Kerancuan Politik dalam Polemik Agama
Peserta Sekolah Pengelolaan Keragaman angakatan ke IV berdialog dengan penganut kebatinan Noto Bawono Bantul Yogyakarta |
Permasalahan
yang membingungkan adalah, Hefner membandingkan dengan pendekatan antropologi
kondisi ‘abangan’ (red side) dengan ‘santri’ (white side), yang dihasilkan oleh
Cliffort Geertz (p. 73-80), namun juga menghadapkan kondisi kedua golongan
tersebut secara politik (clash at 1965-66, p.82-84). Dalam kacamata Picard, hal
itu bisa terjadi karena terdapat proses reduksi yang semakin sempit dari proses
pendefinian agama, warganegara harus beragama (akibat dari tragedi pasca-pki)
dan meluasnya puritanisme agama (khususnya Islam- pasca reformasi). Namun
demikian, dengan menggunakan dua pendekatan tersebut menjadi sulit dibedakan
bagaimana sebenarnya hubungan antara kedua golongan tersebut. Its needed to
consider how to explain ‘red side’ as kind of system of belief in Indonesia
rather than many argumens argue why it can collaps by facing of ‘white side’.
Proses
transformasi ‘abangan’ memang sulit kembali dalam bentuknya tanpa berafiliasi dengan agama
tertentu (sebagai tuntutan negara), namun dalam proses tersebut mereka tetap
bisa mengamalkan apa yang mereka yakini, menggunakan simbol-simbol lama dengan
makna yang baru. Hefner memang menyebutkan masih adanya berbagai ritual, namun
dalam jumlah yang sedikit dan tetap berkesimpulan bahwa abangan collapsed. Padahal, sebagian besar masyarakat
pantai maupun pegunungan terutama di Jawa masih melestarikan ‘the cult of
village guardians and ancestors that lay as the heart of rural abangan’ (p.87).
Ritual tersebut memang sudah dikemas dengan ‘doa’ (pengaruh Islam) tetapi tetap
mempertahankan sesajen, proses ritual, lambang dan symbol, serta keyakinan atas
‘yang lain’. Bahkan pada ritual-ritual yang telah banyak masuk dalam tradisi
islam jawa seperti upacara kelahiran (ngapati, mithoni, lahir, selapanan),
kematian (pasar, nyatus, nyewu, and haul) dan others rituals. Pada ritual
tersebut, masyarakat santri pun melakukannya dengan jenis makanan berkat
(bancaan- sebagai ungkapan rasa syukur), seperti harus ingkung (ayam utuh),
apem, bubur merah putih dan lain-lain. Oleh karena itu, kebijakan negara
(factor politik) memang penting terkait hak-hak penganut kebatinan, dan
pengakuan identitas mereka, tetapi hal itu tidak bisa menjadi ukuran bahwa
kepercayaan ‘kebatinan’ akan punah di Indonesia.
BalasHapusBlog yang keren sekali sekali. Saya akan balik lagi untuk mwmbaca updatenya. Butuh motor area Tulungagung, kediri dan Trenggalek, hubungi kami. Bisa wa kami 081 559 795 985