Intellectual evolution (animism-magis-religion)

03.22 Unknown 1 Comments

Pura di Kabupaten Pekalongan, tempat masyarakat Hindu Jawa melaksanakan puja bakti.

Baik Taylor maupun frazer menggunakan  teori intellectual evolution (used Darwin term), kelangsungan hidup, dan progresivitas untuk membangun teori masing-masing tentang asal usul agama. Thesis yang akan mereka tunjukan adalah sesungguhnya jenis kecerdasan manusia di dunia itu sama. Untuk membuktikannya, keduanya berusaha menarik benang merah atau kesamaan berbagai bentuk kepercayaan. Jika taylor mengurai animisme pada primitive culture, maka Frazer mengeksplorasi berbagai bentuk kepercayaan, ritual-ritual dari berbagai belahan bumi untuk menarik benang merah, sehingga memperkuat thesis mereka.  
Frazer berpendapat bahwa kepercayaan yang muncul pertama bukankah agama dengan konsep tuhan. Oleh karena itu, dia sepakat dengan Taylor bahwa  agama adalah keyakinan terhadap sesuatu yang spiritual. The essence of religion like mythology, seems to be animism.  Animisme adalah kepercayaan terhadap ‘anima’ atau spirit yang terdapat di dalam tiap-tiap benda. Kemudian, Frazer menambahkan, tidak hanya anima yang berkembang sebagai upaya untuk bertahan hidup (survive – Taylor term), tetapi juga magic, sebagai sarana ritual maupun upaya mengendalikan kekuatan alam.
Bagi Frazer, Magic merupakan elemen penting dalam memahami gejala alam maupun fenomena berdasarkan kemampuan rasional manusia saat itu. Dengan prinsip imitasi dan kontak, Frazer mengungkapkan bahwa manusia berfikir secara sederhana dengan menganggap hukum alam adalah impersonal, constant and universal. Agama muncul ketika mereka sadar terdapat suatu bentuk kekuatan personal yang lebih kuat dari pada spirit-spirit.
The sympathetic magician are basically of two types; imitative, the magic that connect things on the principle of similarity; and second, contagious the magic of contact, which connect on the principle of attachment. In the one case, is ‘like affect like’ in other hand part affect part. For example, when Russian Peasant pour water through a screen in a time of drought, they imagine that because the filtered falling water lookslike a thundershower, sprinkling of this short will actually force rain to fall from the sky. (Pals, 2005 pp. 36)
Ketika intellectual manusia mengalami perkembangan progresifitas, mereka sadar bahwa hal-hal terkait alam dapat dijelaskan secara scientific dan mulai meninggalkan praktik magis. Frazer percaya bahwa animism dan magis hanyalah tahap awal manusia yang akan terus mengalami perubahan menuju yang lebih baik (read evolusi), dimana animism digantikan kompleks polytheism, disusul dengan polytheism dan berakhir pada monotheism. Adapun magis digantikan oleh ilmu pengetahuan, yang mampu menjelaskan hukum alam secara lebih rasional.
Pada bagian ini, teori Frazer justru menemui kejanggalan. Dengan menggunakan teori evolusi, secara tidak langsung menjelaskan, bentuk keyakinan terhadap spiritual berkembang. Kelemahan pengertian ‘perkembangan’ akan sulit diterima jika yang dimaksud adalah konsep agama yang baru lebih baik dari konsep agama sebelumnya. Terutama ketika konsep agama semakin mendekati rasional (dipengaruhi science) kemudian konsep magis sebagai salah satu penopang agama mulai ditinggalkan.
Pada kenyataannya sekarang ini, praktik-praktik animism, polytheism atau magis pun yang mendamping bentuk keyakinan spiritual tersebut, masih banyak ditemukan atau diyakini sebagian masyarakat, bahkan di dunia modern. Meskipun mereka telah mengalami perkembangan dengan ilmu pengetahuan, namun tidak melepaskan prinsip-prinsp magis. Terutama, kebudayaan dunia timur yang masih menjaga magis dalam kehidupan sehari-hari, misalnya di Jawa kepercayaan tertentu yang berhubungan dengan mitos tetap terjaga, seperti sedekah bumi atau sedekah laut.
Memang sebelumnya magis diciptakan manusia untuk menjelaskan fenomena alam yang pada saat itu manusia belum bisa membuktikan secara scientific. Ungkapan magis pun bahkan tidak rasional, hanya berdasarkan imajinasi adanya spirit pada benda atau dipersonifikasikan menjadi dewa. Namun, akan menjadi kurang tepat, jika rasional menggeser peran magis. Hal itu karena magis juga mempunyai peran mitos, untuk menjelaskan makna, nilai atau hubungan batin benda-benda di sekitar manusia. Bahkan, di negara paling modern pun, praktek-praktek magis masih ditemukan. Seperti voodoo di Amerika Latin, ritual penyembangan Amaterasu (dewa matahari) di Jepang, bahkan ritual sesaji laut di Jawa.      
Kesulitan teori Frazer juga ditemukan dalam proses evolusi agama. Konsep tentang Tuhan mengalami perkembangan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan manusia, begitu juga dalam agama. Apakah yang dimaksud dengan Frazer itu, artinya monotheism lebih baik dari pada polytheism.  Lalu, bagaimana pengertian ‘lebih baik’ itu diterjelaskan? Apakah semakin jelas gambaran tuhan secara rasional di dalam agama, menunjukkan bahwa agama itu lebih baik dari pada lainnya. Saat ini, abad 21, masih terdapat berbagai bentuk agama yang bahkan tidak mempersonalkan tuhan, atau tidak memiliki gambaran tentang tuhan (seperti salah satu sekte Budha), beberapa juga dikenal polytheism (kong hu chu) atau bentuk kepercayaan tuhan bersamaan dengan anismisme (kejawen). Apakah agama-agama tersebut tidak lebih baik dari Kristen, Yahudi, maupun Islam. Tentu saja, bentuk agama maupun kepercayaan memiliki hak untuk mengatakan mereka benar dan baik.Bagaimana pun, Frazer memberikan kontribusi penting untuk mengumpulan data-data tentang ritual-ritual di dunia yang berdasarkan animism dan magis. Dia juga memetakan, mengambil kesamaan, dan menganalisa realitas agama yang menyejarah. Namun demikian, teori yang disusun berdasarkan thesis evolusinya akan sulit diaplikasikan atau dibuktikan.  

You Might Also Like

1 komentar: