listrik itu untuk netbuk. Aku mencoba salah satunya. Tapi gagal. Tidak ada aliran listrik.
Adikku mengajak ke salah satu pojok ruangan yang terletak di depan ruang kantor fakultas. Netbukku tidak berhasil tersambung pada wifi kampus, terpaksa menggunakan netbukknya. Ternyata signalnya tidak cukup kuat untuk mendownload journal-journal yang aku butuhkan. Akhirnya, aku hanya on line seadanya sembari menunggu dia selesai kuliah.
Udara masih terasa panas dan gerah. Tak ada kipas angin apalagi AC. Perutku lapar. Tidak ada bacaan yang menarik dari netbukku. Beberapa mahasiswa sibuk membuka facebook dan membicarakan tentang tugas-tugas kuliah.
Dulu, aku mengambil jurusan Tafsir Hadis yang dibuka oleh salah satu perguruan tinggi Islam di kota ini. Tidak ada alasan yang lebih logis bagiku waktu itu selain mendapatkan beasiswa hingga selesai S1 yang ditawarkan oleh program tersebut. Tanpa sengaja secarik kertas brosur aku temukan di sebelah bantal ketika aku tidur siang di kamar asrama SMA. Tafsir Hadis mrupakan salah satu materi yang paling tidak aku sukai saat duduk di bangku Madrasah Aliyah Keagamaan Kudus. Kami harus menghapal ayat berserta tafsirnya dalam bahasa arab. Dan menghapal adalah hal yang paling tidak aku sukai karena aku tidak bisa. Kepalaku terasa penuh hanya untuk menghapal satu ayat saja.
Wifi kampus ini tidak membantuku mendapatkan yang kucari. Aku hanya membuka situs-situs yang memberikan informasi padaku tentang popular religion. Sebagian besar situs menghubungkan popular religion dengan budaya Cina. Aku tidak mengerti bagaimana memahami istilah ini dari pengertian-pengertian yang diberikan oleh eksiklopedia on line. Aku belum memahami bagaimana agama menjadi bagian yang populer, seperti layaknya musik pop, makananan pop, style pop, yang tumbuh, diterima masyarakat pada kurun waktu tertentu. Bukankah hal-hal yangbersifat pop memiliki batas waktu tenar yang tentunya akan digantikan oleh hal lain yang lebih ngepop dari sebelumnya.
Aku juga belum mengerti kenapa budaya maupun filsafat Cina menjadi sama dengan istilah kepercayaan, dan menjadi salah satu bahasan dalam popular religion. Aku belum membaca banyak tentang diskursus yang aku temukan pada tahun 90-an tepatnya 1995 pada journal Asian Studies. Sibuk dengan pikiranku membuatku sedikit bisa melupakan hal-hal yang mengusik di hatiku. Ada banyak pertanyaan dalam hidupku yang tak terjawab, dan aku membiarkannya berlalu.
Lembaran-lembaran situs silih berganti. Beberapa mahasiswa keluar masuk dan berjalan di hadapanku. Tak ada satu pun yang kukenal. Aku tidak bersekolah di sini. Berpikir lagi apa akan aku lakukan hari ini. Kemudian, menghubungi salah satu teman yang kuharap bisa menemaniku menghabiskan hari ini.
Adikku datang dengan temannya, aku bilang akan melanjutkan perjalanan ke Simpang Lima. Anak ini memang kesulitan berbicara denganku. Dia sering marah karena aku tidak bisa berlama-lama di rumah. Aku tidak betah. Dan mungkin aku tidak menyukai di rumah. Aku sendiri tidak tahu mengapa demikian. Asing itu saja. Dan dia tidak menyukai aku  yang tidak di rumah, dengan banyak hal  yang seharusnya aku selesaikan.
Berjalan di siang terik membuatku harus sering mengusap peluh di kening. Menutup muka dengan kerudung dan bersabar menunggu bus lewat. Panas sekali. Hingga aspal jalan seperti bersinar putih terang memantulkan cahaya matahari. Seperti dikepung sengatan-sengatan di kulit. Tidak ada tempat bertenduh di trotoar. Tidak ada warung. Lima belas menit berlalu dan belum ada bus arah Simpang Lima lewat. Aku ingin jalan-jalan.
Busnya melaju pelan. Bus tua berwarna kuning yang seperti terbatuk-batuk tiap sopirnya mengegas. Menelusuri sepanjang jalan dan menjemput penumpang. Sama seperti Jalan Ronggowarsito, Jalan Kaligawe juga menjadi langganan banjir di kotaku. Jalan ini memang tidak jauh dari bibir pantai, mudah sekali banjir.
Duduk di bus dan memandang jalan-jalan yang dilewati menjadi bagian hidup yang kusukai. Memperhatikan banyak orang, membayangkan bagaimana kehidupan mereka, dan mensyukuri apa yang bisa saya dapat hari ini. Bus melewati kota lama setelah beberapa menit terjebak macet di Jalan Kaligawe.
Kota lama terletak di sebalah utara Kota Semarang. Ketika memasuki wilayah ini, jalan aspal akan digantikan dengan jalan batako. Deretan bangunan-bangunan tinggi kuno ada terlihat masih gagah. Bangunan itu dibungkus daun-daun yang merambat di tembok yang semakin lapuk. Jendela besar setinggi dua meter, tembok seperti susunan batu bata merah dan cat warna putih tulang. Jendela kayu terletak simetris bersebalahan. Bagian atas jendela berbentuk setengah lingkaran. Bangunan dengan menara-menara runcing menjulang.
Bus melewati Gereja Belenduk. Gereja yang memiliki kubah mirip dengan kubah gereja Paus di Vatikan dalam ukuran yang lebih kecil. Atau kubah yang juga mirip dengan kubah masjid. Empat tiang bulat menampang atap depan gereja. Aku tidak pernah memasuki gedung itu, aku pensaran sekali. Banyak orang datang hanya untuk mengambil foto dari salah satu bagian gedung tua ini. Sebelah gereja terdapat taman kecil berbentuk lingkaran dengan tengahnya pohon besar tua dan rindang seperti payung yang meneduhi taman. Di pinggiran taman juga ada satu pohon dengan bunga-bunga warna kuning yang biasa rontok tertiup angin. Tanaman perdu mengelilingi lingkaran taman secara berpusat seperti labirin kecil. Ada bunga warna merah menyala yang mekar di sana sini. Angin juga membuat daun-daun bertebaran bercampur dengan debu dan knalpot. 
Gereja ini sebenarnya tidak terlalu jauh dari rumahku, hanya butuh sekitar 15 menit bersepeda. Aku punya tempat istimewa di taman itu, di sebelah utara taman terdapat warung angkringan yang menjual kopi dan gorengan. Biasanya aku memesan satu cangkir kopi susu panas dan duduk di tikar yang digelar di bawah cahaya lampu kuning salah satu bagian ujung taman. Duduk saja. Mengingat banyak hal.
Bus menembus puluhan sepeda motor yang menumpuk di lampu merah depan Pasar Johar. Melewati gedung kantor pos tua dengan warna khas orange dan kuning. Genjrang genjreng pengamen keluar masuk bergantian. Bus berhenti beberapa menit. Kernet mencari penumpang. Berteriak memanggil-manggil ibu, bapak atau mbak-mbak yang melewati trotoar. Sopir duduk tenang sambil mengipasi tubuhnya dengan koran. Masih banyak bangku kosong. Sopir memberi kode kepada kernet untuk segera naik ke bus dan melaju kembali. Aku bersyukur, karena biasanya aku harus menunggu hingga bus penuh.
Hidup seperti mimpi. Bermain dengan bayang-bayang masa depan dan hal-hal yang harus di hadapi setiap hari. Selama tiga tahun dulu saat masih kuliah, aku setiap hari ada 15 menit di bus yang sedang ngetem. Pernah ada perasaan ingin menangis karena jam sudah menunjukkan waktu ujian semakin mendekat. Ada perasaan tidak sabar karena bau keringat, bensin, dan suara riuh pasar. Ada juga perasaan tenang yang menghanyutkanku untuk berpikir.
Bus melewati Jalan Pemuda memasuki tangah kota,,, setengah jam berlalu, dan turun tepat di depan Citra Land. Aku belum memberitahumu jika aku di sini. Aku berjalan mencari tempat makan. Sebelumnya aku berjalan memutar naik ke lantai tiga. Seperti biasa aku datang ke tempat ini, tidak ada alasan lain selain nonton di bioskop. Citra 21 beberapa tahun terakhir hanya memutar film Indonesia. Sejak ada bioskop di Paragon yang memutar film impor. Aku tidak suka film Indonesia, hanya sedikit yang benar-benar membuatku punya alasan untuk melihatnya. Seringnya aku kecewa jika memaksakan melihat film indonesia di bioskop. Bukan tidak bisa memberikan apresiasi terhadap karya-karya anak bangsa. Tapi, aku memang tidak suka film Indonesia yang hanya memiliki sedikit perbedaan dengan sinetron-sinetron di televisi. Entahlah.... tapi kali ini aku pengen nonton film.
Ada empat judul film yang dipampang di depan lobi bioskop,salah satunya Perahu Kertas 2. Film  yang diangkat dari judul yang sama novel Dee Lestari ini memang memiliki alur cerita yang bagus. Aku membaca novelnya ketika awal tahun 2011, tiga bulan menjadi wartawan di salah satu kota kecil di Jawa Tengah. Seorang sahabat perempuan meminjamkanku novel itu. Cerita sederhana tapi cukup menarik.
Aku memilih makan terlebih dahulu di Hoka Bento. Satu menu paket spesial dan mengambil tempat duduk di pojok ruangan. Aku buka netbuk. Menyalakannya dan memasang modem. Kuambil potongan daging dengan saos khas Hokben. Kumakan rasanya legit dan lada hitamnya menggigit lidah. Dagingnya lembut dengan bawang bombay cukup banyak. Sayuran kol dan wortel yang dirajang halus dengan mayonais di atasnya. Daging udang yang ditumbuk halus menjadi sate dan satu potong ayam tanpa tulang lengkap satu bagian sayap.
Kubuka google crome dan kembali masuk pada situs Jstor. Setelah mendapatkan satu bab utuh tentang popular religion. Aku download seluruh paper yang terdapat dalam salah satu volum jurnal yang aku pilih. Meneliti kembali satu per satu volume journal, mencari di mana saya menemukan isu tentang teori agama.
Setengah jam berlalu, seseorang datang membawa satu baki hoka, duduk di seberangku dan mulai bertanya banyak hal. Aku tidak habis pikir bagaimana anak ini bisa sampai di hadapanku. Setidaknya sepuluh tahun telah berlalu. Bagaimana mungkin... aku mengamatinya sebentar, dan hanya menjawab pendek-pendek.
Aku tetap asyik dengan netbukku dan memperhatian satu per satu judul paper. Masing-masing dari kita berusaha tetap nyaman dalam kondisi yang tidak enak di hati. Kadang-kadang diam, menghabiskan sisa makanan. Kadang kau tanya tentang kuliahku, aku menjawabnya dengan lancar, keluhan-keluhanku akibat tugas-tugas kuliah yang sulit kukerjakan. Teori-teori sosial yang menjenuhkan, dan bahasa inggris yang membuatku seperti terjebak di hutan belantara tanpa arah untuk keluar.
Aku mengajaknya untuk menonton film siang ini, karena jam satu siang seharusnya film itu diputar, dan tetapi kamu harus pergi jam dua. Pertimbangan waktunya yang sangat pendek, maka kita hanya duduk-duduk membeli teh uwuh di salah satu sudut mall.
Teh uwuh ini adalah salah satu teh tradisional yang aku sukai. Aku meminumnya pertama kali setelah menonton film di Mall Paragon, di teras atas gedung mall itu. Teh uwuh memiliki rasa khas yang berasal dari rempah-rempah di dalamnya, seperti jahe, daun salam, dan serai. Aku biasa membuatnya di kos. Kami terdiam dan hanya sedikit bicara. Aku bersekukuh tetap menonton film. Aku sedang tidak ingin pulang.
Malam ini seharusnya malam Idul Adha. Di rumah pasti ramai. Adikku terus-terusan sms memintaku pulang. Bukan apa-apa. Dia membutuhkan modemku untuk facebookan. Aku memilih mengunjungi temanku seraya menunggu filmku diputar jam setengah enam. Dia pamit pulang.
Aku kembali membuka netbuk di meja kerja salah satu sahabatku yang saat ini mengambil pendidikan magister. Dia sibuk. Aku pun menyibukkan diri. Aku meminta izin sebentar menggunakan kamar mandinya. Kami melewati lorong kecil dengan penuh cahaya. Tangannya memegangku kerat. Kami bertatapan cukup lama. Aku berpaling. 
Waktu memang lewat dengan cepat, saat kita pernah menghabiskan tahun baru bersama tahun lalu di tempat ini. Berkeliling kota hingga pagi. Dan menahan diri untuk tidak masuk dalam perasaan masing-masing. Meskipun tentu saja hawa dingin selalu meminta kita mencari kehangatan.
Tapi tidak kali ini, perasaanku begitu kosong untuk hal-hal yang begitu mudah bagiku. Seperti menuju kesendirian yang aku susun tanpa kusadari. Waktu memang tidak berpihak. Hanya dengan keangkuhan saja dia akan menolong kita untuk melupakan sesuatu. Tidak segala hal komitmen mampu menaklukkan kehidupan bukan.
“Kau harus berdoa yang buruk,” kata teman lelakiku sebelum meninggalkanku.
“Tidak, itu tidak baik,” kataku.  “Terima kasih mengantarkanku. Sayangnya, aku tidak membeli dua tiket,”
Film baru diputar lima belas menit ketika aku menerima dua sms dari orang yang berbeda. Satu lelaki yang lebih tua dan mantan pacar. Dua sms yang tidak pernah kusimpan nomor pemiliknya. Yang ketiga (dan tidak kusimpan pula) dari sahabat yang berkenan mengantarkanku tadi.
Lelaki yang lebih tua memberitahukan bahwa dia saat ini sedang berkunjung di Jogjakarta, sayang sekali aku sedang pulang ke rumah. Lelaki lain mengatakan kebetulan, dia sedang berada di Semarang setelah mengantarkan seorang teman ke terminal. Dia berdalih, bahwa teman perempuannya yang juga kakak kelasku mengajaknya ngopi di angkringan. Kami sepakat asal aku selesaikan filmku.
Filmnya bagus. Tapi tidak terlalu menyukainya. Kisah cinta yang menarik. Andai saja, kehidupan begitu tulus untuk memberikan kisah cinta yang sama bagi setiap orang. Ada satu kalimat yang aku sukai dari naskah film itu, “Hati itu tidak memilih, hati itu dipilih”. Beruntung bagi mereka yang menemukan Pasangan Jiwa ( istilah Paulo Coelho di Brida) dan hidup bahagia.
Dia menunggu di halaman Mall. Aku menghampirinya. Suara Takbir bergema, tapi tidak ada yang berubah. Lalu lalang kota dengan mobil-mobil dan lampu-lampu pijar tetap sama dari malam-malam biasanya. Kami memilih duduk di salah satu sudut trotoar sepanjang jalan Gubernuran.
Trotoar ini baru dibangun, lampu-lampu cantik ditata apik menerangi jalan. Banyak orang seperti kami duduk-duduk. Anak-anak berlarian menggunakan sepatu roda dan skuter. Penjual kopi lewat dan dia memesan dua gelas kopi hangat. Suasan canggung. Aku bercerita banyak hal tentang salah satu sahabat kami yang belajar di Jakarta. Bercerita tentang keputusanku untuk melanjutkan pendidikan di Jogjakarta. Aku tidak terlalu cerdas untuk mengambil perguruan tinggi ini. Dan banyak hal yang harus kuhadapi.
“Tuhan telah memilih kan jalan untukmu sejauh itu, tentu Tuhan tidak akan meninggalkan mu sendirian,” katanya.
Aku tersenyum berterima kasih.
Dia tidak banyak bicara seperti biasa, namun kami selalu tahu untuk mencairkan suasana. Perasaan kami memang sudah lama berubah. Mungkin lebih baik demikian. Dia bilang sudah mendapatkan apa yang dicita-citakan, menjadi pengajar. Sibuk mendidik anak-anak di sekolah yang sama tempat kami dulu bertemu untuk pertama kali. Dia juga menjadi dosen, dan menunggu tesisnya selesai. Sayang sekali, rencana pernikahannya harus tertunda karena masalah keluarga. Aku teringat bagaimana rencana pernikahan kami dulu gagal. Menyesal. Tidak.
Aku menghela nafas dalam. Banyak hal yang tidak kuketahui namun tetap saja kulakukan. Banyak hal yang tidak memiliki alasan yang jelas kenapa aku meninggalkan atau memilih. Kadang kata hati seperti bisikan yang juga menyesatkan. Sayang, aku terlalu menurutinya.
Gerimis datang. Sebaiknya segera pulang. Dia mengantarkan walaupun tidak berani sampai ke rumah. Takut adikku tahu. Dia guru adikku. Katanya, adikku makin cantik. Aku tersenyum. 
“Mengapa selalu datang hujan saat kita bersama,” kataku.
“Teman facebook selalu protes, kenapa aku sering menuliskan hal-hal melankolis di status saat hujan,” katanya.
Aku bersalah seharian tidak di rumah. Aku segera kerjakan sesuatu untuk Idul Adha. Menjelang pagi aku tidur.
**
Seharian di rumah aku tidur setelah salat Idul Adha. Ramai-ramai di luar tidak aku pedulikan. Rasa ngantuk dan capek membuatku benar-benar seperti orang pingsan di kamar. Adikku, Luluk Ilmaknun, kelas III Madrasah Aliyah Keagamaan,mencak-mencak masuk kamar menemukan aku tidur.  Semua orang di rumah sangat sibuk mengurus daging, aku malah tidur tak berdosa. Singkat cerita, dia memintaku mengantarkan menjenguk teman yang sedang sakit di RSUP Kariadi.
Kami berangkat menjelang siang dengan sisa bensin yang sangat terbatas. Jalan di kota nampak tidak terlalu ramai, aku mencari pom bensin terdekat tetap saja tidak bisa menemukan. Apa mau dikata, bensin habis di tengah jalan dekat dengan Simpang Lima. Tidak tahu mana arah yang akan dituju, aku memilih membangunkan seseorang.
“Tolong aku kehabisan bensin di jalan. Maukah kau mencarikannya untuk kami?”
“iya, tunggu sebentar, aku cuci muka dulu,” kata orang di seberang telepon.
Siang terik sekali. Simpang Lima merupakan salah satu dari ikon atau pusat kota Semarang. Tepat terletak di jantung kota. Lingkaran yang sangat luas dikelilingi mall, masjid, pusat perbelanjaan, bioskop, hiburan atau apa pun namanya. Dulu, lapangan ini tidak terawat tetapi memiliki pohon-pohon yang rindang mengelilingi lapangan. Setiap malam minggu hingga Minggu pagi, biasanya banyak pedagang kaki lima yang menjajakan barang-barang antik nan murah. Maka, menjadi hal biasa jika setiap malam minggu pemuda di wilayah Semarang dan sekitarnya suka memilih menghabiskan waktu di sini.
Beberapa tahun terakhir Lapangan Simpang Lima mulai dibangun dan di”rapi”kan. Lingkaran tengah kota itu memang rapi, tidak ada pohon-pohon besar yang berada mengelilingi. Hanya pohon ukuran sedang, perdu-perdu yang dipangkas dengan teratur, dan beberapa lapangan untuk bermain badminton atau voli.
Orang yang sama saat mengantarkanku ke bioskop kemarin malam, datang membawa bensin satu liter. Cukup menurutku. Bisa beli lagi di jalan. Aku berterima kasih. Melanjutkan perjalanan dengan adikku.
Agak kesiangan sampai di rumah sakit. Anak perempuan yang berbaring lemas itu teman adikku. Aku lupa namanya. Dia masih memakai selang udara untuk bernafas. Mendapatkan oksigen yang cukup. Wajahnya putih tapi pucat. Kulitnya yang cerah juga nampak kemerah-merahan karena tidur terus selama tiga minggu ini. Iya, dua minggu dia koma. Beberapa hari lalu dioperasi. Dan ini menunggu pemulihan.  Aku tidak tahu persis sakitnya. Ibunya menjelaskan padaku bahwa anak ini tidak pernah mengeluh sakit apa pun. Punya masalah suka disimpan sendiri. Jika butuh istirahat, dia hanya akan tidur, bahkan tidak bilang jika pusing atau demam. Ada yang sakit di paru-paru, jantung, dan otaknya. Entah bagian mana yang duluan sakit. Yang pasti ada tumor. Aku benar-benar lupa untuk menceritakan ini. Saat kami datang tadi pun, dia masih tidur.
Adikku berusaha keras untuk  menghiburnya. Dia sengaja memintaku untuk membawa netbuk hanya sekedar untuk memutarkan film lucu. Dia juga memutar lagu-lagu yang disukai teman sekelasnya itu, bercerita tentang bagaimana tingkah anak-anak di kelas, dan banyak sekali.
Aku duduk di luar menemani bapak anak itu. Dia menanyakan apa aktivitasku. Aku jawab singkat. Tiba-tiba entah dari mana dimulai, kami berbicara tentang hukum yang diterapkan di Indonesia. Dia berharap hukum Indonesia menggunakan hukum Alquran dari pada meneruskan sisa-sisa peninggalan Belanda. Banyaknya tindakan buruk dan ketidakmampuan pemerintah untuk mengatasi masalah negara. Dia juga mebandingkan kualitas pendidikan bahasa arab di perguruan tinggi umum negeri dan perguruan tinggi agama. aku hanya mantuk-mantu, tidak setuju sebenarnya. Diam saya, tebar senyum sesekali, dan berharap segera berhenti.
Aku melihat jam. Masih ada hal yang harus dilakukan. Meminta adikku untuk sebaiknya segera pamit. Bodoh sekali aku mengambil parkir yang sangat jauh, padahal ada parkir yang dekat. Ada buku yang harus kukembalikan. Milik seseorang yang ramah, banyak pengetahuan, penulis, sayang.... amat kekanak-kanakan. Hanya karena satu buku yang masih di tanganku ini, maka banyak teror masuk di handphone. Setidaknya, sejak hari ini tidak ada lagi macam itu. Aku harus segera mengembalikan.
Aku lupa di mana rumahnya. Aku berputar kampung di daerah Krapyak dua kali. Akhirnya aku ingat, untung dia keluar. Sehingga aku yakin itu rumahnya. Aku bilang mau mengembalikan buku. Ngobrol selayaknya tamu dan menghabiskan satu gelas air teh. Berbasa-basi sebentar dan pamit. Seharusnya kami bisa menjadi lebih dekat dari ini. Tapi tidak. Aku butuh seseorang yang mampu bertahan bahkan saat dia sendirian. Bukan seseorang yang mencari banyak tempat sampah hanya sekedar untuk membuang riak. Dia meminta maaf. Aku tersenyum. Pulang.
Sore menjelang, masih ada lagi yang belum aku dapat. Tiket kereta ke Pekalongan. Aku ajak adikku ke stasiun sebentar. Membeli tiket. Jam setengah lima sore ini. Dapat.
Sampai di rumah, aku segera mandi, berganti pakaian, menyiapkan barang2. Sebelum berangkat lagi aku bertengkar dengan adikku yang paling muda. Menyebalkan. Dia menyembunyikan modem yang seharusnya aku bawa. Aku benci bertengkar dengan dia sore ini. Aku tidak suka di rumah. Aku pergi. Maaf ibu.
Kereta masih setengah jam lagi. Rotinya wangi kopi. Aku suka. Terima kasih. Di kereta, tidak ada apa pun yang bisa aku lihat selain gelap. Menghubungi teman wanita yang aku harap bisa aku nunut rehat selama penelitian di Pekalongan. Tidak bisa dihubungi. Tidak kupikirkan sangat. Meski mencoba menginfo teman-teman yang lain. Gagal. Tidak ada satu pun ternyata yang bisa kuandalkan di sana. Uang terbatas, tidak mungkin di penginapan. Baiklah, seperti biasa bermain judi. Ini keahlianku, bermain judi dengan nasib.
Kereta berjalan dengan cepat. Hanya satu setengah jam saja sudah berada di Stasiun Pekalongan.

.....

bersambung....

You Might Also Like

1 komentar: