Intellectual evolution (animism-magis-religion)
Pura di Kabupaten Pekalongan, tempat masyarakat Hindu Jawa melaksanakan puja bakti. |
Baik Taylor maupun frazer menggunakan teori intellectual evolution (used Darwin term), kelangsungan hidup, dan progresivitas untuk membangun teori masing-masing tentang asal usul agama. Thesis yang akan mereka tunjukan adalah sesungguhnya jenis kecerdasan manusia di dunia itu sama. Untuk membuktikannya, keduanya berusaha menarik benang merah atau kesamaan berbagai bentuk kepercayaan. Jika taylor mengurai animisme pada primitive culture, maka Frazer mengeksplorasi berbagai bentuk kepercayaan, ritual-ritual dari berbagai belahan bumi untuk menarik benang merah, sehingga memperkuat thesis mereka.
Frazer berpendapat bahwa
kepercayaan yang muncul pertama bukankah agama dengan konsep tuhan. Oleh karena
itu, dia
sepakat dengan Taylor bahwa agama adalah
keyakinan terhadap sesuatu yang spiritual. The essence of religion like mythology, seems to be
animism. Animisme adalah kepercayaan
terhadap ‘anima’ atau spirit yang terdapat di dalam tiap-tiap benda. Kemudian, Frazer
menambahkan, tidak hanya anima yang berkembang sebagai upaya untuk bertahan
hidup (survive – Taylor term), tetapi juga magic, sebagai sarana ritual maupun
upaya mengendalikan kekuatan alam.
Bagi Frazer, Magic
merupakan elemen penting dalam memahami gejala alam maupun fenomena berdasarkan
kemampuan rasional manusia saat itu. Dengan prinsip imitasi dan kontak, Frazer
mengungkapkan bahwa manusia berfikir secara sederhana dengan menganggap hukum
alam adalah impersonal, constant and universal. Agama muncul ketika mereka
sadar terdapat suatu bentuk kekuatan personal yang lebih kuat dari pada
spirit-spirit.
The sympathetic magician
are basically of two types; imitative, the magic that connect things on the
principle of similarity; and second, contagious the magic of contact, which
connect on the principle of attachment. In the one case, is ‘like affect like’
in other hand part affect part. For example, when Russian Peasant pour water
through a screen in a time of drought, they imagine that because the filtered
falling water lookslike a thundershower, sprinkling of this short will actually
force rain to fall from the sky. (Pals, 2005 pp. 36)
Ketika intellectual
manusia mengalami perkembangan progresifitas, mereka sadar bahwa hal-hal
terkait alam dapat dijelaskan secara scientific dan mulai meninggalkan praktik magis. Frazer percaya
bahwa animism dan magis hanyalah tahap awal manusia yang akan terus mengalami
perubahan menuju yang lebih baik (read evolusi), dimana animism digantikan
kompleks polytheism, disusul dengan polytheism dan berakhir pada monotheism.
Adapun magis digantikan oleh ilmu pengetahuan, yang mampu menjelaskan hukum
alam secara lebih rasional.
Pada bagian ini, teori
Frazer justru menemui kejanggalan. Dengan menggunakan teori evolusi, secara
tidak langsung menjelaskan, bentuk keyakinan terhadap spiritual berkembang. Kelemahan
pengertian ‘perkembangan’ akan sulit diterima jika yang dimaksud adalah konsep
agama yang baru lebih baik dari konsep agama sebelumnya. Terutama ketika konsep
agama semakin mendekati rasional (dipengaruhi science) kemudian konsep magis
sebagai salah satu penopang agama mulai ditinggalkan.
Pada kenyataannya sekarang
ini, praktik-praktik ‘animism’, polytheism atau magis
pun yang mendamping bentuk keyakinan spiritual tersebut, masih banyak ditemukan
atau diyakini sebagian masyarakat, bahkan di dunia modern. Meskipun mereka
telah mengalami perkembangan dengan ilmu pengetahuan, namun tidak melepaskan
prinsip-prinsp magis. Terutama, kebudayaan dunia timur yang masih menjaga magis
dalam kehidupan sehari-hari, misalnya di Jawa kepercayaan tertentu yang
berhubungan dengan mitos tetap terjaga, seperti sedekah bumi atau sedekah laut.
Memang sebelumnya magis
diciptakan manusia untuk menjelaskan fenomena alam yang pada saat itu manusia
belum bisa membuktikan secara scientific. Ungkapan magis pun bahkan tidak
rasional, hanya berdasarkan imajinasi adanya spirit pada benda atau
dipersonifikasikan menjadi dewa. Namun, akan menjadi kurang tepat, jika
rasional menggeser peran magis. Hal itu karena magis juga mempunyai peran
mitos, untuk menjelaskan makna, nilai atau hubungan batin benda-benda di
sekitar manusia. Bahkan, di negara paling modern pun, praktek-praktek magis
masih ditemukan. Seperti voodoo di Amerika Latin, ritual penyembangan Amaterasu
(dewa matahari) di Jepang, bahkan ritual sesaji laut di Jawa.
Kesulitan teori Frazer
juga ditemukan dalam proses evolusi agama. Konsep tentang Tuhan mengalami
perkembangan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan manusia, begitu juga dalam
agama. Apakah yang dimaksud dengan Frazer itu, artinya monotheism lebih baik
dari pada polytheism. Lalu, bagaimana
pengertian ‘lebih baik’ itu diterjelaskan? Apakah semakin jelas gambaran tuhan
secara rasional di dalam agama, menunjukkan bahwa agama itu lebih baik dari pada
lainnya. Saat ini, abad 21, masih terdapat berbagai bentuk agama yang bahkan
tidak mempersonalkan tuhan, atau tidak memiliki gambaran tentang tuhan (seperti
salah satu sekte Budha), beberapa juga dikenal polytheism (kong hu chu) atau
bentuk kepercayaan tuhan bersamaan dengan anismisme (kejawen). Apakah
agama-agama tersebut tidak lebih baik dari Kristen, Yahudi, maupun Islam. Tentu
saja, bentuk agama maupun kepercayaan memiliki hak untuk mengatakan mereka
benar dan baik.Bagaimana
pun, Frazer memberikan kontribusi penting untuk mengumpulan data-data tentang
ritual-ritual di dunia yang berdasarkan animism dan magis. Dia juga memetakan,
mengambil kesamaan, dan menganalisa realitas agama yang menyejarah. Namun
demikian, teori yang disusun berdasarkan thesis evolusinya akan sulit
diaplikasikan atau dibuktikan.
BalasHapusBlog yang keren sekali sekali. Saya akan balik lagi untuk mwmbaca updatenya. Butuh motor area Tulungagung, kediri dan Trenggalek, hubungi kami. Bisa wa kami 081 559 795 985