Bikin Rak Buku dari Lemari Baju Bekas

00.08 Unknown 1 Comments

Kayu merupakan benda yang paling disukai suamiku. Tentu saja setelah bebek goreng. Yupz, dia hobi bertukang. Bikin meja. Bikin rak. Bikin tempat pita. Apa aja , apa yang aku minta. Atau kalau aku sudah mulai ngomel karena berantakan. Maka dia akan membuatkan aku storage dari kayu dengan dua senjata yakni jiqsaw dan bor.

lemari dimiringkan dan siap dibelah. bismillah..
Bagiku, rak buku adalah masterpiece keduanya, setelah sebelumnya membuat lemari untuk peralatan dapur. Suami membuat rak buku dari lemari sejenis olimpic bekas. Secara aku tidak menyukai model lemarinya (dulu beli karena uangnya hanya cukup buat beli yang model itu.. hahahahaha). Lemari dua pintu ini berwarna hitam, terdiri dari 4 bagian, yakni tempat menggantungkan baju, dua tempat untuk baju yang dilipat, dan juga ruang penyimpanan.

Kenapa aku tidak suka lemari ini? Tinggi ruang penyimpanan baju lipat terlalu tinggi. Sehingga membuat susah jika ingin mengambil baju. Secara saking tingginya jadi mudah roboh lipatan bajunya. Selain itu, baju kami semakin banyak sehingga tidak memungkinkan untuk disimpan di lemari itu.

kayu disipakan dan diukur ketinggiannya
Aku lebih memilih menggunakan lemari buku untuk menyimpan baju hihi... Lemari bukuku terdiri atas 12 kolom dengan ukuran panjang masing-masing 40 cm. Persoalannya, karena jumlah buku lebih banyak dari muatan raknya, maka aku buat deh satu kolom terisi dua sap buku. Jadinya, buku yang di dalam tidak terlihat kan... hanya buku di layer terdepan yang nampak. Padahal jika aku buat lemari pakaian, dengan kolom sebanyak itu aku akan mudah mengatur baju-baju sesuai dengan jenisnya, seperti baju resmi, kaus, baju santai, rok, celana, jilbab dan lain-lain.

Proyek ini pun didukung karena kami pindahan ke kontrakan lama ke kontraan baru. Hehehehe. Agar buku terpajang semua dan ruang tamu yang cenderung sempit maka furniture juga harus menyesuaikan. Setelah pengukuran ruangan, ternyata pas dengan ide kami untuk menyulap lemari pakaian menjadi rak buku. Hehehe

Pertama. Lepaskan dulu daun pintu dan segala aksesoris di dalamnya. Agar mudah untuk dibelah. Suami sengaja tidak mengambil sekat/sap dalam lemari akan tidak goyah saat dibelah.

Kedua, lemari pakaian dibelah menjadi dua. Bukan atas bawah ya.. tapi sisi depan dan sisi belakang. Pisahkan. Sulit memang tapi bukan berarti tidak mungkin. Kenapa harus dibelah? Kenapa tidak langsung saja dipasang rak tambahan? Karena lebar lemari ini sama dengan rak buku sebelumnya, yang artinya terlalu ke dalam. Walaupun tidak banyak buku yang kita miliki, tapi dengan menyisakan ruang dalam rak, akan mengundang kumpulan debu.
kayu kiloan yang dijual

Rak sengaja dibelah agar ukuran lebarnya menjadi kecil. Hanya 20 cm dan itu pas untuk lebar satu buku. Dengan demikian, rak buku akan memuat lebih banyak buku dengan keuntungan semua buku dapat terpajang tanpa diumpetin bagian belakang.

Ketiga, siapkan sap atau rak. Kayu-kayu ini dapat beli di toko limbah kayu. Di Tulungagung, suami berlangganan kayu di toko dekat penjara, Jl. Pahlawan Rejoagung Kedungwaru. Cari kayu yang kuat tapi ringan. Di toko ini, kayu dijual kiloan. Juga menerima jasa pemotongan lo.... Kemudian, potong kayu sesuai dengan lebar rak lemari. Ingat, ada dua sisi lemari, kanan dan kiri.


Keempat. Ukur ketinggian rak yang diinginkan. Agar penempatan buku lebih efisien, kami mengklasifikasikan tinggi buku. Kesimpulannya, dibutuhkan 4 ketinggian berbeda, yakni 22 cm untuk buku kecil, 26 cm untuk buku sedang, 30 cm untuk jilidan A4, dan juga 40 cm untuk map. Dengan begini, tidak ada ruang yang terbuang.

Kelima, pasang masing-masing sap. Pastikan presisi dan tidak miring ya..

Keenam, bagian tersulit yakni membuat kaki rak. Agar tidak oleng karena lebar hanya 20 cm, maka harus membuat siku, memasang kaki yang ada lapisan karetnya, dan juga kami mengikat lemari di dinding. Hahahaha...



Sip itu lah, semoga dapat menginspirasi. 

1 komentar:

Menikmati Musik Klasik di Tulungagung

23.26 Unknown 1 Comments

artis memainkan ansamble gitar pada acara End Year Partdikan musik konser.  
Klasik tidak harus membosankan. Gitar tidak hanya untuk lagu pop dan dangdut. Muda belum tentu boyband girlband ala-ala K-pop. Dan Musik klasik bukan hanya milik kota besar. Yupz, Sabtu malam, 16 Desember 2017, aku dan suami menghabiskan akhir pekan dengan menikmati musik klasik di Pardikan Art Space, Tulungagung.

Kota ini memang kecil, tapi tidak menyangka memiliki banyak kejutan-kejutan, seperti acara musik malam ini. Konser ini diselenggarakan oleh Tantra Musik Course bekerja sama dengan mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI). 

Terdapat dua sesi musik klasik yang disajikan. Sesi pertama menampilkan murid-murid les yang membawakan beberapa musik klasik seperti Mazurka (Carl Henze/ 1872-1946), Sonatine op. 71 No. 1 (Mauro Giullani/1781-1829),  Playing Love (Ennio Morricone/1928) dan masih banyak lagi. 

revelyn Azzahra memainkan piano menyanyikan lagy Franch's Child 

Kalau saya sebut murid, jangan bayangkan para lelaki dewasa yang mengenakan jas taksido. Mereka yang belajar di sini masing sangat imut, umur belia, dari 4 sampai 10 tahun. Beberapa memilik memainkan gitar dan piano, tetapi ada juga yang memainkan violin. Duh, bikin hatiku rontok!

Para murid ini sangat berbakat, mereka mampu membawakan musik klasik dengan tenang, meyakinkan, tidak gerogi, dan anggun! Ada anak laki-laki berumur kurang lebih enam tahun bernama Flamboyant Jingga. Dia membawakan lagu Fur Elise karya Bethoven dengan piano. Lagu ini sangat familiar kita dengar di kotak musik. Revelyn Azzahra Putri Runa, gadis cilik berumur 4 tahunan ini membawakan Franch Child’s Song. Malam itu, dia mengenakan baju pink seperti princess dengan hiasan jepit bunga warna senada. 

Sesi pertama ditutup dengan Ansambel Gitar oleh 11 artis membawakan Noche En Los Andes dan El Gato Felie (ditulis oleh Eythor Thorlaksson) serta La Partida (anonim). Musik penutup sangat rancak, lembut sekaligus tangkas, dan tentu saja mengagumkan.

instagram Partdikan Art Space jika agan-agan mmau berkunjung

Sesi kedua adalah sesi dimana para bintang menunjukkan sinarnya. Dibuka langsung oleh master gitar klasik dari ISI, Rahmat Raharjo yang memainkan Torre Termeja karya Albeniz. Baru pertama kali aku bertemu sudah membuatku mengaguminya. Hahahaha... dengan tenang, suara rendah, menempati kursi, manata tatakan kaki, menyangga gitar, mengenakan batik mengucapkan salam. 

Cara dia memetik gitar.. alamak... bisa lembut tapi cepat, tidak tergesa-tega, dari nada pelan ke nada yang tinggi, aku bahkan yang tidak tahu tentang musik, apalagi musik klasik, langsung lari mendekati panggung, saking penasarannya karena suara yang muncul terdengar mantab dan nyaman.

Musik kedua dan seterusnya dibawakan oleh tiga mahasiswa ISI satu persatu, yakni Firly Febripartiwi membawakan Prelude no. 1 ditulis oleh Villa Lobos, Tabita Trisanta melanjutkan dengan Prelude No. 4 dan kemudian Nabila Rifda Alfiani dengan Zapateada yang ditulis oleh R. Sanz de la Maza. Dua lagu pertama tenang dan damai sedangkan lagu yang ketiga dibawakan dengan petikan senar yang cepat. 

Penampilan terakhir Nabita Duo Gitar, yakni Nabila dan Tabita membawakan lima lagu, salah satunya variasi aransemen ulang Gambang Suling oleh Iwan Tanzil, salah satu pelatih Tantra. Meskipun pemain menggunakan gitar, tapi aku menikmatinya seperti suara gending jawa. Hahaha... kog bisa ya,, gitar yang aku pikir hanya gejrang gejreng saja, bisa berbunyi sedemikian anggun. Aku berjanji sampai rumah mengumpulkan beberapa musik klasik di Youtube. Hahahaha...

After all, saya sangat menikmati pekan ini. Terima kasih Pardikan Art Space.
See you.... 

1 komentar:

12 Ikatan Samsara dan Keyakinan akan Perbuatan Baik

21.41 Unknown 1 Comments

Belajar tentang ajaran agama lain bukan sesuatu yang menakutkan dan dicurigai. Sama seperti belajar pengetahuan baru, belajar tentang agama lain, seperti menambah perspektif baru dalam keimanan dan juga pengalaman spiritual kita tentang alam semesta, Tuhan, dan juga manusia. 

Kecurigaan muncul saat asumsi-asumsi di kepala kita mengatakan bahwa apa yang akan kita ketahui akan mempengerahui keimanan kita terhadap apa yang sudah kita yakini. Asumsi dan kekhawatiran yang justru tidak akan bisa kita buktikan jika kita tidak mengalaminya bukan.....

Mahasiswa AFI IAIN Tulungagung angkatan 2016 untuk mata kuliah Fenomenologi Agama


Kali ini, saya membawa mahasiswa untuk belajar tentang sedikit ajaran dalam tradisi keagamaan Buddhisme. Kebetulan semester ini saya mengajar mata kuliah Fenomenologi Agama. Mata kuliah ini kurang lebih mendiskusikan tentang pengetahuan, makna dan sudut pandang metodologi penelitian yang menitikberatkan pada pengalaman pribadi seseorang dalam beragama atau kepercayaan terhadap apapun yang mempengaruhi caranya menjalani kehidupan. Singkatnya, ini tentang bagaimana seseorang memaknai hidup berdasarkan pengalaman keagamaaanya atau spiritualitasnya.   

Jumat sore, 29 September 2017, mahasiswa mengunjungi wihara Buddhaloka di Tulungagung, mereka berkenalan dengan guru agama Buddha yang sesekali mengajar di wihara tersebut dan mendampingi umat Buddha untuk melakukan meditasi. Dia mengenalkan salah satu konsep dalam Agama Buddha yang disebut dengan PATTICASSAMUPPADA yaitu hukum sabab musabab yang saling bergantungan. 

Patticassamuppada juga dikenal dengan 12 rantai yang mengikat 31 alam. Biasanya digambarkan sebagai 12 rantai yang mengikat gambar-gambar alam yang tengahnya berpusat pada ayam, ular dan babi sebagi simbol atas keserakahan, kebencian, dan kegelapan batin.



Apakah 12 mata rantai itu? Sebelumnya, mahasiswa mendapatkan penjelasan bahwa manusia akan selalu dipengaruhi oleh ketiga sifat yang berada di titik pusat, terdapat jalan putih yang menunjukkan bahwa merekalah orang-orang yang dapat menghindari sifat-sifat jahat tersebut, sedangkan jalan hitam adalah orang-orang yang dengan tidak takut akan perbuatan jahat mereka.

Bagi pengikut Buddha, mereka meyakini bahwa semua makhluk yang belum “terbebas” akan berputar-putar dalam arus samsara, selalu lahir di salah satu dari 31 alam, yang di antaranya alam manusia, alam hantu, alam binatang, alam setan, alam jin, alam syurga atau bahkan alam brahman. Hal demikian tergantung pada karma baik dan buruknya. Hanya jika makhluk-makhluk telah “terbebas” maka tidak akan lahir kembali yaitu saat merealisasikan “Nibbana”yang digambarkan sebagai roda Dhamma yang berhenti berputar.

Nah, 12 rantai yang mencengkeram makhluk yakni, (1) Avijja (ketidaktahuan atau kebodohan) yang kemudian melahirkan perbuatan-perbuatan atau (2) sankhara. Perbuatan-perbuatan ini akan memunculkan kesadaran (3) Vinnana, dimana dari kesadaran itulah muncul (4) Nama Rupa atau batin dan jasmani, dengan adanya Nama Rupa maka muncul pula enam indera atau (5) salayatana. Dengan adanya enam indera maka akan melahirkan kesan-kesan (6) Passa yang kemudian menciptakan perasaana atau (7) vedana, adanya perasaan maka akan meminta adanya keinginan atau kehausan atau disebut dengan (8) Tanha, adanya tanha atau kehausan itu mengakibatkan (9) upadana atau kemelakatan, yang kemudian muncul (10) Bhava atau proses tumimbal lahir yang menjadikan adanya (11) Jati atau kelahiran kembali, yang kemudian mendapatkan (12) Jamarana atau kelapukan, kematian, keluh kesah, sakit dan sebagainya).

Bingung? Sama hehehe. Oke, secara sederhana dengan membalik urutan Paticcasamuppada Ãœsia tua dan kematian hanya dimungkinkan terjadi pada organisme batin-jasmani, yaitu suatu “mesin”dengan enam indera. Organisme semacam itu harus dilahirkan, oleh karena itu perlu adanya kelahiran. Kelahiran merupakan akibat yang tak dapat dielakkan dari Kamma atau perbuatan di masa lalu, yang dibentuk oleh kemelakatan karena adanya nafsu keinginan. Nafsu keinginan muncul jika ada perasaan. Perasaan merupakan sentuhan indra dengan objeknya”.

mendengarkan narasumber untuk belajar memahami pengalaman umat agama lain
Pada kesempatan yang sama, salah seorang mahasiswa menanyakan tentang benda-benda yang ada di ruangan vihara tempat mereka belajar. Baginya, dia melihat umat Buddha meletakkan patung Buddha di altar kemudian mahasiswa ini membayangkan orang-orang yang datang ke wihara adalah untuk menyembah Buddha dan meminta segala sesuatunya adalah darinya. Apakah hal demikian menunjukkan bahwa Buddha adalah sosok Tuhan bagi Umat Buddha. Guru Agama Buddha pun menjelaskan adanya patung Buddha bukan untuk disembah, tetapi bentuk penghormatan dan juga mengingat jasa seseorang yang telah mengajarkan banyak kebajikan dan jalan menuju “pembebasan” sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Bahwa saat menjadi manusia lah, makhluk memiliki kesempatan untuk keluar dari 12 ikatan dan membebaskan dari samsara, di alam brahman dan syurga, makhluk akan cenderung terlena, sedangkan di alam binatang, jin dan setan, apalagi neraka, mereka memiliki keterbatas-keterbatasan untuk berbuat kebajikan.
So, setiap kebajikan yang dilakukan manusia, tidak hanya untuk orang lain, tapi justru untuk dirinya sendiri, bahkan dalam pemahaman yang lebih dalam, saat tidak ada diri sendiri, kebajikan itu menjadi jalan untuk menyatu pada sumber kebajikan itu sendiri. 

1 komentar:

Humanitas dan Teologi Masyarakat Bahai

20.41 Unknown 1 Comments

Masih dalam tur untuk Mata Kuliah Fenomenologi Agama, mahasiswa minggu ini berkenalan dan bertemu dengan komunitas Masyarakat Bahaí. Mahasiswa untuk kelas ini memang tidak banyak, hanya 12 orang, jadi lebih mudah mengajak jalan-jalan dan menemukan berbagai pengetahuan hal-hal menarik dari pengalaman mereka sehari-hari. 

Di tulungagung, terdapat beberapa keluarga yang menganut Bahai, beberapa tahun sebelumnya, kabar ini sempat menghebohkan warga, secara tradisi keagamaan ini memang baru dari enam agama lainnya yang berkembang di Indonesia.

Sebagaimana saya jelaskan sebelumnya tentang kelas Fenomenologi Agama, di kelas ini, mahasiswa diharapkan untuk mengamati dan menggunakan sudut pandang narasumber dalam memahami apa yang dirasakan narasumber berdasarkan pengalaman keagamaannya. 

Jika sebelumnya dalam suasana dialog antar umat beragama atau pada saat mempelajari fenomena-fenomena keagamaan, sebagian dari peneliti atau bahkan masyarakat menggunakan perspektif atau ukuran mereka sendiri dalam memahami (atau malah dalam kasus yang lebih ekstrim, melakukan justifikasi) terhadap penjelasan narasumbernya. Maka, sebagian dari kelas Fenomenologi Agama, meminta mereka untuk menekan hasrat pemahaman diri mereka sendiri, dengan masuk ke dalam logika, pengalaman, pemahaman, makna dari narasumber yang bersedia bercerita tentang apa yang mereka yakini.

Oke, bagaimana hasil kunjungan mahasiswa ini? 

Komunitas muda masyarakat Bahai menyambut kami dengan ramah. Setelah membuka dengan doa dan saling memperkanlkan diri, kami memulai diskusi. Cara belajar masyarakat Bahai tentang apa yang mereka yakini sangat menarik. Berdasarkan pengalaman sehari-hari, mereka merefleksikan kata-kata suci dari Bahá’u’lláh, pembawa wahyu Agama Bahaí. Secara bergantian, peserta yang hadir dalam diskusi akan membaca sebuah naskah yang diambil dari kitab-kitab dan mengutarakan pendapat mereka berdasarkan pengalaman-pengalaman pribadi tentang tema tersebut.

Malam itu, kami membahas tentang (1) tujuan Tuhan menciptakan manusia, (2) perjalanan sejarah umat manusia dan arahnya, (3) kesatuan umat dan (4) ajaran Bahá’u’lláh tentang keadilan. 

Bahá’u'lláh. Nabi masyarakat Bahai, sumber gambar darihttp://covenantstudy.org 

Pada tema yang pertama, dijelaskan dalam ayat berikut “Semua manusia telah diciptakan untuk melanjutkan peradaban yang telah maju” yang kemudian disusul tentang penjelasan mengapa Tuhan mengirimkan utusan-Nya, pada ayat ini “Tujuan Tuhan mengirimkan para Utusan-Nya kepada manusia ada dua. Pertama adalah untuk membebaskan anak-anak manusia dari kegelapan kebodohan dan membimbing mereka ke arah cahaya pengertian sejati. Yang kedua untuk menjamin perdamaian dan kesentosaan umat manusia dan menyediakan segala sarana untuk mendirikan perdamaian dan kesentosaan itu”.

Berdasarkan ayat-ayat tersebut, Masyarakat Bahai percaya bahwa sejarah perdaban manusia adaah sebuah sejarah panjang yang tidak dapat dilihat sebagai suatu kotak-kotak tersendiri satu masa dengan masa yang lain. Sejarah manusa adalah suatu gambaran untuk dari sebuah perjalanan yang terus berkembang hingga pada titik terbaiknya. 

Sebagaimana setiap utusan yang dikirimkan Tuhan menyesuaikan dengan keadaan manusia saat itu, dari berbagai masalahnya hingga kemampuannya mereka memahami Tuhan. Oleh karena itu, Masyarakat Bahai meyakini ajaran-ajaran yang bersifat universal dari nabi-nabi sebelum Bahá’u’lláh yang terangkum dalam the Golden Rule. Demikian, pada masa dimana Bahá’u’lláh diturunkan untuk manusia adalah dalam rangka mengajak persatuan manusia untuk mencapai kesejahteraanya.

Hal demikian ditegaskan pada tema diskusi yang kedua pada ayat yang disebutkan bahwa “Setiap zaman mempunyai masalahnya sendiri, dan setiap jiwa mempunyai cita-citanya yang khusus. Obat yang diperlukan dunia bagi penderitaannya sekarang ini tak mungking sama dengan obat yang diperlukan pada zaman-zaman berikutnya”. Digambarkan dalam pemahaman Bahai, bahwa umat manusia hari ini sedang mendekati tahap puncak dalam sebuah proses yang berlangsung selama ribuan tahun yang telah membawanya dari tahap kolektif masi bayi ke ambang masa kedewasaan. Makna kedewasaan ini ditafsirkan sebagi tahap dimana manusia akan menyaksikan persatuan umat manusia yang juga secara bersamaan persatuan juga merupakan tantangan paling besar umat manusia. Untuk tujuan tersebut, Bahá’u’lláh diutus.

Dalam mewujudkan kesatuan umat, Masyarakat Bahai meyakini bahwa mereka mendapatkan ruang dimana menyelidiki kebenaran dengan bebas dan mandiri. Dengan cara ini, dengan menyelidiki kebenaran manusia akan melihat pentingnya kesatuan umat manusia. Kebenaran akan menjadi sarana dalam mewujudkan persatuan dengan menghilangkan prasangka terhadap ras, kelas sosial, warna kulit, keyakinan, bangsa, jenis kelamis, dan tingkat peradaban materi yang sering kali merupakan penyebab perselisihan.


Jadi, apa yang kita pelajari dari perspektif ini? 

menarik bukan? dimana terdapat sebuah teologi yang jelas berpusat pada Tuhan, tetapi secara bersamaan sangat menjunjung tinggi kemanusiaan, atau humanitas kita. Menyisihkan perbedaan pada setiap jalan pencarian Tuhan dan menghormati setiap pencarian untuk menemukan kebenaran. berdialog dalam ruang yang disediakan untuk menguji dan berbagai pengalaman.

Keyakinan kita boleh berbeda. Pendapat tentang keyakinan tersebut tidak harus kita imani. Tapi, nilai dan pesan untuk saling menghormati mengajarkan kita untuk selalu saling berterima kasih.

1 komentar:

The Power of Emak-Emak, Avenger Social Club

02.57 Unknown 1 Comments

Persoalan kekerasan dalam rumah tangga bisa terjadi pada siapa pun. Perempuan maupun laki-laki. Penyelesaiannya juga tidak mudah. Kondisi bisa sangat kompleks. Bahkan perceraian bisa menjadi sangat tidak memungkinkan. Dari tindakan kekerasan suami terhadap istri (atau bahkan seluruh anggota keluarga perempuan), perselingkuhan, anak di luar nikah, hingga pelecehan. Di drama korea ini, persoalan yang sedemikian umum ditemukan, digambarkan dengan begitu lugas dan unik. Ya, drama the Avenger Social Club (ASC)!

gambar dari http://dramakoreaindo.com

Baru nonton sampai episode ke lima, membuat saya tertarik untuk menuliskannya. Pendeknya, cerita ini tentang empat anggota ASC yang memiliki persoalan masing-masing tapi dipertemukan dengan satu tujuan yang sama yakni “balas dendam”. ASC ingin balas dendam kepada suami yang jahat, siapapun yang melecehkan perempuan dan mereka yang suka membuli atau merugikan orang lain.

Eits, jangan mbayangin yang tidak-tidak, yang seram-seram, atau yang berdarah-darah. Sebagai ibu-ibu, mereka tidak memiliki banyak kekuatan untuk membalas dendam. Ketika mengungkapkan apa saja yang mereka miliki, hanya ditemukan uang, kesabaran, dan keberanian. Belum lagi, mereka adalah perempuan-perempuan baik, tidak pernah melakukan kejahatan, tidak cukup cerdas untuk menjadi licik, bahkan dalam beberapa hal mereka ceroboh. 

Oleh karena itu, ibu-ibu ini berpikir dengan keras bagaimana balas dendam dilakukan secara rahasia, tanpa ada seorang pun yang tahu, tidak melanggar hukum, tapi mampu mengirimkan para penjahat ke “neraka”. Demi mendapatkan ide untuk belajar tentang balas dendam, mereka membaca setumpuk komik!! Hahahahah...

Lalu bagaimana caranya menghadapi para lelaki licik itu? Dengan cara yang lucu, menyenangkan sekaligus bikin deg-degan drama ini pantas ditonton. ASC berusaha mendapatkan bukti-bukti kejahatan atau kelicikan “para penjahat”, melalui rekaman pengakuan mereka sampai pada bukti-bukti fisik suap. Sekali lagi jangan bayangkan mereka menggunakan baju-baju ala detektif, cukup mengggunakan keahlian memasak, merajut, membersihkan rumah, belanja, dan lain-lain. Bisa? Bisa....  

Berangsur-angsur, mereka memiliki keberanian untuk menghadapi laki-laki yang telah berbuat semena-mena. Berani untuk berkata tidak terhadap permintaan suami yang merugikan dan menyakiti. Berani untuk mengutarakan kekerasan yang dilakukan suami di depan publik. Berani mengambil kebijakan untuk melindungi diri sendiri dan orang-orang yang mereka cintai.

Kekuatan emak-emak ASC mengingatkanku pada film Where Do We Go Now. Film yang berseting di Libanon ini bercerita tentang perjuangan mak-mak untuk mencegah pertumpahan darah di desa kecil yang berada di tengah negara berkonflik. Apa saja dilakukan, termasuk hal-hal yang tidak masuk akal sekali pun! Seperti mengundang artis, agar para lelaki tidak terfokus pada perang. Hehe

Namun ada juga kekuatan mak-mak yang menyeramkan. Salah satu drama Inggris Sherlock Holmes yang rilis 2016 di BBC berjudul the Abominable Bride menceritakan suatu perkumpulan perempuan-perempuan yang mengalami tindakan tidak adil dari para lelaki dan memutuskan untuk menghukum mereka melalui sosok roh perempuan yang diciptakan. Bahkan Sherlock sendiri tidak berani untuk mengungkapkannya. Hmm...


Drama ASC yang dibintangi oleh Lee Yo-Won (sebagai Kim Jung-Hye), Ra Mi-Ran (Hong Do-Hee), Myung Se-Bin (sebagai Lee Mi-Sook) dan Jun (sebagai Lee So-Gyum) patut diacungi jempol. Semangat para perempuan!!!  

1 komentar:

Membaca Buku, Berat nggak sih?

20.39 Unknown 1 Comments



Setelah menulis tentang film di masa laluku, hohoho sekarang saya lanjutkan tentang membaca buku. Selain film, membaca memang menjadi favoritku. Klasik bangetz ya, berbeda dengan anak milineal sekarang yang memiliki lebih banyak pilihan hobi dan hampir semua berhubungan dengan digital. Umurku saat menulis ini mungkin hampir 30 dan mengandung anak keduaku sekitar hampir 5 bulan minggu depan. Anak pertamaku meninggal di kandungan ketika berumur 6 bulan. Aneh memang sepertinya menulis blog saat masa-masa populernya blog sudah agak berkurang, toh apa yang aku tulis tidak juga memiliki konten-konten informatif yang dapat membantu meningkatnya ranting blogku. Hihihi, aku sih karena suka saja, karena punya waktu di kantor, saat semua pekerjaan selesai, sedangkan pekerjaan pribadi menuntut menggunakan pikiran yang berlebihan, akan lebih menyenangkan jika menulis tentang pengalaman masa lalu, atau hobiku akhir-akhir ini kan. Hehehe...

Oke, malah nglantur, aku mau nulis tentang buku. Keponakanku selalu mengeluh tentang bagaimana meningkatkan keinginan untuk membaca buku. Secara sama orang tuanya suka banget dipaksa belajar dan membaca buku, sesuatu yang dia sangat tidak terbiasa. Memang, anak sekarang lebih suka bermain dengan sosial media dan hasil digital lainnya, seperti game dan banyak aplikasi, termasuk selfie dan saling ngomen ngrumpi tentang kabar teman mereka. 
Aku sih dulu juuga gitu ya, tapi masih pakai surat yang dikirim lewat pak pos. Hehehehe dan aku juga rajin afdruk foto lo ....
gue saat masih S2 dan bergaya membaca hahaha
Nah, menurutku sih, membaca bukan persoalan wajib atau tidak,  tapi kalau ingin menjadi suka membaca setidaknya sejak awal harus dibiasakan berpikir dan merasakan bahwa membaca adalah sesuatu yang menyenangkan dan menghibur. 

Jika sejak kecil sudah merasa terbebani dengan membaca karena dianggap membaca adalah membaca buku-buku pelajaran yang sangat membosankan tentu saja akan menjadi berat seterusnya, bahkan ketika hanya disuruh baca buku komik. Ngapain baca komik kalau ada film animasinya ye kan,,, mungkin beberapa anak akan berpikir demikian. Belum lagi tidak semua orang menyukai film atau buku-buku sastra karena dianggap tidak bermanfaat atau tidak mempengaruhi secara langsung hal-hal yang akan membuat mereka senang, rileks atau bahagia.

Beberapa orang tua mungkin juga berpikir bahwa membaca komik, cerpen, novel merupakan kegiatan yang buang-buang waktu, karena tidak memberi kontribusi kecerdasan maupun ilmu sebagaimana jika anak-anak itu membaca buku pengetahuan, buku pelajaran, buku-buku sejarah dan lain sebagainya. Secara mau buku apapun harganya sama-sama mahal. 

Padahal, jika diperhatikan, buku-buku yang ringan itu akan menjadi pemantik pertama untuk anak-anak atau kita nanti kelak untuk membaca buku yang lebih berat atau membutuhkan sedikit tenaga untuk memahaminya. Setiap masa perkembangan anak disesuaikan dengan apa yang akandi konsumsi, bisa saja dia akan tetap bertahan membaca komik hingga dewasa kelak, tapi itu juga akan membantunya untuk menyukai buku-buku lain yang sesuai dengan umur dan ketertarikannya terhadap informasi atau pengetahuan tertentu sesuai dengan kebutuhan.

Namun, jangan berlebihan juga karena generasi sekarang mengkritisi kebijakan orang tua yang beberapa di antaranya tidak menyukai jika anak, murid atau mahasiswanya tidak mengindahkan pentingnya membaca buku-buku sastra maupun komik-komik. 

Kemarin, saya menemukan sebuah status yang mengkritisi dosen atau pengajar yang mewajibkan murid atau mahasiswa mereka untuk membaca dan menulis sebagai sesuatu yang tidak boleh tidak, alias harus. Dia mengkritisi harusnya dosen juga lebih kreatif dalam memberikan tugas, yang bisa saja seperti membuat video dan animasi, seperti apa yang dikonsumsi anak milineal sekarang. Kalau menurut pendapat aku sih, setiap dosen atau pengajar mempunyai kebijakan yang bisa saja untuk mata kuliah tertentu memang harus mewajibkan untuk membaca dan menulis.

Zaman boleh berubah dengan banyak gaya untuk belajar, tapi pendekatan paling konvensional sekalipun seperti membaca, tetap tidak begitu saja bisa dihilangkan atau dihindari begitu saja.

Jadi, jika ada dosen yang menuntut mahasiswa membaca menurutku wajar-wajar saja, karena aku sebagai dosen kadang juga sebal dengan anak yang sama sekali tidak mau belajar apalagi membiasakan membaca. Maunya tanya dan mendapatkan jawaban yang instan. Bahkan untuk membuat video atau karya digital lainnya, membaca tetap menjadi syarat dalam prosesnya juga kan. Kalau tidak bagaimana transfer keilmuan dapat diberikan.

Saranku sih, benarkah anda kesulitan membaca, bukankah setiap hari anda membaca status banyak orang di timeline sosial media anda? Atau mungkin berbeda membaca timeline dengan membaca buku atau karya tulis yang cenderung membosankan dan tidak menarik sama sekali. Nah, kuncinya ada di kata “menarik” bagaimana anda membutuhkan dan tertarik, itu tergantung di motivasi anda. 

1 komentar:

Film, Azumi dan Masa Kecilku.

19.58 Unknown 1 Comments


gambarnya nggak nyambung nih, ngomongin film tapi gambarnya kelapa. nggak papa lah, nggak ada adean aku nonton film soalnya, hihi

Aku sangat menyukai nonton film, apa saja asal tidak horor. Tapi, aku tidak terlalu tertarik menulis ulasan tentang film-film yang sudah aku tonton. Pertama, karena sudah banyak yang nulis tentang sinopsisnya. Kedua, aku tidak tahu apa yang harus aku tulis, apalagi pakai gaya kritikus film, kebanyakan nontonku hanya untuk hiburan, mendapatkan pengalaman baru tentang dunia, dan juga mencintai imajinasi. Jadi, saya akan menulis tentang bagaimana kesukaan saya dengan film-film, tapi tidak secara khusus mengulas film tersebut.

Sejak kecil, SD mungkin, saya sangat menyukai menonton film. Bahkan saat semua orang belum mempunyai player. Saya lahir tahun 1987, meskipun tinggal di perkotaan Semarang, tapi saat itu, memiliki player pemutar kaset sangatlah sedikit. Hanya orang-orang kaya yang memilikinya. Untungnya, saya mempunyai satu orang teman kaya yang sering kesepian karena kedua orang tuanya selalu bepergian untuk urusan pekerjaan maupun bisnis. 

Film pertama aku yang tonton masih menggunakan kaset pita nan besar, yaitu film Cinderella. Sebagai gantinya, aku akan mengerjakan PR temanku, asal aku diperbolehkan menonton film-film kartun koleksinya di rumahnya. Sekarang aku tidak tahu bagaimana kabar teman filmku itu.

Kesukaan dengan film makin menjadi-jadi, justru saat aku harus menahan diri tidak menonton selama 4 bulan. Karena ketika aku sudah memasuki bangku tsnawiyah, alias sekolah menengah pertama, aku dikirim ke pondok oleh orang tua. Pondok pesantren tentu saja akan sangat tidak mengizinkan jika santrinya menonton film-film bukan? Akhirnya aku hanya punya kesempatan 2 minggu liburan sekolah tiap catur wulan. Pada tahun 2000 – 2003, tahun ajaran masih dibagi menjadi tiga kali, sehingga dikenal dengan caturwulan. 

Jika ada yang seumuranku, mungkin masih merasakan masa itu. Nah, seminggu pertama di rumah benar-benar aku manfaatkan hanya untuk menonton film. Dengan uang seadanya, aku membeli player, waktu itu film sudah ada dalam bentuk VCD, dan aku sangat bersyukur punya tetangga yang membuka rental film. Langsung saja tiap hari aku dapat menyewa enam sampai tujuh film. Kadang jika terlalu berlebihan aku hanya boleh menyewa 4 film sehari. Dari ratusan film yang aku tonton selama satu minggu per catur wulan selama tiga tahun, hanya sedikit yang benar-benar terkesan.

Pada masa itu, aku paling suka dengan film-film hero yang pemeran utamanya perempuan. Film itu juga bukan hanya film holywood, aku juga suka film-film action Jepang dan juga film romantis India. Nah, film terbaik yang aku suka adalah Azumi. Film ini tentang seorang samurai wanita yang harus menghadapi banyak rintangan untuk menuntaskan misinya. Setiap misi harus mengorbankan orang-orang yang disayanginya. Film ini rilis pada tahun 2003, dan sutradaranya adalah Ryuhei Kitamura, sedangkan Aya Ueto berperan sebagai Azumi yaitu seorang Samurai wanita yang memiliki skill lumayan tangguh dalam menghadapi musuhnya. 

Kenapa aku menyukainya? Secara film-film dengan pemeran utama wanita, membuatku selalu bersemangat untuk bermimpi. Memang sih film ini agak serem dan juga sadis, adegan berdarah dimana-mana, dan dulu aku masih kuat nonton kayak gituan, sekarang mah mending menghindari, cari-cari film drama ajah.

Tapi bagusnya film ini adalah dari gaya pengambilan gambar dan juga animasi yang pada waktu itu sudah sangat canggih bangetz. Meskipun ini film serius dan juga action, tapi pemilihan warna dan setting sangat ceria, dari hutan bambu, sungai, hingga suana kota Jepang kuno yang menyegarkan. Tidak banyak adegan perang dalam kegelapan. Penggunaan pakaian tradional Jepang (kimono) juga menjadi kekayaan perfomance film yang tidak membosankan. Saya menunggu film sebagus ini lagi, tapi meskipun sudah muncul film samurai adaptasi dari kartun Rurouni Kenshin, menurutku masih bagusan Azumi. 

Pertama, film Kenshin aku sudah nonton versi kartunnya, sehingga ketika diperpendek menjadi sebuah film seperti banyak adegan dan cerita yang terpotong. Aktor yang memainkannya juga terlalu imut, meskipun lama kelamaan juga akan terbiasa sih, si pemain Azumi sebenarnya juga imut, cuma karena tatapan matanya bisa dingin dan hangat sekaligus, tokoh ini menjadi sangat unik. 

Kedua, gerakan perang atau battle samurai Kenshin masih kurang detail, kadang terlalu cepat, meskipun bagusnya tidak banyak gambaran sadis. Adapun Azumi, mampu memberikan tidak hanya kecepatan tetapi juga detail gerakan bela diri, serta taktik yang harus dilakukan dengan disiplin dan penuh pengorbanan. Meskipun akhirnya sad ending juga sih.

Film kedua yang lebih ceria, komedi, dan ada animasinya adalah Anna Enchanted. Di film ini pertama kali aku punya aktris favorit, cantik dan semangat, Anna Hathaway. Dari filmnya ini, aku mulai mencari beberapa film yang dia bintangi. Seperti Princess Diare, Princess Diare II, dan the Devil Wears Prada. Hingga beberapa film terbarunya seperti Alice in Wonderland dan the Intern. Film drama yang ia mainkan selalu memberikan pesan untuk selalu semangat dan juga menghadapi segala persoalan dengan positif. Selain juga dia selalu cocok untuk peran putri yang modern.

Adapun untuk film action, aku masih sangat menggemari the Matrix. Awalnya sih bikin aku suka dengan Keanu Reaves, tapi lama-lama biasa aja hihihi.  Awal nonton film ini nggak paham-paham amat, paling yang aku perhatikan action dan juga animasinya yang keren. Secara ini adalah film yang pertama kali menggunakan gaya slow move di bela dirinya atau action scenenya kan. 

Namun kemudian, ketika masa kuliah, aku menyadari bahwa film ini di dalam naskahnya banyak sekali mengungkapnya pertanyaan-pertanyaan filosofis tentang makna “ada”. Tentang sebuah tujuan existensi, tentang mempertanyakan realitas dan juga tentang fenomena kenabian dan forecast di setiap tradisi kepercayaan. Berawal dari sini, aku mulai memperhatikan naskah sebagai salah satu pertimbangan bagus tidaknya sebuah film.

Tentu saja masih banyak film lainnya yang tidak kalah bagus dari yang kusebutkan di atas. Hanya saja memang beberapa film saja yang berkesan, eh itu belum termasuk film bolywood yang melegenda sampai sekarang dari Kunch Kuch Hota Hai, Mohabbatein sampai Har Dil Jo Pyar Karega. Hihihihi

Oke, itu sedikit ceritaku tentang film waktu aku masih remaja. Bagaimana dengan film favoritmu? 

1 komentar:

Hunting Mie Ayam, Kupas Tuntas

22.50 Unknown 1 Comments


Siapa sih di Indonesia ini yang nggak kenal mie ayam? Mie yang katanya sejarahnya dari Cina ini sudah meng-Indonesia bangetz dengan beragam cara untuk beradaptasi dengan cita rasa beragam suku budaya di pelosok tanah air. Sudah harganya murah meriah, mienya lembut, ayamnya mantab, kuahnya segar hingga pedes endes tak terbatas.

Penjual mie ayam bisa saja ditemukan di setiap pojok jalan kota-kota anda, atau langganan yang selalu lewat depan rumah, tapi tidak mudah untuk mendapatkan mie ayam dengan cita rasa yang sesuai selera bukan? Nah, kali ini saya ingin menulis pengalaman saya saat hunting warung mie ayam di Tulungagung.

Informasi umum dulu ya, sebagian besar cita rasa mie ayam di Tulungagung terbagi menjadi dua, yakni Mie Ayam Solo dan Mie Ayam Jakarta.  Mie ayam solo biasanya rasanya manis, ada sedikit kandungan kecapnya, mienya ukurannya agak besar, ada juga yang kuahnya berwarna kuning dan sedikit asin, yang menjadi khas mie ayam solo di Tulungagung adalah ukuran ayamnya, di sini potongan ayamnya besar-besar dan rasanya manis. 

Berbeda dengan mie ayam solo, mie ayam Jakarta biasanya dicirikan dengan memisahkan mie dengan kuahnya. Rasanya pun lebih gurih karena tidak menggunakan kecap, hanya bawang putih dan lada.

Oke, saatnya hunting, dari yang paling populer hingga yang paling enak. Menurutku loh ya... hehehe. Siapa tahu ada yang seselera denganku. Hihihi
ini yang aku maksud mie ayam dengan penampilan kkhas jakarta. kuah dan mie dipisah..

Awal mula di Tulungagung, kalau lagi googling, yang paling terkenal adalah mie ayam ijo di wilayah Tunggulsari Tulungagung. Mie ayam ini memang unik karena menyediakan mie yang warnanya ijo. Selain itu, berbeda dengan mie ayam lain yang biasanya pakai sawi hijau, di mie ayam ini pakai selada. Menurutku sih, rasanya asin, dan kuah dan mienya nggak bisa nempel, tidak tahu kenapa, sehingga mienya pun meski warnanya cantik cerah nan hijau mempesona rasanya cenderung anyep.

Tahukan anyep? Nggak asin nggak manis alias nggak ada rasanya kecuali rasa tepung. Ayam yang sudah dibumbuin pun harusnya enak, tapi rasa itu hanya bisa bercampur dengan kuah, tidak dengan mie apalagi seladanya. 

Soal selada lah ya, sebenarnya itu pilihan alternatif yang bagus juga, secara mie ayam di Tulungagung dipengaruhi dengan gaya cwi mie ala Malang yang memang menggunakan selada untuk pelengkap sayurannya. Masalahnya, selada ini nggak tahan panas, jika selada dan kuah mie ayam dijadikan satu mangkuk. Kalau dimakan terpisah dia pahit, kalau dimasukin kuah langsung lemes lenyap. Dilema selada di mangkuk mie ayam. Hal ini bisa saja dihindari jika sama mie dan kuahnya terpisah. Hahahaha aku kog kayak kritikus makanan ya... hahahahaha

Dengan gaya yang sama, menggunakan ciri khas mie ayam beragam warna, ada yang namanya warung mie ayam Malioboro, lokasinya di seberang Mie Nelongso (salah satu warung mie terpopuler dan teramai di Tulungagung). Mie ini spesialisasinya mie rasa wortel dan rasa bayam. 

Harganya memang di atas rata-rata mie ayam original sekitar 8.500an kalau yang ada rasa-rasanya sekitar 12.000an. Gaya penyajian mie ayam ini seperti mie ayam jakarta, dipisah mie dan kuahnya. Tapi olahan ayamnya khas solo, yang cokelat dan manis. Pakai sawi hijau dan ukuran mie ayamnya kecil. 

Boleh lah sekali-kali ngemie di sini, hanya saja menurut saja kurang segar. Karena kuah yang disajikan kurang panas, kuah mie rasa asin tapi ayam yang disajikan manis, jadi mungkin yang diharapkan gurih, tapi sayangnya kurang pas, karena seperti setengah-setengah mau mengarah ke mana rasa mie ayamnya hehehehe saya lupa bahwa mie ayam temennya adalah saus. Mungkin kalau dikasih saus bisa membantu.   

Oke, mie ayam kedua, adalah mie ayam terkenal dan enak. Yakni mie ayam Perempatan Kepatihan. Dari Masjid Al Muslimun itu ke Barat dan tidak lebih dari 50 meter  

Mie ayam ini sangat ramai dikunjungi para penggemarnya. Harganya memang di atas rata-rata kurang lebih 10.000an, tapi rasanya jos. Mie ayam khas Jakarta memberikan kualitas sebagaimana pilihan genre rasanya. Ukuran mienya kecil, sebagaimana yang biasa dipakai untuk mie ayam Bangkok yang khas Cina. Sebelum disajikan mie nya dicampur dan diaduk dengan minyak ayam, minyak wijen dan bumbu. Di atas mie, diletakkan selada segar dan juga ayam yang dipotong halus, dengan rasa garam dan lada dengan sedikit minyak wijen. Kuah disajikan terpisah. Selain segar karena dicampur dengan daun bawang, juga awet panas. 

Jadi meskipun cara makan anda dengan tetap mempertahankan mie dan kuah terpisah, maka hangatnya kuah akan tetap bertahan hingga anda menghabiskan mienya. Dan, misalnya pun kuah itu anda masukkan ke dalam mie, kuahnya tidak mengganggu bumbu. Mie ini memang cenderung rasa asin, sangat berbeda dengan mie ayam solo.
   
mie ayam Tunggal Rasa 

Ketiga, mie ayam Tunggal Rasa di Jalan Sutomo, Tulungagung. Yang ini mie ayam favoritku. Karena pada dasarnya aku suka mie ayam yang agak solo dan juga agak jakarta. Hohohoho apa itu maksudnya. Hehehe... mie ayam yang tetep berkuah (tidak terpisah kuahnya) tapi juga asin (meski ayam yang disajikan warna cokelat alias pakai kecap). 

Mungkin secara penampilan mirip mie ayam solo, tapi rasanya lebih ke mie ayam Jakarta. Kkwkwwkwkwkw aneh juga ya,,,, Mie ayam dengan tagline nama Tunggal Rasa di Tulungagung sebenarnya banyak, ada di Kepatihan hingga perempatan BTA. Tapi hanya yang di Jalan Sutomo ini yang cocok. 

Saya tidak tahu kenapa mie ayam tunggal rasa yang satu dengan yang lain berbeda. Kadang ada yang terlalu manis, kadang ada yang mienya terlalu besar. Oke, kenapa mie ayam ini juga spesial, menurut aku sih karena rasanya, teksturnya maupun kesegarannya pas. Ukuran mie tidak terlalu besar maupun kecil, sehingga tidak membuah neg yang makan. Kuah yang disajikan juga tidak terlalu banyak ataupun terlalu sedikit,  sehingga mienya tidak mudah mengembang. 

Saya lebih suka sawi hijau dari pada selada untuk mie ayam, dan sekali lagi, sawi harus dimasak dalam kondisi segar. Kalau sawi sudah dimasak duluan untuk mempercepat proses penyediaan mie, maka membuat kuah yang ada di mangkok kehilangan cita rasa segarnya sawi. 

Tekstur ayamnya yang dipotong tidak besar-besar seperti ayam potong, tapi lebih seperti ayam sisir, jadi ayam pun terasa lebih lembut dan mudah dikunyah, nggak ada ceritanya seliliten makan ayam nya mie ayam hohoho. Rasanya pun meskipun pakai bumbu cokelat khas mie ayam solo, tapi tidak mendominasi rasa kuah yang dibuat gurih. Kuahnya bening, tidak berwarna kuning maupun agak ada cokelatnya. After all it is the best mie ayam i found in Tulungagung.

Oke, sampai di sini, studi tentang mie ayam di Tulungagung. Disambung nanti kuliner lainnya...

1 komentar:

Kopi dan Denyut Nadi Kota

20.48 Unknown 1 Comments


Kota boleh lengang, tapi bukan berarti tidak ada keramaian. 

Pertama saya datang ke sini, ketika ingin mencari makan malam, saya dan suami hampir kesulitan. Salah kami juga yang telat hunting makan karena keasikan nonton film, dan ketika keluar rumah tidak sadar sudah jam sembilan. 

Kami menyusuri jalan-jalan besar di tengah kota, berharap ada warung atau resto yang masih buka. Tapi kota ini menunjukkan hal sebaliknya. Pertokoan tutup, jalan lengang, tidak ada lagi parkir mobil dan motor di pinggir jalan, tidak juga ada penjual gerobak.

Tapi, ada yang menarik perhatianku. Di beberapa titik, di antara bangunan dengan lampu depan teras yang sudah gelap, ada cahaya. Orang-orang berkumpul mengerumuni cahaya.
salah satu pojok cafe atau warung angkringan Simongan Tulungagung

Jadi ingat laron, tapi ini bukan laron. Jadi, ada beberapa warung dengan menyediakan meja besar, di ruang terbuka, ada juga yang lesehan di teras-teras rumah. Meja dikelilingi oleh anak muda hingga bapak-bapak. Nampak  cangkir-cangkir kopi hitam, asbak, dan juga beberapa gorengan. Kalau warung macam itu, biasanya aku sebut dengan angkringan.

Aku ragu harus menghentikan sepeda motor, secara angkringan menjadi sangat lekat dengan cowok. Jadi, aku pun berpikir, jika ada angkringan, ada kopi, maka seharusnya ada cafe. Hohohohoh tempat yang lebih feminim.
ini salah satu gaya aku di angkringan Pinka 

Nah, jika anda cari di google, ada banyak cafe yang tersebar di Tulungagung. Tapi sebagian cafe itu berstatus seperti resto yang akan tutup jam 9 malam. Sebenarnya yang unik di sini adalah banyak angkringan yang didesign seperti cafe. Rapi, bersih, beragam jenis kopi serta minuman tradisional lainnya dan juga makanan ambil sendiri.

Jenis makanan yang disajikan kelas angkringan bangetz, dari nasi bungkus (kalau di semarang, aku sih nyebutnya nasi kucing, nasi dengan sambel teri atau lauk yang minimalis) sampai segala macam gorengan. Nasi bungkus di sini juga macem-macem, ada namanya nasi campur, nasi yang lauknya berupa mie, sambel goreng tahu, potongan telor dadar. Ada namanya nasi gegok, nasi yang dibungkus daun isinya teri dengan kelapa parut kemudian bungkusan itu dikukus, nasi ini rasanya sedap, bau daun, dan gurih kelapa dan teri. 

Ada yang namanya nasi sambel teri, ini sudah biasa kan, tapi teri di sini besar-besar dan sambelnya pedesnya nendang, bisa megap-megap nggak karuan. Ada juga nasi goreng, nasi ayam (meski potongannya kecil bangetz) dan juga nasi ikan. Nasi favoritku adalah nasi gegok yang dibakar sebelum disajikan. Wangi daunnya yang nempel di nasi memberi suasana adem di lidah.
salah satu penampakan barista angkringan

Tidak hanya makanan, angkringan ala cafe yang menarik juga menyediakan berbagai jenis minuman. Cafe-cafe konvensional, cafe ala resto, minuman yang banyak ditawarkan seperti berbagai kopi, teh, juz hingga soda. Berbeda dengan angkringan ala cafe, minuman yang dijual, lebih seperti minuman olahan lokal, dari rempah-rempah, susu, santen, buah, hingga cokelat. 

Tulungagung terkenal dengan kopi ijo dan juga kopi hitam. Bagi yang nggak kuat minum kopi ijo, bisa pusing atau diare, seperti suamiku. Padahal, dia tipe peminum kopi hitam tiap pagi dan sepanjang hari saat bekerja. Nah, bagi yang cocok dan suka, bisa saja ketagihan, kopi ijo ini adalah olahan kopi sangrai ( biji koppi sangrai akan jadi hitam, makanya kopi warnanya hitam) dan kopi mentah (biji kopinya masih ijo). Hampir semua warung akan menyediakan untuk anda.

Warung kopi terlaris di Tulungagung adalah Warung Kopi Waris. Ini jenis yang benar-benar warung kopi. Semua orang datang hanya demi kopi.

Nah, tentang minuman lainnya, tadi saya menyebutkan rempah-rempah. Minuman tradisional ini menggunakan rempah-rempah sebagai komposisinya, seperti jahe, sere, salam, kencur dan lain-lain. Nama minumannya di antaranya bajigur, uwuh, jakencruk (jahe kencur jeruk). Owh ya, di Tulungagung, es beras kencur itu sama biasanya diminum seperti  es teh dan es jeruk setelah makan di warung-warung. 

Minuman tradisional ini menjadi sangat populer di kalangan anak muda, terutama yang doyan nongkrong. Selain menyehatkan, minuman ini juga recomended kog, rasanya enak, segar dan dapat menjadi alternatif selain minuman di ordinary cafe seperti capucino, latte, moccacino.

Di angkringan ala cafe, pembeli datang, mengambil piringan (biasanya dari jalinan bambu atau piring seng yang warna putih mengkilap itu lo) kemudian mengambil lauk berupa gorengan atau jajanan, jika mau, gorengan itu boleh minta ke penjual untuk dibakar sebentar di atas bara, tidak hanya gorengan tempe, tahu, atau menjes (kalau di jawa tengah disebut juga dengan tempe mbus), tapi juga ada gorengan ayam, cakaran pedes, tahu bakso, hingga sosis bumbu kecap. 

Dijamin mata dan perut anda ikut berbinar. Lauk itu melengkapi berbagai jenis nasi yan saya sebutkan tadi.

Oh ya tambah satu lagi, angkringan khas dengan jualan di atas gerobak dengan atap daun rumbia. Di sini juga sama, setiap angkringan ala cafe, selalu mengusahakan adanya simbol tersebut. dengan lampu pencahayaan kuning nan temaran. Tapi, memang tidak semua tempat favoritku seperti itu sih. Yang aku garis bawahi hanya menu dan bagaimana cara kita mengakses menu. hehehe

Kalau di Tulungagung, ada beberapa tempat favorit angkringan ala cafe kami. Pertama, namanya Angkringan Pinggir Kali atau dikenal dengan Pinka. Letaknya di Jembatan Lembu Peteng di bantaran sungai sebelah Barat, dekat penjual tanaman (sekarang sih sudah digusur sejak dibangun running treck di pinggiran sungai). Angkringan ini buka sore sekitar jam 4-an. Lokasinya agak mojok, tapi bisa langsung melihat aktivitas orang-orang yang menghabiskan waktu bermain dengan keluarga, main layangan atau nongkrong-nongkrong saja di sepanjang sungai Lembu Peteng. Angkringan ini spesialisasinya di lauk dan segala macam jajan ringan. Seperti beragam jenis kerupuk, klethian, jajanan pasar dan lain-lain.

Kedua, angkringan otomotif. Angkringan ini sangat populer di kalangan remaja, mahasiswa, sampai orang dewasa. Letaknya di pojoan perempatan Bus Ngguling. Meskipun agak aneh karena lokasinya yang sangat terekspos, secara di pojokan perempatan, jadi siapa saja yang berhenti di lampu merah bisa melihat secara leluasa siapa aja yang sedang nongkrong di situ. Tapi, angkringan ini menawarkan minuman yang alamaaak seger dan so traditional gituh... namanya juga lucu-lucu. Seperti bandrek, uwuh, ada juga namanya wedang nonik, isinya beragam buah dicampur dengan susu hangat dan jahe. 

Memang, jahe menjadi andalan minuman tradisional, rasanya yang menyegarkan ternyata dapat dipadu-padankan dengan beragam olahan minuman lainnya, baik sesama rempah atau bahkan buah-buahan.

Ketiga, bukan macam angkringan, tapi juga bisa angkringan deh, lebih mirip warung kopi seperti cafe. Namanya, Samongan. Lokasinya memang terpencil di Kelurahan Tertek, tempatnya tidak di pinggir jalan besar, juga tidak di tengah keramaian. Di sini, memang lebih banyak diisi oleh bapak-bapak. Menyediakan berbagai jenis kopi dengan beragam cara penyajian. Kopi-kopi yang dijual di sini berasal dari beberapa tempat yang terkenal dengan kualitas kopinya, dari kopi Gayo, kopi Toraja, kopi Aceh, hingga kopi khas Tulungagung sendiri. 

Cara pengolahannya bisa memilih dengan gaya tradisional, gaya tubruk yang sederhana atau gaya press yang pakai alat agak heboh. Tinggal dipilih. Lokasi terpencil yang tenang membuat jagongan menjadi khusyu’ dan nyaman. Dikelilingi pagar bambu, rumah ini disulap menjadi ruang-ruang yang diisi meja-meja di beberapa sudut, ada juga satu ruang khusus yang dibuat di atas pohon. Bagi kalian penikmat kopi, ini menjadi salah satu dari yang terbaik referensi aku.

Oke, sampai di sini ulasanku sedikit tentang tempat nongkrong kopi macam angkringan ala-la cafe di Tulungagung, selamat mencoba. 
met ngopi. Lokasi di Kedai Bang Kosim. Tulungagung

1 komentar:

Kapal-kapalan di Prigi Trenggalek, Bermain dengan Air dan Menyapa Angin

02.09 Unknown 1 Comments


Liburan akhir tahun telah tibaa...... Bagaimana tidak, selama beberapa minggu berturut-turut sejak pertengah Desember hingga akhir Januari terdapat tiga hari libur. Pertama, kami tidak mengambil keputusan akan ke mana dan ngapain, karena memang uang saku sedang pas-pasan, dan lebih memilih untuk menyelesaikan rak untuk dapur. Tidak menyangka, bahwa liburan kali ini sangat amazing.

Awal minggu pertama, kami mendapatkan kunjungan dari keluarga Semarang, ada sekitar 7 rombongan orang tua remaja dan anak-anak, plus adik yang di pondok. Liburan selalu menjadi ajang silaturahmi dan juga sekalian mampir jika ada lokasi wisata yang bisa dikunjungi. Secara ibuku punya misi untuk mengunjungi saudara iparnya yang sudah berpisah selama hampir 15 tahun sejak meninggalnya pakdeku 20 tahun yang lalu. 

Aku di Tulungagung, sedangkan Budhe ini bertempat tinggal di Ponorogo, tapi tidak mengurangi semangat ibuku yang sudah melakukan perjalanan dari semarang sekitar 8 jam.  Padahal sebelumnya, ibu dan rombongan tadi ke pondok Lirboyo dulu untuk niliki adik bungsuku, yang akhirnyaikut rombongan pulang ke Tulungagung sementara.
Ok. Informasi saja.  

Kalau kamu baru pindah di Tulungagung dan mau mencari charteran mobil dalam waktu cepat aman dan dapat dipercaya sebenarnya nggak masalah kog kalau mau cari info itu di google. 

Beberapa dapat dihubungi by phone, kami bahkan mendapatkan mobil charteran melalui info di OLX. Perjalanan Tulungagung – Ponorogo plus mampir ke Prigi, kami menyewa Elf, dengan sopir dan bensin, biayanya  Rp 1.100.000,- secara rombongan kami sekitar 12 orang belum termasuk sopir jadi tidak bisa mengandalkan satu mobil biasa saja.

Perjalanan menggunakan elf nggak enaknya harus berjalan dengan pelan, apalagi jalan yang harus ditempuh agak panjang dan berkelok. Butuh lebih dari tiga jam untuk Tulunggung ke Ponorogo dan 3 jam lagi untuk ponorogo hingga prigi.

Okelaaahh.. setelah perjalanan panjang, sampai juga kami .
Kami mengunjungi Pantai Pasir Putih Prigi, ... siapa yang tidak kenal pantai ini.... terkenal di seantero jagad mataraman Jawa Timur, yang artinya pada tanggal merah akan banyak orang yang datang,,, bajibun pokoknya dah...

Setelah perjalanan hampir 3 jam dari Ponorogo tempat budhe, kami sampai di Pantai sudah sore jam 4, itu pun masih banyak mobil dan bus yang terparkir sehingga sulit untuk meletakkan elf yang segedhe gambreng ini ,,,, 

karena sejak kami sudah mempunyai tujuan yang pasti ke Prigi,, maka langsung saja kami eksekusi....
Kalau ke Prigi yang paling menarik adalah.... NAIK PERAHU... hehehehe..

Turun dari mobil atau apapun angkutan anda, maka akan langsung didatangin sama mas mas ganteng dan bapak bapak cakep menawarkan  untuk melihat pemandangan berkeliling teluk dengan menaiki perahu. 

Di sepanjang pantai pasir putih ini akan ada banyak sekali perahu dengan warna yang ceria dari biru merah hijau putih kuning... tidak hanya perahu juga ada pisang boat ....yakni balon pisang bwesar yang ditarik menggunakan perahu boat.... harga menyewa perahu memang sangat beragam, sesuai dengan jumlah lokasi titik dan panjang waktu, pernah kami sebelum dengan keluarga hanya aku dan suami aja menyewa satu kapal... hanya untuk kami berdua.. mengunjungi 5 titik, harga yang dibayar adalah 75.000... mayan loh... sekitar setengah jaman... Berbeda ketika aku membawa keluarga, ada sekitar 12 penumpang, yang kami bayar adalah 150.000 di 6 tempat sekita2 satu jam... muter2nya...Sore-sore dengan air yang cukup kencang tidak membuat keponakanku takut, mereka malah bernyanyi riang dengan tante dan om-nya.. nyanyi india pula....


Pantai nan warna biru ini, sangat indah.. tapi suasana menjadi agak tidak nyaman karena terlalu ramai. Tapi mau bagaimana lagi, namanya juga lokasi wisata, setelah naik kapal, ibu dan kakakku ditemani suamiku untuk belanja ikan. 

Di Prigi terkenal dengan ikan asapnya, terutama ikan seperti ikan tuna, ikan salmon, dan juga ada gurita. Untuk ikan tuna per kilonya sekitar 25.000 atau juga bisa lebih. Sebelum berangkat kami membawa nasi dan sambel, nah sampai di sini tinggal minta pedagangnya untuk mengasap dan membumbui ikan tersebut,,,, sambil menunggu itu, aku main air dengan adik dan keponakanku....
Liburan memang menyenangkan.

Kalian juga bisa mengajar keluarga untuk mampir ke Pantai Prigi loh... silakan berkunjung. 

1 komentar: