Foucault dan Paradigma Agama
Investigasi foucault terhadap ilmu pengetahuan tidak
hanya menempatkan objek sebagai konstruksi relasi kuasa
menggunakan system diskursus, tetapi juga
ruang untuk problemalisasi. Hal itu dilakukan dengan menemukan gejala peristiwa-peristiwa yang termajinalkan di episteme
(Gutting,2005,pp.103). Selain itu, meskipun diketahui terdapat pengaruh politik
pada objek yang memberikan solusi dan definisi, namun yang menjadi fokus, adalah
terdapat alasan-alasan untuk mempertanyakan politik (Foucault,1984, interview).
Menurut saya, proses tersebut menjadi penting untuk menemukan anomali-anomali
yang terdapat pada situasi normal (paradigma Kuhn) seperti, contoh tentang kata
agama di Indonesia dan konsekuensinya.[1]
Pengertian agama di Indonesia tidak lepas dari bangunan
relasi kuasa yang terjadi sebagai kebijakan politik. Agama resmi yang diterima
di Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu,
Budha dan Konghucu [2] (episteme). Namun, pertanyaan yang diajukan bukan hanya
bagaimana sejarah kebijakan tersebut lahir
(sebagai tindakan politis), tetapi juga
mengapa Pemerintah menentukan agama resmi (polemict). Oleh karena itu, adat maupun tradisi keagamaan pada
sekelompok masyarakat di luar agama resmi, masuk dalam pengertian kepercayaan
(marjinalisasi). Tidak diakuinya tradisi
keagaamaan suku (baca indigenous
religion) menjadi agama, menyebabkan mereka harus tetap menjadi pemeluk salah
satu agama resmi, tetapi juga masih menyelenggarakan tradisi-tradisi
sebagaimana kepercayaan mereka (problemalisasi).
Meskipun demikian, factor-faktor yang mempengaruhi
kebijakan tidak hanya pada politics. Menggunakan sisi lain theory Foucault,
terdapat factor estetik yang kuat kenapa hingga sekarang kebijakan tersebut
masih berlaku. Konstitusi tersebut dibuat dengan tujuan untuk melindungi dari penodaan
dan penyimpangan terhadap pokok-pokok ajaran agama.[3]
[1] This theory used by Sita Hidayah, How the world would have to be if there is
no “Agama” in Indonesia, Gadjah Mada University, master's
thesis, 2008.
[2] undang-undang No 1/PNPS/1965 yang menyebutkan ada enam agama di
Indonesia: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu, sangat
kontradiktif dengan Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri No 477/ 74054/
BA.012/ 4683/95 tertanggal 18 November 1978 yang menyatakan bahwa agama yang
diakui pemerintah ada lima: Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha, meskipun
belakangan Konghucu diakui kembali sejak masa pemerintahan Abdurrahman Wahid. Eko Marhendi (Desember 20,2007) Kebebasan
Beragama dan Implementasi HAM di Indonesia, http://ekomarhaendy.wordpress.com/.
No law that says 1/PNPS/1965 six
religions in Indonesia: Islam, Christianity, Catholicism, Hinduism, Buddhism
and Confucianism, very contradictory with Circular (SE) The Minister of Home
Affairs No. 477/74054 / BA.012 / 4683 / 95 dated 18 November 1978 stating that
the government recognized religion there are five: Islam, Christianity,
Catholicism, Hinduism and Buddhism, although Confucianism was recognized
recently returned from the reign of Abdurrahman Wahid. Eko Marhendi (December
20.2007) Religious Freedom and Human Rights Implementation in Indonesia, http://ekomarhaendy.wordpress.com/.
[3] Nasaruddin Umar, Antara Negara dan Agama Negara, at http://kemenag.go.id/file/dokumen/AntaraNegara.pdf
BalasHapusBlog yang keren sekali sekali. Saya akan balik lagi untuk mwmbaca updatenya. Butuh motor area Tulungagung, kediri dan Trenggalek, hubungi kami. Bisa wa kami 081 559 795 985