Idul Adha 2012, aku kamu dan mereka

00.10 Unknown 1 Comments

Susah juga mau bercerita tentang perjalananku. Saya bersyukur waktu yang saya lalu selama lima hari terakhir ini begitu sempurna, meskipun tidak lepas dari kesulitan, penyesalan dan kecewa. Tapi untuk ukuran kehidupan yang singkat ini, patut disyukuri.
Saya sendiri tidak menyangka liburan kali ini menjadi begitu indah, meskipun saya hanya punya sedikit waktu dengan ibu. Semoga lain kali, aku bisa membayar kekurangan ini.
Rabu siang setelah kuliah kelas Zoe, aku kebingungan mencari bantuan goncengan gratis sampai Jombor, memang jodoh itu tidak lari ke mana, seorang sahabat yang kayaknya hanya dia yang bisa kuandalkan. Sekali lagi menjadi pahlawan. Dengan nada bicaranya seperti pastur campuran dalang jawa selalu membuatku geli dan gak bisa berpaling melihatnya ketika mulai berbijaksana ala Golden Ways . Dia mengantarkan aku ke Jombor.  
Ketika menulis ini, aku dalam perjalanan berangkat ke jogjakarta menggunakan Travel sumber Alam, goncangannya memang mengganggu, tapi aku tetapi berusaha senyaman mungkin. Kali pertama aku memakai jasa travel ini. Biasanya menggunakan nusantara.
Jam lima sore waktu semarang, matahari tinggal sorot-sorotnya yang berpendar dari balik awan-awan berwarna biru lembut. Cahaya kekuningan mulai menyapu jalanan dan bayangan menghilang. Lebih redup dibanding sore itu saat bus Jogja beberapa hari lalu membawaku ke Semarang.
Terminal Terboyo terletak di sebalah utara Kota Semarang, terminal tua yang tidak pernah bebas banjir menyambutku dengan kerumunan menawarkan taksi, becak, atau bus jurusan lain. Aku lewati mereka menahan lapar serta membayangan satu potong berger berdaging ayam penuh bumbu pedan nan kracy,, upz. Sayang tidak ada penjualan berger di terminal. Hanya nasi-nasi rames dan setumpuk jajanan di toko.
Saat yang paling kutunggu. Semoga rinduku terbayar sore ini. Meskipun sebentar. Sepertinya sebentar. Dan memang sebentar.  Liburan  panjang tapi waktuku pendek untuk rinduku di kota ini. Ruang dan waktu selalu menjadi batas yang sulit ditembus. Ada kalanya hati harus pandai membujuk diri. Suatu saat nanti. Semoga lebih baik. Apa pun itu.
Malam Kamis, masih besok malam takbiran Idul Adha. Di rumah ibu. Terkapar di kamar. Menunggu alasan untuk bangun. Biasa saja. Adik pulang dari pondok pesantren. Ramai orang kerja bakti memperbaiki jalan. Tidak ada apa-apa kecuali kecemasan. Malam berlalu dengan satu film India “Mein Ho Na” hingga larut dan terlelap dengan bantal buku Richard King.
Kamis, 26 Oktober 2012
Sudah siang. Tepat 07.30 melirik adikku yang berganti pakaian dan berdandan. Apa yang harus kulakukan pagi ini. No dating. No homes. “bisakah aku on line di kampusmu?” tanyaku. “Bisa” jawab adiku sambil mengoleskan celak di bawah kelopak matanya. Teringat tugas journals membuatku harus on line. Segera moloncat. Mandi bebek. Memilih pakaian seadanya. Kaos panjang warna abu-abu dan rompi cokelat dari Mbak Nenis. Dalam lima menit siap ngikutin adikku. Dia kuliah mengambil jurusan Hukum Islam.
Semarang panas sekali untuk ukuran jam setengah sembilan. Menyengat dan debu bertebaran. Pohoh-pohon di pinggir jalan yang rimbun saat aku sekolah SD dulu, habis untuk proyek pelebaran jalan. Adikku biasanya berangkat kuliah menggunakan sepeda warisanku. Sepeda yang diberikan Dekan tempat kuliah aku dulu, ketika aku mulai mengerjakan skripsi. Sekarang sepeda itu di rumah, masih tetap kuat. Rangkanya tebal tatapi tetap ringan. Warna putih keabuan pun tidak pudar, yang kulakukan hanya menggantikan roda yang mulai tipis tergerus jalan.
Tapi kali ini, kami naik becak hingga jalan raya. Jalan Ronggowarsito memiliki banyak sejarah dari aku kecil. Memiliki panjang satu kilometer menghubungkan antara kota lama menuju Pelabuhan Tanjung Mas. Selama 12 tahun, sejak aku SD jalan ini tidak pernah kering dari genangan rob maupun hujan. Tinggi banjir bisa mencapai 100 cm, seperti sungai yang dilewati truk-truk besar. Aku suka melihat ombak-ombakan yang terbentuk dari riak air karena gerakan roda-roda besar. Gelombang air itu menerpa trotoar yang semakin lapuk. Ada gedung tua yang terletak di seberang jalan gang rumahku. Tua tak terurus berbentuk limas dan satu lampu kuning di gerbang gedung. Tiap aku menangis, ibu akan meletakkan aku di goncengan sepeda miliknya dan membawaku di depan gedung tua limas bercat putih terendam air. Sebentar bercerita tentang dongeng rumah tua dan kembali ke rumah. 
Setelah enam tahun terakhir jalan Ronggowarsito dibangun dengan menggunakan aspal setebal 50 sentimeter. Jalan bagian utara yang lebih dahulu ditinggikan, bersamaan dengan pembangunn jalan layang di sepanjang pesisir pelabuhan. Adapun bagian selatan lebih rendah. Akibatnya air berpindah memenuhi jalan bagian selatan, masuk ke rumah-rumah dengan atap rendah, hanya berjarak satu setengah meter dari dasar jalan. Dua tahun kemudian, jalan selatan ditinggikan dengan kualitas beton lebih baik dari sebelah utara. Rumah-rumah semakin nampak pendek. Meskipun sebagian besar warga memilih bertahan dengan kondisi tinggi rumah yang selalu berlomba dengan tinggi jalan, namun ada juga yang meninggalkannya dan mencari tanah di dataran yang lebih tinggi.
Bagian jalan yang lain kini berubah menjadi lautan. Dulu, tempat itu digunakan sebagai lokasi pusat tumpukan kontainer. Seperti balok-balok warna yang disusun. Lego-lego anak berukuran raksasa. Lahan berbatako, anak-anak sering menggunakannya untuk bermain sepak bola. Adapun aku dan puluhan laki-laki dari kampung datang ke lapangan itu untuk berlatih silat. Aku? Tidak bisa silat. Masih berumur enam tahun, saat melihat mereka belajar menendang berpencak seperti menari, di bawah cahaya bulan, dan udara berbau laut.
Becak sudah sampai perempatan Pengapon, tempat kami akan berpindah naik angkutan umum. Kebetulan bus lewat, sepuluh menit berlalu, bus sudah berhenti di depan kampus.
Kami berjalan, lalu lalang motor dan mobil bergantian. Kampus yang terletak di perbatasan kota ini memiliki banyak pohon-pohon rindang. Wangi jamu tercium sejak arah gerbang. Kata adikku, wangi jamu itu berasal dari pabrik jamu yang terletak tidak jauh dari kampus. Dia menyuakinya. Rasanya khas rempah-rempah. Terdapat beberapa gedung, kami melewati gedung jurusan dokter gigi. Beberapa mahasiswa terlihat bercengkrama di dibawah pohon yang dibangun tempat duduk melingkar dari semen. Lokasi tersebut dilengkapi stop kontak di beberapa titiknya. Dengan demikian, mahasiswa bisa menggunakan sambungan listrik itu untuk netbuk. Aku mencoba salah satunya. Tapi gagal. Tidak ada aliran listrik.
Adikku mengajak ke salah satu pojok ruangan yang terletak di depan ruang kantor fakultas. Netbukku tidak berhasil tersambung pada wifi kampus, terpaksa menggunakan netbukknya. Ternyata signalnya tidak cukup kuat untuk mendownload journal-journal yang aku butuhkan. Akhirnya, aku hanya on line seadanya sembari menunggu dia selesai kuliah.
Udara masih terasa panas dan gerah. Tak ada kipas angin apalagi AC. Perutku lapar. Tidak ada bacaan yang menarik dari netbukku. Beberapa mahasiswa sibuk membuka facebook dan membicarakan tentang tugas-tugas kuliah.
Dulu, aku mengambil jurusan Tafsir Hadis yang dibuka oleh salah satu perguruan tinggi Islam di kota ini. Tidak ada alasan yang lebih logis bagiku waktu itu selain mendapatkan beasiswa hingga selesai S1 yang ditawarkan oleh program tersebut. Tanpa sengaja secarik kertas brosur aku temukan di sebelah bantal ketika aku tidur siang di kamar asrama SMA. Tafsir Hadis mrupakan salah satu materi yang paling tidak aku sukai saat duduk di bangku Madrasah Aliyah Keagamaan Kudus. Kami harus menghapal ayat berserta tafsirnya dalam bahasa arab. Dan menghapal adalah hal yang paling tidak aku sukai karena aku tidak bisa. Kepalaku terasa penuh hanya untuk menghapal satu ayat saja.
Wifi kampus ini tidak membantuku mendapatkan yang kucari. Aku hanya membuka situs-situs yang memberikan informasi padaku tentang popular religion. Sebagian besar situs menghubungkan popular religion dengan budaya Cina. Aku tidak mengerti bagaimana memahami istilah ini dari pengertian-pengertian yang diberikan oleh eksiklopedia on line. Aku belum memahami bagaimana agama menjadi bagian yang populer, seperti layaknya musik pop, makananan pop, style pop, yang tumbuh, diterima masyarakat pada kurun waktu tertentu. Bukankah hal-hal yangbersifat pop memiliki batas waktu tenar yang tentunya akan digantikan oleh hal lain yang lebih ngepop dari sebelumnya.
Aku juga belum mengerti kenapa budaya maupun filsafat Cina menjadi sama dengan istilah kepercayaan, dan menjadi salah satu bahasan dalam popular religion. Aku belum membaca banyak tentang diskursus yang aku temukan pada tahun 90-an tepatnya 1995 pada journal Asian Studies. Sibuk dengan pikiranku membuatku sedikit bisa melupakan hal-hal yang mengusik di hatiku. Ada banyak pertanyaan dalam hidupku yang tak terjawab, dan aku membiarkannya berlalu.
Lembaran-lembaran situs silih berganti. Beberapa mahasiswa keluar masuk dan berjalan di hadapanku. Tak ada satu pun yang kukenal. Aku tidak bersekolah di sini. Berpikir lagi apa akan aku lakukan hari ini. Kemudian, menghubungi salah satu teman yang kuharap bisa menemaniku menghabiskan hari ini.
Adikku datang dengan temannya, aku bilang akan melanjutkan perjalanan ke Simpang Lima. Anak ini memang kesulitan berbicara denganku. Dia sering marah karena aku tidak bisa berlama-lama di rumah. Aku tidak betah. Dan mungkin aku tidak menyukai di rumah. Aku sendiri tidak tahu mengapa demikian. Asing itu saja. Dan dia tidak menyukai aku  yang tidak di rumah, dengan banyak hal  yang seharusnya aku selesaikan.
Berjalan di siang terik membuatku harus sering mengusap peluh di kening. Menutup muka dengan kerudung dan bersabar menunggu bus lewat. Panas sekali. Hingga aspal jalan seperti bersinar putih terang memantulkan cahaya matahari. Seperti dikepung sengatan-sengatan di kulit. Tidak ada tempat bertenduh di trotoar. Tidak ada warung. Lima belas menit berlalu dan belum ada bus arah Simpang Lima lewat. Aku ingin jalan-jalan.
Busnya melaju pelan. Bus tua berwarna kuning yang seperti terbatuk-batuk tiap sopirnya mengegas. Menelusuri sepanjang jalan dan menjemput penumpang. Sama seperti Jalan Ronggowarsito, Jalan Kaligawe juga menjadi langganan banjir di kotaku. Jalan ini memang tidak jauh dari bibir pantai, mudah sekali banjir.
Duduk di bus dan memandang jalan-jalan yang dilewati menjadi bagian hidup yang kusukai. Memperhatikan banyak orang, membayangkan bagaimana kehidupan mereka, dan mensyukuri apa yang bisa saya dapat hari ini. Bus melewati kota lama setelah beberapa menit terjebak macet di Jalan Kaligawe.
Kota lama terletak di sebalah utara Kota Semarang. Ketika memasuki wilayah ini, jalan aspal akan digantikan dengan jalan batako. Deretan bangunan-bangunan tinggi kuno ada terlihat masih gagah. Bangunan itu dibungkus daun-daun yang merambat di tembok yang semakin lapuk. Jendela besar setinggi dua meter, tembok seperti susunan batu bata merah dan cat warna putih tulang. Jendela kayu terletak simetris bersebalahan. Bagian atas jendela berbentuk setengah lingkaran. Bangunan dengan menara-menara runcing menjulang.
Bus melewati Gereja Belenduk. Gereja yang memiliki kubah mirip dengan kubah gereja Paus di Vatikan dalam ukuran yang lebih kecil. Atau kubah yang juga mirip dengan kubah masjid. Empat tiang bulat menampang atap depan gereja. Aku tidak pernah memasuki gedung itu, aku pensaran sekali. Banyak orang datang hanya untuk mengambil foto dari salah satu bagian gedung tua ini. Sebelah gereja terdapat taman kecil berbentuk lingkaran dengan tengahnya pohon besar tua dan rindang seperti payung yang meneduhi taman. Di pinggiran taman juga ada satu pohon dengan bunga-bunga warna kuning yang biasa rontok tertiup angin. Tanaman perdu mengelilingi lingkaran taman secara berpusat seperti labirin kecil. Ada bunga warna merah menyala yang mekar di sana sini. Angin juga membuat daun-daun bertebaran bercampur dengan debu dan knalpot. 
Gereja ini sebenarnya tidak terlalu jauh dari rumahku, hanya butuh sekitar 15 menit bersepeda. Aku punya tempat istimewa di taman itu, di sebelah utara taman terdapat warung angkringan yang menjual kopi dan gorengan. Biasanya aku memesan satu cangkir kopi susu panas dan duduk di tikar yang digelar di bawah cahaya lampu kuning salah satu bagian ujung taman. Duduk saja. Mengingat banyak hal.
Bus menembus puluhan sepeda motor yang menumpuk di lampu merah depan Pasar Johar. Melewati gedung kantor pos tua dengan warna khas orange dan kuning. Genjrang genjreng pengamen keluar masuk bergantian. Bus berhenti beberapa menit. Kernet mencari penumpang. Berteriak memanggil-manggil ibu, bapak atau mbak-mbak yang melewati trotoar. Sopir duduk tenang sambil mengipasi tubuhnya dengan koran. Masih banyak bangku kosong. Sopir memberi kode kepada kernet untuk segera naik ke bus dan melaju kembali. Aku bersyukur, karena biasanya aku harus menunggu hingga bus penuh.
Hidup seperti mimpi. Bermain dengan bayang-bayang masa depan dan hal-hal yang harus di hadapi setiap hari. Selama tiga tahun dulu saat masih kuliah, aku setiap hari ada 15 menit di bus yang sedang ngetem. Pernah ada perasaan ingin menangis karena jam sudah menunjukkan waktu ujian semakin mendekat. Ada perasaan tidak sabar karena bau keringat, bensin, dan suara riuh pasar. Ada juga perasaan tenang yang menghanyutkanku untuk berpikir.
Bus melewati Jalan Pemuda memasuki tangah kota,,, setengah jam berlalu, dan turun tepat di depan Citra Land. Aku belum memberitahumu jika aku di sini. Aku berjalan mencari tempat makan. Sebelumnya aku berjalan memutar naik ke lantai tiga. Seperti biasa aku datang ke tempat ini, tidak ada alasan lain selain nonton di bioskop. Citra 21 beberapa tahun terakhir hanya memutar film Indonesia. Sejak ada bioskop di Paragon yang memutar film impor. Aku tidak suka film Indonesia, hanya sedikit yang benar-benar membuatku punya alasan untuk melihatnya. Seringnya aku kecewa jika memaksakan melihat film indonesia di bioskop. Bukan tidak bisa memberikan apresiasi terhadap karya-karya anak bangsa. Tapi, aku memang tidak suka film Indonesia yang hanya memiliki sedikit perbedaan dengan sinetron-sinetron di televisi. Entahlah.... tapi kali ini aku pengen nonton film.
Ada empat judul film yang dipampang di depan lobi bioskop,salah satunya Perahu Kertas 2. Film  yang diangkat dari judul yang sama novel Dee Lestari ini memang memiliki alur cerita yang bagus. Aku membaca novelnya ketika awal tahun 2011, tiga bulan menjadi wartawan di salah satu kota kecil di Jawa Tengah. Seorang sahabat perempuan meminjamkanku novel itu. Cerita sederhana tapi cukup menarik.
Aku memilih makan terlebih dahulu di Hoka Bento. Satu menu paket spesial dan mengambil tempat duduk di pojok ruangan. Aku buka netbuk. Menyalakannya dan memasang modem. Kuambil potongan daging dengan saos khas Hokben. Kumakan rasanya legit dan lada hitamnya menggigit lidah. Dagingnya lembut dengan bawang bombay cukup banyak. Sayuran kol dan wortel yang dirajang halus dengan mayonais di atasnya. Daging udang yang ditumbuk halus menjadi sate dan satu potong ayam tanpa tulang lengkap satu bagian sayap.
Kubuka google crome dan kembali masuk pada situs Jstor. Setelah mendapatkan satu bab utuh tentang popular religion. Aku download seluruh paper yang terdapat dalam salah satu volum jurnal yang aku pilih. Meneliti kembali satu per satu volume journal, mencari di mana saya menemukan isu tentang teori agama.
Setengah jam berlalu, seseorang datang membawa satu baki hoka, duduk di seberangku dan mulai bertanya banyak hal. Aku tidak habis pikir bagaimana anak ini bisa sampai di hadapanku. Setidaknya sepuluh tahun telah berlalu. Bagaimana mungkin... aku mengamatinya sebentar, dan hanya menjawab pendek-pendek.
Aku tetap asyik dengan netbukku dan memperhatian satu per satu judul paper. Masing-masing dari kita berusaha tetap nyaman dalam kondisi yang tidak enak di hati. Kadang-kadang diam, menghabiskan sisa makanan. Kadang kau tanya tentang kuliahku, aku menjawabnya dengan lancar, keluhan-keluhanku akibat tugas-tugas kuliah yang sulit kukerjakan. Teori-teori sosial yang menjenuhkan, dan bahasa inggris yang membuatku seperti terjebak di hutan belantara tanpa arah untuk keluar.
Aku mengajaknya untuk menonton film siang ini, karena jam satu siang seharusnya film itu diputar, dan tetapi kamu harus pergi jam dua. Pertimbangan waktunya yang sangat pendek, maka kita hanya duduk-duduk membeli teh uwuh di salah satu sudut mall.
Teh uwuh ini adalah salah satu teh tradisional yang aku sukai. Aku meminumnya pertama kali setelah menonton film di Mall Paragon, di teras atas gedung mall itu. Teh uwuh memiliki rasa khas yang berasal dari rempah-rempah di dalamnya, seperti jahe, daun salam, dan serai. Aku biasa membuatnya di kos. Kami terdiam dan hanya sedikit bicara. Aku bersekukuh tetap menonton film. Aku sedang tidak ingin pulang.
Malam ini seharusnya malam Idul Adha. Di rumah pasti ramai. Adikku terus-terusan sms memintaku pulang. Bukan apa-apa. Dia membutuhkan modemku untuk facebookan. Aku memilih mengunjungi temanku seraya menunggu filmku diputar jam setengah enam. Dia pamit pulang.
Aku kembali membuka netbuk di meja kerja salah satu sahabatku yang saat ini mengambil pendidikan magister. Dia sibuk. Aku pun menyibukkan diri. Aku meminta izin sebentar menggunakan kamar mandinya. Kami melewati lorong kecil dengan penuh cahaya. Tangannya memegangku kerat. Kami bertatapan cukup lama. Aku berpaling. 
Waktu memang lewat dengan cepat, saat kita pernah menghabiskan tahun baru bersama tahun lalu di tempat ini. Berkeliling kota hingga pagi. Dan menahan diri untuk tidak masuk dalam perasaan masing-masing. Meskipun tentu saja hawa dingin selalu meminta kita mencari kehangatan.
Tapi tidak kali ini, perasaanku begitu kosong untuk hal-hal yang begitu mudah bagiku. Seperti menuju kesendirian yang aku susun tanpa kusadari. Waktu memang tidak berpihak. Hanya dengan keangkuhan saja dia akan menolong kita untuk melupakan sesuatu. Tidak segala hal komitmen mampu menaklukkan kehidupan bukan.
“Kau harus berdoa yang buruk,” kata teman lelakiku sebelum meninggalkanku.
“Tidak, itu tidak baik,” kataku.  “Terima kasih mengantarkanku. Sayangnya, aku tidak membeli dua tiket,”
Film baru diputar lima belas menit ketika aku menerima dua sms dari orang yang berbeda. Satu lelaki yang lebih tua dan mantan pacar. Dua sms yang tidak pernah kusimpan nomor pemiliknya. Yang ketiga (dan tidak kusimpan pula) dari sahabat yang berkenan mengantarkanku tadi.
Lelaki yang lebih tua memberitahukan bahwa dia saat ini sedang berkunjung di Jogjakarta, sayang sekali aku sedang pulang ke rumah. Lelaki lain mengatakan kebetulan, dia sedang berada di Semarang setelah mengantarkan seorang teman ke terminal. Dia berdalih, bahwa teman perempuannya yang juga kakak kelasku mengajaknya ngopi di angkringan. Kami sepakat asal aku selesaikan filmku.
Filmnya bagus. Tapi tidak terlalu menyukainya. Kisah cinta yang menarik. Andai saja, kehidupan begitu tulus untuk memberikan kisah cinta yang sama bagi setiap orang. Ada satu kalimat yang aku sukai dari naskah film itu, “Hati itu tidak memilih, hati itu dipilih”. Beruntung bagi mereka yang menemukan Pasangan Jiwa ( istilah Paulo Coelho di Brida) dan hidup bahagia.
Dia menunggu di halaman Mall. Aku menghampirinya. Suara Takbir bergema, tapi tidak ada yang berubah. Lalu lalang kota dengan mobil-mobil dan lampu-lampu pijar tetap sama dari malam-malam biasanya. Kami memilih duduk di salah satu sudut trotoar sepanjang jalan Gubernuran.
Trotoar ini baru dibangun, lampu-lampu cantik ditata apik menerangi jalan. Banyak orang seperti kami duduk-duduk. Anak-anak berlarian menggunakan sepatu roda dan skuter. Penjual kopi lewat dan dia memesan dua gelas kopi hangat. Suasan canggung. Aku bercerita banyak hal tentang salah satu sahabat kami yang belajar di Jakarta. Bercerita tentang keputusanku untuk melanjutkan pendidikan di Jogjakarta. Aku tidak terlalu cerdas untuk mengambil perguruan tinggi ini. Dan banyak hal yang harus kuhadapi.
“Tuhan telah memilih kan jalan untukmu sejauh itu, tentu Tuhan tidak akan meninggalkan mu sendirian,” katanya.
Aku tersenyum berterima kasih.
Dia tidak banyak bicara seperti biasa, namun kami selalu tahu untuk mencairkan suasana. Perasaan kami memang sudah lama berubah. Mungkin lebih baik demikian. Dia bilang sudah mendapatkan apa yang dicita-citakan, menjadi pengajar. Sibuk mendidik anak-anak di sekolah yang sama tempat kami dulu bertemu untuk pertama kali. Dia juga menjadi dosen, dan menunggu tesisnya selesai. Sayang sekali, rencana pernikahannya harus tertunda karena masalah keluarga. Aku teringat bagaimana rencana pernikahan kami dulu gagal. Menyesal. Tidak.
Aku menghela nafas dalam. Banyak hal yang tidak kuketahui namun tetap saja kulakukan. Banyak hal yang tidak memiliki alasan yang jelas kenapa aku meninggalkan atau memilih. Kadang kata hati seperti bisikan yang juga menyesatkan. Sayang, aku terlalu menurutinya.
Gerimis datang. Sebaiknya segera pulang. Dia mengantarkan walaupun tidak berani sampai ke rumah. Takut adikku tahu. Dia guru adikku. Katanya, adikku makin cantik. Aku tersenyum. 
“Mengapa selalu datang hujan saat kita bersama,” kataku.
“Teman facebook selalu protes, kenapa aku sering menuliskan hal-hal melankolis di status saat hujan,” katanya.
Aku bersalah seharian tidak di rumah. Aku segera kerjakan sesuatu untuk Idul Adha. Menjelang pagi aku tidur.
**
Seharian di rumah aku tidur setelah salat Idul Adha. Ramai-ramai di luar tidak aku pedulikan. Rasa ngantuk dan capek membuatku benar-benar seperti orang pingsan di kamar. Adikku, Luluk Ilmaknun, kelas III Madrasah Aliyah Keagamaan,mencak-mencak masuk kamar menemukan aku tidur.  Semua orang di rumah sangat sibuk mengurus daging, aku malah tidur tak berdosa. Singkat cerita, dia memintaku mengantarkan menjenguk teman yang sedang sakit di RSUP Kariadi.
Kami berangkat menjelang siang dengan sisa bensin yang sangat terbatas. Jalan di kota nampak tidak terlalu ramai, aku mencari pom bensin terdekat tetap saja tidak bisa menemukan. Apa mau dikata, bensin habis di tengah jalan dekat dengan Simpang Lima. Tidak tahu mana arah yang akan dituju, aku memilih membangunkan seseorang.
“Tolong aku kehabisan bensin di jalan. Maukah kau mencarikannya untuk kami?”
“iya, tunggu sebentar, aku cuci muka dulu,” kata orang di seberang telepon.
Siang terik sekali. Simpang Lima merupakan salah satu dari ikon atau pusat kota Semarang. Tepat terletak di jantung kota. Lingkaran yang sangat luas dikelilingi mall, masjid, pusat perbelanjaan, bioskop, hiburan atau apa pun namanya. Dulu, lapangan ini tidak terawat tetapi memiliki pohon-pohon yang rindang mengelilingi lapangan. Setiap malam minggu hingga Minggu pagi, biasanya banyak pedagang kaki lima yang menjajakan barang-barang antik nan murah. Maka, menjadi hal biasa jika setiap malam minggu pemuda di wilayah Semarang dan sekitarnya suka memilih menghabiskan waktu di sini.
Beberapa tahun terakhir Lapangan Simpang Lima mulai dibangun dan di”rapi”kan. Lingkaran tengah kota itu memang rapi, tidak ada pohon-pohon besar yang berada mengelilingi. Hanya pohon ukuran sedang, perdu-perdu yang dipangkas dengan teratur, dan beberapa lapangan untuk bermain badminton atau voli.
Orang yang sama saat mengantarkanku ke bioskop kemarin malam, datang membawa bensin satu liter. Cukup menurutku. Bisa beli lagi di jalan. Aku berterima kasih. Melanjutkan perjalanan dengan adikku.
Agak kesiangan sampai di rumah sakit. Anak perempuan yang berbaring lemas itu teman adikku. Aku lupa namanya. Dia masih memakai selang udara untuk bernafas. Mendapatkan oksigen yang cukup. Wajahnya putih tapi pucat. Kulitnya yang cerah juga nampak kemerah-merahan karena tidur terus selama tiga minggu ini. Iya, dua minggu dia koma. Beberapa hari lalu dioperasi. Dan ini menunggu pemulihan.  Aku tidak tahu persis sakitnya. Ibunya menjelaskan padaku bahwa anak ini tidak pernah mengeluh sakit apa pun. Punya masalah suka disimpan sendiri. Jika butuh istirahat, dia hanya akan tidur, bahkan tidak bilang jika pusing atau demam. Ada yang sakit di paru-paru, jantung, dan otaknya. Entah bagian mana yang duluan sakit. Yang pasti ada tumor. Aku benar-benar lupa untuk menceritakan ini. Saat kami datang tadi pun, dia masih tidur.
Adikku berusaha keras untuk  menghiburnya. Dia sengaja memintaku untuk membawa netbuk hanya sekedar untuk memutarkan film lucu. Dia juga memutar lagu-lagu yang disukai teman sekelasnya itu, bercerita tentang bagaimana tingkah anak-anak di kelas, dan banyak sekali.
Aku duduk di luar menemani bapak anak itu. Dia menanyakan apa aktivitasku. Aku jawab singkat. Tiba-tiba entah dari mana dimulai, kami berbicara tentang hukum yang diterapkan di Indonesia. Dia berharap hukum Indonesia menggunakan hukum Alquran dari pada meneruskan sisa-sisa peninggalan Belanda. Banyaknya tindakan buruk dan ketidakmampuan pemerintah untuk mengatasi masalah negara. Dia juga mebandingkan kualitas pendidikan bahasa arab di perguruan tinggi umum negeri dan perguruan tinggi agama. aku hanya mantuk-mantu, tidak setuju sebenarnya. Diam saya, tebar senyum sesekali, dan berharap segera berhenti.
Aku melihat jam. Masih ada hal yang harus dilakukan. Meminta adikku untuk sebaiknya segera pamit. Bodoh sekali aku mengambil parkir yang sangat jauh, padahal ada parkir yang dekat. Ada buku yang harus kukembalikan. Milik seseorang yang ramah, banyak pengetahuan, penulis, sayang.... amat kekanak-kanakan. Hanya karena satu buku yang masih di tanganku ini, maka banyak teror masuk di handphone. Setidaknya, sejak hari ini tidak ada lagi macam itu. Aku harus segera mengembalikan.
Aku lupa di mana rumahnya. Aku berputar kampung di daerah Krapyak dua kali. Akhirnya aku ingat, untung dia keluar. Sehingga aku yakin itu rumahnya. Aku bilang mau mengembalikan buku. Ngobrol selayaknya tamu dan menghabiskan satu gelas air teh. Berbasa-basi sebentar dan pamit. Seharusnya kami bisa menjadi lebih dekat dari ini. Tapi tidak. Aku butuh seseorang yang mampu bertahan bahkan saat dia sendirian. Bukan seseorang yang mencari banyak tempat sampah hanya sekedar untuk membuang riak. Dia meminta maaf. Aku tersenyum. Pulang.
Sore menjelang, masih ada lagi yang belum aku dapat. Tiket kereta ke Pekalongan. Aku ajak adikku ke stasiun sebentar. Membeli tiket. Jam setengah lima sore ini. Dapat.
Sampai di rumah, aku segera mandi, berganti pakaian, menyiapkan barang2. Sebelum berangkat lagi aku bertengkar dengan adikku yang paling muda. Menyebalkan. Dia menyembunyikan modem yang seharusnya aku bawa. Aku benci bertengkar dengan dia sore ini. Aku tidak suka di rumah. Aku pergi. Maaf ibu.
Kereta masih setengah jam lagi. Rotinya wangi kopi. Aku suka. Terima kasih. Di kereta, tidak ada apa pun yang bisa aku lihat selain gelap. Menghubungi teman wanita yang aku harap bisa aku nunut rehat selama penelitian di Pekalongan. Tidak bisa dihubungi. Tidak kupikirkan sangat. Meski mencoba menginfo teman-teman yang lain. Gagal. Tidak ada satu pun ternyata yang bisa kuandalkan di sana. Uang terbatas, tidak mungkin di penginapan. Baiklah, seperti biasa bermain judi. Ini keahlianku, bermain judi dengan nasib.
Kereta berjalan dengan cepat. Hanya satu setengah jam saja sudah berada di Stasiun Pekalongan.

.....

bersambung....

1 komentar:

Nelayan dan Senja di Pantai Popoh Sidem

23.59 Unknown 1 Comments

sudut Pantai Popoh
Siang itu langit masih mendung dari arah timur Kota Tulungagung. Perjalanan kami pun diiringi dengan rintik-rintik gerimis, tidak terlalu deras, tapi cukup membuat pakaian menjadi basah jika tidak menggunakan mantel. Memasuki wilayah selatan Tulungagung, hujan mereda dan hanya mendung saja... sehingga meskipun kami naik motor tidak harus terbakar di bawah terik matahari. Udara sejuk setelah hujan dan tanaman nampak menghijau di sisi kanan kiri jalan. Motor melaju dengan kecepatan sedang, melihat gunung-gunung seperti gigi raksasa yang berjajar. Ada sebuah kecamatan di Tulung Agung,  namanya Pager Wojo, kalau dalam imajinasiku, pager itu pagar ... dan wojo itu gigi, jadi pager berbentuk gigi..... hohoho... karena gunung-gunung yang terletak di selatan Tulung Agung itu, bentuknya persis seperti gigi seri. Pernah lihat film-film Cina? Banyak gunung2 yang menjulang kan? Mirip seperti itu.... #sayang tidak sempat ambil foto. 
Kemudian,  setelah hampir satu jam naik motor atau sekitar 25 km dari pusat kota, kami memasuki Desa Gamping, pusat kerajinan marmer di Tulung Agung. Di samping jalan, banyak etalase maupun galeri kerajinan yang terbuat dari marmer, hampir setiap rumah dipenuhi dengan batu-batu tersebut. Kerajinan itu dapat berupa meja, hiasan, patung, pernah pernik ruangan, hingga tiang atau semacam keramik. Batu marmer yang masih utuh pun bisa dengan mudah ditemukan,,,, ukurannya mungkin sebesar tiga manusia berdiri... atau lebih... aku melihat batu tersebut ditimbang menggunakan tali yang dikatrol. Woowww... bagaimana mungkin batu itu ditimbang. Meskipun sambil lalu aku memperhatikan, batu-batu yang putih keras dan nampak tidak merata permukaannya itu...... bisa menjadi hiasan batu yang halus dan dingin. Kata sopirku... (suami maksudnya...) lantai yang menggunakan batu marmer awet dinginnya... dia menyerap panas. Tidak seperti keramik.... aku mantuk-mantuk di belakang. Dia cerita dulu, dia dan teman-teman menggunakan marmer untuk buat kenang-kenangan. Jadi ingat, ketika di MA Banat, kami membuat hiasan kenang-kenangan pondok menggunakan batu marmer, saat itu sangat ngetrend... memasang tulisan dan foto kenang-kenangan di batu marmer. Masalahnya adalah pesanan kami waktu itu, batunya berbentuk setengah lingkaran panjang, seperti bidang huruf U yang dibalik. Persis seperti pathok kuburan.. haddehh...
Meninggalkan Desa Gamping, aku mencium udara laut... anginnya berhembus dari atas gunung... dari atas gunung!!! (maklum agak emosi,, karena rumahku memang dekat pantai tapi nggak pakai gunung,,,, hanya pantai hehehehe)  jalan menanjak dan berkelok .. layer-layer pegunungan mulai nampak lebih luas dari ketinggian kami, kota Tulung Agung terbentang,,, dikeliling jajaran pegunung, dan satu ceruk pegunungan terdekat yang sebagian bebatuannya harus kroak karena ditambang, mungkin itu lokasi tambah marmer di sini.
Aroma laut semakin membuatku bersemangat... aku melihatnya... aku melihatnya... aku melihat laut
Pemandangan dari atas bukit
itu dari atas pegunungan ini..... Teluk Pantai Sidem.. ,, yang namanya teluk.. lautan itu itu menjorok ke daratan, jadi seperti cekungan yang diisi dengan air, dan pantai yang dikeliling dengan tingginya pegunungan. Kami berhenti sejenak.. melihat bentangan pantai itu... rasanya aku menyesali diri sendiri karena tidak punya kamera untuk merekamnya... tetap saja, aku foto dengan HP kecilku.
Di pegunungan kanan kiri jalan, tanah ditanami dengan palawija... berbeda dengan pegunungan Gunul Kidul tempat dimana pantai Kukup Krakap Baron dan lain-lain ,, yang hampir hanya dipenuhi ilalang dan pohon-pohon. Pegunungan di sini ditanami padi dan palawija berbentuk terasering, subur dan hijau. Jagung-jagung itu masih kecil, belum cukup tinggi, ,, ,,,, penduduk setempat sepertinya bekerja sebagai petani,... bukan seperti petani di pegunungan wonosobo yang banyak menanam sayuran. Ini palawija dan padi. Di pegunungan... dataran tinggi nan bergelombang.. bukan dataran rendah yang rata. Teringat beberapa kecamatan di selatan Kabupaten Pekalongan yang memiliki landscap dan tanduran sawah yang sama. Bedanya di sana angin gunung di sini angin laut.  hohohoho...    
Semakin mendekati pantai, kami menemukan gerbang perkampungan nelayan. Hanya melewatinya, kunjungan pertama adalah Pantai Popoh. Pas googling pantai ini terlihat sangat bagus, dengan puluhan kapal nelayan yang mendarat di atas lautan biru. Karena sudah sore dan langit agak mendung, maka cahaya matahari tidak terlalu banyak. Aku mlongo membayangkan pantai yang kutemukan bisa untuk lari-larian seperti orang pacaran.. tapi tidak untuk Pantai Popoh, pantai yang kulihat dari atas bukit tadi, pantai Sidem, tetangga pantai Popoh. Pantai ini dibatasi dengan batu-batu, sepanjang garis pantainya digunakan kapal nelayan untuk bersandar, atau cukup diikat di pinggir pantai agak menjorok ke laut. Ada panggung pertunjukan di sebelah barat, dan warung-warung makanan di tengah tempat wisata itu, begitu juga para pedagang souvenir seperti kaus batik topi dan lain-lain. Nah, yang paling terkenal di sini adalah ikan asapnya. Ikan asap di sini, bentuknya adalah ikan utuh yang diolah dengan cara diasapin atau dipanggang. Di semarang, di rumahku, ikan asap yang sangat terkenal adalah ikan asap manyung. Rasanya gurih. Kalau yang di sini, aku tidak mencobanya. Karena masih mikir bagaimana cara mengolahnya. Ketika aku belanja di pagi hari di Tulung Agung, pedagang menyediakan ikan asap, itu pun aku masih enggan mencoba. Oke, lain kali, siapa tahu aku mau. Ukuran ikan itu besar je, aku tidak bisa membayangkan itu digoreng atau dibumbuin dengan sayur seperti sayur mangut.
Kami memilih untuk mencoba ikan bakar di salah satu warung. Well, aku lupa nama warungnya, tapi karena sudah ada blogger yang mereport tentang enaknya olahan ikan di sini, jadi kami pun ikut terprovokasi untuk mencobanya. Hanya tersisa dua jenis ikan, Ikan banyar dan ikan tengiri. Kami mencoba dua-duanya. Ikan itu dibakar dengan sudah dibalur bumbu.
Ikan Tengiri dan Ikan Banyar
Ikan tengiri rasanya seperti ikan nila, seratnya agak kasar,, dan anyep,, tapi karena bumbunya oke, jadi meresap deh ke daging. Berbeda dengan ikan banyar... tekstur ikan ini seperti ikan krapu. Dia lembut dan gurih (perasaanku aja kali ya...) mungkin karena ikan ini menghasilkan minyak ketika diolah, dipanaskan. .. harga tiap ikan bakar itu 25.000 per ikan. Belum pakai nasi, ,, nasi per porsi 6.000 kalau nggak salah. Tapi yang terkenal di warung ini adalah kepitingnya. Harga dan rasa, belum coba,,, hehehe..
Nah,,, mulai ke cerita inti yang sesuai dengan judul (,,,, hahahaha setelah nulis dua halaman baru nyampe juga...) . setelah dari Pantai Popoh, kami ke Pantai Sidem, pantai yang kami lihat dari atas pegunungan tadi. Pantai ini berada di perkampungan nelayan. Rumah-rumah nelayan di sini, bentuk dan ukurannya hampir sama persis, ,,,, dan berjajar rapi. Di sepanjang jalan ada jaring yang digantungin seperti botol-botol... dijemur di lapangan.
Saat sampai di situ, aku melihat pemandangan yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Di Pekalongan, nelayan kecil yang menggunakan kapal kecil menggunakan semacam jaring yang diangkat dengan mesin. Kapal yang hanya membawa lima sampau tujuh orang. Ikan yang sudah ditangkap biasanya masuk ke dermaga,,,, yang namanya dermaga itu,, biasanya bentuknya pinggir pantai ada daratan yang sudah diaspal, atau diplester, kemudian ada punuk-punuk di pinggirnya untuk tempat mengikat tali kapal, sehingga bisa bersandar dan nggak hanyut karena ombak. Biasanya di dekat dermaga, ada yang namanya TPI, tempat pelelangan ikan. Ikan-ikan hasil tangkapan nelayan, kemudian dilelang, di situ ada petugas pemerintah dari Kantor Perikanan daerah yang akan melelang dan mencatat hasil lelang setiap hari. Ikan-ikan itu akan digelar di sebuah halaman beratap, dari ikan teri, udang, cumi, kerang, dan lain-lain. Besar dermaga disesuaikan dengan besar kapal yang bersandar dan jumlah kapal tersebut. Kalau dermaga kecil.. kapalnya ya kecil. Paling kapal dengan panjang enam sampai tujuh meter, dengan peralatan sederhana. Untuk kapal di pelabuhan kota, minimal 5 GT itu besarnya seperti rumah.. bisa sampai 5 ton dia bawa ikan. Anak buah kapalnya bahkan mencapai 20-an. Jika kapal kecil berangkat sore pulang pagi,,, maka kapal besar bisa berbulan-bulan di lautan. Eh.. ini kog sampai ke mana-mana. Aku tadi mau cerita tentang apa yang aku lihat.
Nelayan bahu membahu menarik jaring
Nah, berbeda dengan nelayan di Pantai Sidem ini. Aku melihat puluhan nelayan baik laki-laki maupun perempuan menarik jaring. Mereka berdiri berjajar dua larik, menarik bersama-sama jaring yang panjangnya entah berapa itu, karena aku melihat di ujung jaring yang berhasil ditarik sudah berlipat dan menggulung... padahal sepertinya jaring yang ditarik secara bergotong royong itu masih sangat panjang. aku mencari ujung jaring itu di tengah lautan, ternyata ada di kapal kecil jaaauuuhhh di sana. Jaring itu terus ditarik... semakin ditarik.. semakin keras teriakan nelayan. Entah apa yang mereka teriakkan, ,,, pokoknya itu jaring terus ditarik, ,, dua diantara mereka mengambil keranjang dari bambu yang besar. .... kemudian dengan sekuat tenaga nelayan-nelayan itu menjaga agar ikan tidak ikut terhanyut ombak dengan menggunakan bambu,,, tetapi secara bersamaan juga dipindahkan ke keranjang tersebut. Jumlah ikan itu tidak banyak, sangat sedikit,, apalagi jika misalnya harus dibagi dengan orang-orang yang menarik jaring tadi. Ada lebih dari 30 –an orang mungkin. Ikan itu hanya se keranjang dan ukuran ikannya pun kecil. Aku tidak tahu ikan jenis apa.  Semangat nelayan itu benar-benar membuatku kagum. Pantai ini tidak memiliki dermaga, kapal-kapal itu mendarat di pantai dibantu dengan nelayan lain. Saat kami mendatangi tempat dimana ikan itu dibagi, kami terlambat karena sebelumnya asyik berfoto-foto di pantai. Kami hanya melihat ikan-ikan itu yang jumlahnya tidak seberapa dibagi dan dibawa oleh nelayan perempuan dalam buntalan plastik hitam yang kecil. Meskipun ada juga pemuda yang membawa balok tempat ikan.

ini lo... kira-kira bekas hewan apa ya..
Pantai ini tidak berdemaga, tapi teduh di bawah pegunungan. Senja sore itu berwarna keunguan. Matahari tepat di atas gunung membuat bayangan gunung jatuh di pantai panjang-panjang. Ombak-nya turut datang dan pergi,,,,, pasir di pantai ini, tidak pasir putih seperti pantai di Gunung Kidul, tidak juga hitam seperti di Parangtritis atau pantai utara semarang, tanah pantai di sini berwarna cokelat. Ada bekas kaki hewan banyak,, entah hewan apa itu, tapi bekas yang ditinggalkan unik, titik-titik berputar terpusat, lucu. Begitu juga tanah yang terkena ombak,,,,,,, ada bekas seperti garis  jig-jag dengan warna cokelat bertumpuk dari muda hingga pekat. ...

Sudah sampai di sini liburan kami.....

Sampai ketemu lagi.. masih ada puluhan pantai lagi di Tulung Agung.

1 komentar:

Kemah Lampion Borobudur Part 2

22.36 Unknown 2 Comments


Menjelang maghrib, akhirnya aku bisa bertemu rombongan. Sebenarnya hanya satu teman yang aku kenal. Aku sendiri tidak tahu pasti siapakah yang akan aku nunuti kali ini. Sejak awal temenku dari Solo menawarkan gabung perayaan lampion di Borobudur, aku sudah membayangkan banyak hal yang akan aku lihat.
Dari lima motor yang ada seluruhnya sudah penuh dan tidak ada goncengan yang nganggur. Tapi okelah, untung saja badanku cukup mungil untuk diselipkan di salah satu sepeda motor. Kami rombongan terdiri empat perempuan (termasuk aku) dan tujuh laki-laki. Dua di antaranya traveler dari India dan Inggris.
Tidak, kami tidak masuk ke halaman candi. Bahkan tidak di parkirannya, hanya melewatinya. Kemudian terdapat jalan yang terletak di kiri halaman Borobudur. Aku bingung. Kenapa rombongan ini tidak masuk halaman parkir, owh God ternyata tidak ada hubungannya sama sekali dengan Borobudur perjalanan ini. Namun begitu aku tidak berusaha bertanya.
Melihat bawaan rombonganku ini benar-benar jauh dari yang kubayangkan dalam dua minggu terakhir. Mereka membawa tas ukuran besar bahkan mungkin tinggi tas tersebut sama denganku. Beratnya juga. Namun hal itu tidak membuat mereka sulit bergerak bahkan mengendara sepeda motor. Sekali lagi, aku tidak bertanya.
 Jalan yang kami lalui semakin sempit keluar dari jalan utama candi. Kondisi jalan tidak buruk-buruk amat, beraspal meski ada yang bolong. Kami melewati pematang sawah. Di sisi kanan sawah tersebut, aku melihat Borobudur gagah berdiri di antara semak belukar dan pohon-pohon, terasa dekat sekali. Tiba-tiba jalan menjadi menanjak dengan ketinggian hampir 90 derajat. Sampai motor yang aku tumpangi tidak kuat menahan dan hampir jatuh menimpa motor di belakang kami. Aku memilih turun dan berjalan mengikuti jalan setapak. Rombongan berhenti di tempat parkir yang tidak seberapa luas, tapi cukup untuk sekitar enam mobil. Di sisi utara tempat parkir terdapat satu rumah kayu sederhana dengan dua penjaga.
Setelah memarkirkan motor dan menitipkan kepada petugas serta membayar retribusi masuk, Rp 5.000 per orang. Melewati jalan yang semakin meninggi, agak licin, dengan banyak tanaman. Sebenarnya tidak jauh jarak yang kita tempuh sampai ke lokasi. Tetapi karena ketinggiannya maka kaki harus cukup kuat agar tidak tergelincir atau kecapeaan untuk mengangkat badan. Hari mulai gelap. Matahari benar-benar sudah menghilang saat kami sudah mencapai tempat yang sudah ditentukan untuk membuat kemah.
Menurutku, tidak sebegitu luas, mungkin hanya cukup untuk lima perkemahan dengan ukuran kecil. Karena saat itu malam, maka tidak nampak yang ada di sekelilingku. Ada satu gardu pandang yang hanya setinggi empat sampat lima meter, dengan luas tidak lebih dari dua meter persegi. Dua lantai terbuat dari kayu dan bambu dengan atap daun rumbia. Kanan kiri gardu tersebut, ada tiga tempat duduk dari bambu. Gelap. Tidak nampak apa pun. Angin dengan hawa dingin. Aku melihat beberapa orang sibuk mendirikan kemah dan menata peralatan lainnya.
Hari sudah semakin gelap, temanku menjelaskankan bahwa tempat ini namanya Punthuk Setumbu,
yakni suatu tanah bidang melalui arah barat Borobudur, sedikit memutar melalui Hotel Manohara kemudian melewati gang terus menanjak ke barat laut (kalau ingatan kompasku nggak salah). Secara geografis letaknya di Dusun Kurahan, Desa Karangrejo, Kecamatan Borobudur Jauh ke arah timur kami nampak kotak Borobudur, ujung-ujung dari candi-nya menembus awan-awan di sekelilingnya…. Sore itu memang agak tidak bersahabat karena mendung, tapi keindahan desa, sawah, pohon kelapa, dan langit bisa bisa aku nikmati.
Semakin malam udara semakin dingin, lanjutan cerita ini aku tulis  mungkin sudah satu tahun sejak kunjungan acara waisak itu, jadi ada beberapa hal yang tidak aku ingat persis. Namun, aku tidak akan pernah lupa bagian ini. Malam itu sudah pukul 1 dini hari, dan aku sudah tertidur, temanku membangunkanku, disuruh melihat langit yang jauhhhhh di sana… aku masih nggak paham juga, dia teriak dengan girang… “Fardan bangun… bangun.. bangun… lihat itu lampion-nya sudah naik.. lihat lihat… satu per satu sudah naik….” Aku tetap tidak bisa melihatnya… “itu lihaaatt dia mulai ke atas, titik-titik cahaya kuning itu lo….” Aku masih tidak bisa melihat… mataku mencari-cari di hamparan langit yang serba hitam itu. Mataku juga masih menggelayut mengantuk penuh dengan kekecewaan.
Harusnya malam ini, aku akan melihat ribuan cahaya seperti di film Rapunzel... hari dimana dia lahir dan diculik.. maka raja pun membuat peringatan dengan menerbangan ribuan lampion ke langit, dari jauh Rapunzel selalu memperhatian di hari yang sama dari tahun ke tahun... tentang ribuan bintang itu yang muncul... tentang... langit yang luas dengan taburan kerlap kerlip..... uppzzzz .. oke. Kembali ke malam lampion di Pethuk Setumbu. Meski rintik.. akhirnya aku melihat juga... itu titik-titik cahaya. Udara semakin dingin... tetes hujan masuk jatuh.. meski rintiknya tidak terlalu jelas. Aku benar-benar berusaha melihat... karena mungkin langit sedang berkabut hujan..... satu... dua... tiga.... lampion itu terbang meninggi.... aku pikir itu mungkin tidak sampai seribu.... seratus pun tidak... kecewaku samakin menjadi-jadi... bayanganku buyar sudah... tapi aku tetap berusaha menikmatinya.. pura-pura menikmatinya.. tidak-tidak.. harus menikmatinya... aku sudah berjuang mati-matian sampai di detik ini.... owh God!! Aku ngantuk.............
***
“hoooiiii!! Melek!!!.... mau digulung tendanya...!!” duh!! Jam berapa ini.. kenapa harus sudah disuruh bangun... masih sangat dingin ... aku tak peduli. “Fardaannnn!!! Sudah banyak orang bangun... kamu mau ditinggal di sini...!!” ... suara itu... uppzzz... Mbak .. aku teringat malam ini aku sedang tidak tidur di kos maupun di rumah, aku ingat.. aku sedang berkemah. Segera kubuka mata dan keluar dari tenda.... wwooooowwwwww banyaaakkk orang!!! Mereka berderet memandang ke arah dimana Borobudur berada.... padahal candi itu kelihatan saaanggaaattt kecil. “apa yang mereka lakukan di sini?”... “Gubraaakkk!!!!!! Kamu nggak tahu namanya melihat sunrise?” ....   “owh.. sunrise...” aku cari-cari itu yang namanya sun rise.. biasanya kalau aku melihat di gambar-gambar google, sun rise itu seperti bola matahari yang bwweessaaaarrrr... berwarna merah.. kalau tidak di  belahan laut,,, ya di belahan awan langit-langit pegunungan. Aku mencari... di sana .. di sana... “mbak nggak ada sun-nya...” ...”iya mungkin karena semalam hujan, jadi banyak kabut...” hmm tapi aku lihat.. yang datang ke sini bwanyak, meskipun matahari tidak muncul, ....  mereka berderet di dekat
pagar yang mengamankan lokasi dari jurang, kamera yang dibawa... panjang itu monyongnya... eh lensanya... sampe mungkin dua kali kilan jariku...  semuanya bawa kamera ,, dari yang hanya HP, kamera digital..  sampe yang profesional. ... aku? Hanya bawa kamera BB.. hohoho.... tak apalah tetep aku coba...
Semakin aku perhatikan, memang semakin mempesona itu landscap ....jadi begini (sambil mbayangin... karena itu sudah sangat lama sekali,, itu terjadi di tahun 2013.. dan ini sudah 2015...plus aku kehilangan itu foto landscap... mungkin kamu juga mau ikut mbayangin...)... langit berwarna campuran hitam gelap.. sedikit demi sedikit,, muncul warna merah,, mungkin seperti jingga,, mungkin juga,, merah agak orange... di bawah sana.. kabut masih teballl tak nampak itu sawah dan pohon,, seperti lautan kabut di bawah kaki gunung,, garis-garis cahaya matahari yang berwarna keemasan mulai muncul menembus awan.. gelap hilang berganti biru.. biru muda seperti kalau kamu lihat warna laut dari atas gunung.... awan putih,, langit membiru dan garis-garis cahaya keemasan..... mereka memudarkan kabut, sedikit demi sedikit... pucuk-pucuk pohon kelapa semakin terlihat.. sawah-sawah berpetak.. mulai terdampar. ... juga pucuk Candi Borobudur. Kabut turun tepat di kakinya... anggun dan megah.
Matahari yang bulat itu tidak nampak... tiba-tiba cahayanya mulai panas dan terang... kabut menghilang perlahan... dan pemandangan menjadi utuh,,, langit menjadi bersih.... kami pun asyik selfie ... ....
ketika berangkat semua bayangan itu serasa ada di depan mata. Menyuruhku bergegas dan tak menyerah. ... meskipun ternyata apa yang kuharapkan itu sangat berbedaaaa... imajinasiku dipenuhi film dan gambar2. Tapi.. ternyata jalan bagaimana aku ke sana memberiku lebih banyak cerita dari yang kubayangkan....
Berakhir sudah ini cerita, meski tertunda berlama-lama....
See you next story... ..




    


2 komentar:

Releasing the Myth in the Religious Conflict

01.34 Unknown 0 Comments


Ogoh-ogoh untuk perayaaan Nyepi di salah satu desa di Kediri
Religious conflict can not be saparated from the imaginary story of cosmic war as part of the myth that legitimazed the action. The local conflict that maybe is caused by ethic conflict, political interest conflic or others conquest of rights in certain place will become extend to be religious conflict. The value conflict has more power to mobilize peoples for doing extremes including violence. The social conflict involve in escalation process if the situation changes more difficult to be controlled. By social conflict theory by Dean G Pruitt, this paper tries to analyze the conflict between Shi’ah and Sunni community in Sampang, Madura. In this cases, the definition of ‘religion’ that is more narrowed in last year’s today and the raise of fundamentalist understanding of certain system belief are the main factors to fire the conflict. The both of that causes are stimulated by certain imaginary cosmic that unfortunately is legitimized, not only by governments but also the religious social organizations.
The some parties of the conflict have different interest in the conflict arena that has certain motivations.  This interest always brings the imaginary in their values. It can be mapped based on the statements of parties that debate to call it is religious conflict or not. The Indonesia government especially Ministry of Religious Affairs determine conflict that is happen in sampan is not religious conflict. They said it is the family conflict. In the other hand, the mass media force to use the term of religious conflict to describe the attacking toward Shi’ah community by a group of people. So, what are the interests of each party, the actors in conflict, the out side parties of conflict and the Medias. Potentially, they bring the Sampang conflict in escalation problem that is puss to add the numbers of actors and victims.
Before discussing about sampan conflict, it is better to know the background of situation in Indonesia, especially about religion and its policy. Based on public discussion, on title “Religion, violence, blemishing politic, evaluation on Shi’ah-Sunni conflict in Sampang”, Thursday, September 27th 2012, at University Club UGM, there are some sources from different scholars field analyze that conflict. One of them is   Zaenal Abidin Bagir who emphasizes the regulation in Indonesia that has the effect of religious conflict potential causes, focus on Undang-Undang No. 1 Tahun 1965 tentang Undang-Undang Penodaan Agama. Religion in Indonesia is drawn by the government in the hierarchy form. There are six religions (worldly-which has an international standards that is required must have had the scriptures, prophets, laws) are Islamic, Christian, Catholic, Hindu, Buddhist, Confucian. They get financial support from the government. Underneath, there is a belief system which is only ‘recognized’ but they is not protected by governments (the class and the government's treatment of this belief system is different from the official religion). Then, the hierarchy pursed being "not recognized" for the form of "kepercayaan" (likes local custom). The thing that not should be in Indonesia is who did not embrace religion or be atheist.
That policy is constructed and controlled by the law, which is since 1965 until 2012 there were 47 cases that use the law of religion blasphemy (UU Penodaan Agama). From 1965 to 2000 only 10 cases, but from 2000 to 2012 the number of cases increased by three times or as many as 37 cases. That is occurred in one third of during 47 years, there 32 cases after 2005, for example MUI’s fatwa misguided for pluralism, liberalism and anti-apostasy movement).
However, the trend to use issue of blasphemy increasingly is more worrying. They who were considered by heretical would be wider; this trend is also achieved at the level of regional policy (religious policy in the certain resident). That led to a particular religion to be more narrowed in sense, for example, what we call as Islam is more narrowed in the particular definition of certain group of Islam, and the others considered as heretical. If the condition can not be controlled and allowed, it will threaten for the existence of minority groups that lived peacefully in Indonesia before. The intimidation can be done by recklessly determining action blasphemy. The utilizing of legislation/law to criminalize the 'difference' become 'desecration', and the worst is differences between both of them are not clear. However, Indonesia's Supreme Court (Mahkamah Agung) determined that the law (Penodaan Agama) is still valid, according to the constitution, it is useful for maintaining social order. The problem gets worse when the law can not distinguish between the presences of the Shi’ah and the people action "deviated from religion main point" that is legitimated as criminal in blasphemy law.
The other debate that has not completed is related between the "concept of harmony" (the consequences of freedom can be restricted, in order to maintain harmony-it is popular New Order era) and the "concept of liberty" (requires a high tolerance should be more carefully in the face of tensions due to the difference). Both concepts have their each consequence in shaping the attitudes of religious maturity in Indonesia.
Back to the interest of parties, the government should maintain the imaging of Indonesia ad peaceful country and the other hand, this attitude is no helpful to solve the real condition of conflict relating to right to belief. The interesting critics in the Annual Report 2011 by CRCS, is the majority just need to attack the unwanted minority and the government responded by relocating. This statement is to response government policy to relocate Syi’ah community from Sampang as a part of problem solving. In other studies, as well as interviews Rusdi Mathari in reporting cases of Sampang, the conflict experienced enrichment supported by the local social and cultural conditions to ignite a major problem and penetrated into violence. The family conflict (between Tajul Muluk and Rois) is caused by disappointment based on the economic and social jealousy. Then, one of the actors uses to manipulate religious issues by determining the 'difference' of Shi’ah toward Sunni as the 'heresy'. Thus, the social understanding will be easy to burn the emotions people or even legitimize violence against the victim.
The imaginary of value that is the Sunni Islam as minority to be the perfect value than the others, is one of cosmic belief that more chauvinist toward certain interpretation of Islam. The ideology that constructs to define what Islam and receive as Islam is arranged. The reality is there many interpretations, understandings, sects, and as a part of Islam. The willing to Islamize the law is always refer to the most understanding of Islam in Indonesia, it means Sunni. But Islam is not only Sunni. The worst thing that I worried, is about radical understanding that is so narrowed to force people belief in the same manners they belief. Unfortunately, most of this attitude is supported by the head of regional governments. 
The contentious of conflict is caused the escalation of spiral conflict. The escalation is the result of a vicious circle of action and reaction. Contentious tactics committed by a party to encourage the same contentious response from the other party. These responses contribute to further contentious actions of the parties concerned. It makes a complete circle of conflict and then began forming a circle that increasingly acute (Pruitt 2004 p. 90-92). The Indonesian governments is failed to make more parties are safe from conflict escalation when a balance of power exist (p. 86). The failed is there is not adequately communicated to counteract the threat and there is no perceptive and rational decision makers, and there is no effort to avoid escalation.                

Another question unanswered, as Rizal Panggabean explanation is how to explain the actions conflict with not only the completion of placing Sampang Shiah community as a victim, but also do not just treat the Sunni community Sampang as the attacker. In fact, the violence actions make a logical consequence, while the victim (Tajul Muluk) became the accused and in prison, and there has been no information regarding violent actors. The problems solving through the continuous re-conceptualization will be hard to do with the condition of religious understanding and truth becomes more narrowed and difficult to accept the “differences”.

0 komentar:

Politisasi Studi Agama di Malaysia-Indonesia

01.25 Unknown 0 Comments

Mahasiswa CRCS belajar di Wihara Mendut
Studi agama memiliki tujuan politis dalam rangka menciptakan identitas. Berdasarkan kurikulum maupun latar belakang tujuan jurusan pendidikan tersebut, Malaysia dan Indonesia memiliki hal-hal menarik untuk dibandingkan. Tidak hanya terkait perkembangan studi agama secara general, tetapi juga tantangan negara terkait dengan isu-isu politik-sosial di sekitarnya.
Demikian dijelaskan oleh dua narasumber, Jeffey T. Kenney , Professor Religious Studies di Departmen Religious Studies, DePauw University, USA dan  Dr. Samsul Ma'arif, Koordinator Akademik Center for Religious dan Cross Cultural Studies (CRCS)  pada Wednesday Forum yang diselenggarakan, 5 Juni 2013 di Gedung Pasca Sarjana UGM.
Kenney menjelaskan tentang penelitiannya terkait studi agama di International Islamic University Malaysia (IIUM). Secara ringkas, dia menerangkan tentang sejarah pendirian dan kondisi umum IIUM. Terdapat tiga departemen untuk pendidikan agama, yakni Departemen Quran dan Sunnah, Departemen Fiqh dan Ushul Fiqh, serta Departemen Ushul Al-Din dan Perbandingan Agama.
Secara politis dalam kasus Malaysia, sejak tahun 1981 Dr. Mahathir Mohamad, Perdana Menteri Malaysia ketika itu, mencoba untuk mengontrol kebangkitan Islam. Menurut Kenney, kebijakan Mahathir yang otoriter berupaya untuk mempromosikan program islamisasinya. Maka, salahsatu cara yang digunakan adalah dengan menguatkan identitas Malaysia sejajar dengan identitas Islam di tengah budaya multi-etnis.
Dalam rangka kontrol gerakan revivalis Islam, Pemerintah Malaysia melakukan pelembagaan Islam dengan luasan tertentu. Hal itu seperti dalam mengislamkan sistem perbankan, administrasi, dan pendidikan. Termasuk pembentukan IIUM dengan susunan kurikulumnya, yang di antaranya menyebutkan bahwa fokus pengetahuan untuk perbandingan agama adalah pengetahuan tentang agama-agama lain dari perspektif Islam.
Kenney mempertanyakan bagaimana pendekatan berdasarkan perspektif Islam itu akan memperlakukan non-muslim secara adil dan memberikan kontribusi dalam Akademi Studi Islam. Disamping pihaknya juga tertarik apakah pendekatan tersebut kompatibel karena dalam waktu bersamaan tetap harus mempromosikan keadilan, toleransi, dan harmoni dalam masyarakat yang multi agama dan multi rasial.  
Dalam perspektif Islam, Islam adalah satu-satunya kebenaran. Adapun agama-agama selain Islam didiskripsikan bertentangan dengan Islam. Akibatnya pendekatan studi perbandingan agama akan memperjelas batas-batas identitas. Meskipun demikian, tetap dalam perspektif Islam, hal itu juga diyakini akan berkontribusi untuk toleransi dan harmoni di Malaysia. Sikap tersebut berdasarkan penolakan terhadap pluralisme yang dinilai berpaham relative dan sekuler dan berakar dari Budaya Barat.
Studi agama di IIUM, bagi Kenney, tidak hanya menempatkan ‘objektivitas’ dalam metodologi Barat sebagai keangkuhan intelektual. Namun, studi tersebut juga menggunakan metode kritik untuk menantang pemahaman teologis agama lain. Kedua hal ini berdasarkan ajaran dasar Islam yang dipandang sebagai hal yang lebih benar dan mendorong perspektif kritis di atas.
Kenney menyebutkan beberapa kesulitan yang harus dihadapi dengan pendekatan pendidikan perbandingan agama di Malaysia. Di antaranya kesulitan itu adalah penyusunan pengetahuan dasar agama-agama lain sementara masih terus dipertanyakan keobjektifannya. Kemudian, menyeimbangkan sikap adil terhadap agama lain dengan tetap mempertahankan kebenaran esensial Islam.
Sementera itu, Saamsul Maarif, Dosen CRCS UGM membandingkan kondisi Malaysia dengan Indonesia. Selama masa Orde Baru, pendidikan bertujuan tidak hanya melindungi budaya nasional tetapi juga mendukung modernisasi. Oleh karena itu, keragaman agama dan budaya tidak mendapatkan ruang cukup untuk diekspresikan. Selebihnya, pendidikan menekankan pada homogenisasi negara pada Pancasila, kewarganegaraan, sejarah nasional dan pendidikan agama.        
Sejak 1960, agama menjadi subjek yang berkewajiban untuk sekolah umum dalam upaya berhadapan dengan pagam komunisme dan proses religionisasi warganegara. Kemudian, Keputusan Presiden No.15 tahun 1972 dilanjutkan Instruksi Presiden tahun 1974, ditentukan bahwa pendidikan formal harus terdaftar secara administratif di bawah menteri pendidikan. Keputusan tersebut mendapatkan perlawanan dari pemimpin-pemimpin agama. Mereka mencurigai bahwa kebijakan tersebut dipengaruhi oleh sisa-sia komunis di birokrasi pemerintah. selain itu, tidak terdapat ahli dalam bidan pendidikan agama islam di Kementerian Pendidikan. 

Dia mengungkapkan modernisasi pendidikan agama yang masih dalam framework homogenisasi oleh negara telah menempatkan kesadaran terhadap keragaman semakin berkurang. Oleh sebab itu, CRCS didirikan pada tahun 2000 dengan visi untuk mencapai keadilan dan demokrasi dalam masyarakat multi-cultural.  Agama sebagai fakta sosial budaya akan sangat berguna untuk menciptakan jembatan dalam keragaman tersebut. Agama sebagai konstruksi akademik memiliki tiga konsentrasi studi di CRCS. Ketiga studi tersebut adalah agama dan isu kontemporer, hubungan antar-agama, serta agama dan budaya lokal. Dengan menggunakan pendekatan multi-disiplin, diharapkan CRCS menjadi ‘academic engagement’ dalam jalan baru studi keagamaan.  (Mahmudatul Imamah/CRCS UGM)

0 komentar:

Politik Opium, Politik Monopoli Kolonial Belanda

01.17 Unknown 1 Comments

Abdul Wahid menyampaikan sejarah Opium pada masa Belanda
Penyalahgunaan narkotik dan obat-obat berbahaya atau biasa disebut dengan narkoba merupakan masalah nasional yang tidak hanya berhubungan dengan bisnis penyelundupan dan pasar gelap. Secara multi-nasional, penyelundupan narkotika berhubungan dengan politik internasional yang secara langsung maupun tidak. Sebagaimana sejarah menyebutkan tentang pendistribusian opium pada masa kolonial berdampak serius terhadap kondisi politik negara-negara jajahan. Hal itu terekam dalam peristiwa Perang Candu (1839 - 1842 dan 1856 – 1860 M) di Cina dan negara basis opium lainnya seperti Malaysia dan Singapura. Begitu juga di Hindia Belanda (Indonesia), monopoli bisnis opium juga diterapkan oleh Pemerintah Kolonial, namun tidak seperti di Cina, opium di Jawa tidak memberikan dampak hingga dalam bentuk pergerakan kemerdekaan. Mengapa demikian? Meskipun begitu mengapa opium tetap penting didiskusikan?
Abdul Wahid, SS., M.Hum., M.Phil., Dosen Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada dalam presentasi di Wednesday Forum (12/3) di CRCS, menceritakan tentang kebijakan opium di Jawa pada tahun 1870s-1930s. Menjawab pertanyaan di atas, Wahid menjelaskan bahwa opium adalah komoditas mewah bahkan sebelum Bangsa Eropa masuk dalam kepulauan nusantara. Kemudian, Belanda memonopoli perdagangan opium sejak pertengahan abad 17. Namun demikian, Wahid menegaskan, opium tidak pernah ditanam di Jawa, seluruhnya diimpor dari India dan Turki yang pendistribuasiannya didominasi oleh Inggris. Sebagai bisnis yang sangat menguntungkan, pernggunaan opium di masyarakat meningkat dengan cepat, sehingga menuntut bertambahnya perusahaan cabang di berbagai negara.
Wahid membagi kebijakan opium oleh Pemerintah Kolonial Belanda menjadi tiga masa. Pertama, pada masa VOC ( Vereenigde Oostindische Compagnie- Kongsi Perdagangan Hindia Timur) the Opium Society (Amfioen Sociëteit) in 1745. Kedua, akhir masa kekuasaan VOC, mulai abad 19, Pemerintah Kolonial Belanda menerapkan pacthstelsel atau opium tax farming. Melalui Pacthstelsel, Pemerintah membuat kebijakan untuk mengontrol adminsitrasi bisnis dengan memberikan lisensi kepada pecandu atau agen-agen distribusi. Lisensi tersebut digunakan sebagai syarat izin resmi pembelian opium. Salah satu Pacthstelsel  berada di Semarang, yang mempunyai kewenangan terhadapan distribusi opium di wilayah Semarang dan sekitarnya.
Bisnis opium pun semakin meningkat dan berbahaya jika tidak mendapatkan kontrol yang kuat. Penghasilan terbesar pemerintah dari bisnis opium selama 99 tahun (1816-1915) terjadi pada tahun 1886-1895, sebesar 182,1 juta gulden. Kemudian memasuki abad 20, keuntungannya mencapai hingga 79 % dari penjualan opium sebesar 163,5 juta gulden. Oleh karena itu, Pemerintah Kolonial Belanda pun mengubah kebijakan dari bisnis opium yang bersifat perusahaan swasta menjadi milik negara. Pada abad 20, Pemerintah Kolonial Belanda secara langsung memonopoli opium (opiumregie).
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahkan sebelum Belanda memasuki Nusantara, opium sudah digunakan untuk beberapa tujuan, seperti penghilang rasa sakit dalam kebutuhan pengobatan, obat capek, dan kesenangan. Cara mengkonsumsinya pun dengan cara berbagai macam, seperti dimakan, diminum, dan dihisap. Hingga tahun 1870s, muncul kritik terhadap dampak penggunaan opium. Diantaranya meningkatnya jumlah pasar gelap dan penyelundupan, bertambahnya jumlah pengguna opium dari kalangan pribumi, dan berkembangnya masalah sosial, seperti masalah kriminal, kekerasan, korupsi, dan menurunnya kesejahteraan masyarakat pribumi. Secara tidak langsung, hal-hal tersebut berakibat pada rentan tindakan korupsi di kantor-kantor administrasi, degradasi kualitas  kesehatan masyarakat, dan munculnya ‘negara dalam negara’. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, negara mereformasi sistem administrasi opium pada tahun 1894-1915.
Setelah 15 tahun, sistem baru secara resmi diperkenalkan oleh Pemerintah Belanda untuk meningkatkan keuntungan dan tanggung jawab sosial atas bisnis opium. Di bawah sistem ini, pemerintah berusaha untuk mengkontrol rantai bisnis opium melalui beberapa tahapan. Pertama, pemerintah membangun pabrik modern pengolahan opium yang sudah distandarisasikan. Kedua, pemerintah menciptakan birokrasi yang mengelola opium secara modern, sehingga mampu menekan penjualan opium di pasar gelap yang dijalankan oleh mafia-mafia cina. Ketiga, pemerintah juga mengatur peredaran opium melalui kebijakan penentuan harga opium sekaligus sistem registrasi penggunaan opium. Keempat, pemerintah membangun angkatan militer anti-opium yang terdiri atas polisi dan angkatan laut yang bertugas menangani penyelundupan dan pasar gelap. Sistem tersebut memang mampu mengatasi masalah adminitrasi bahkan mendapatkan keuntungan yang besar, namun tidak menyelesaikan masalah sosial yang disebebkan oleh opium.
Sistem monopoli dalam bisnis opium oleh Pemerintah Belanda, sebagaimana di atas, dikenal dengan the opiumregie. Pada masa tersebut, hanya pengguna opium yang teregistrasi dalam adminsitrasi pemerintah Belanda yang boleh membeli dan menggunakan opium. Namun demikian, sistem tersebut tidak bisa lepas dari manipulasi yang terjadi di kalangan pecandu. Nomor registrasi opium bisa digunakna pecandu lainnya ketika pemilik nomor tersebut meninggal. Nomor tersebuut bisa juga diperjualbelikan. Kampanye anti penyelundupan opium, menurut Wahid, sebenarnya sudah cukup efisien, meskipun dukungan terhadapnya mulai menghilang pada tahun 1930-an. Secara umum, berkurangnya angka konsumsi opium tidak hanya hasil dari kebijakan pemerintah, tetapi juga berbagai faktor internasional lainnya.
Opium menyebabkan masalah kesehatan sejak jumlah pecandunya meningkat. Sayangnya,  baru dari tahun 1915 dan 1926 dibangun rumah sakit anti-opium yang diprakarsai oleh organisais swasta semacam Anti-Opiumvereeniging (AOV). Pada tahun 1930, terdapat 21 rumah sakit/klinik yang meningkat menjadi 41 pada tahun 1930. Namun rumah sakit juga mengalami kesulitan finansial karena kurangnya dukungan dana dari pemerintah, panjangnya masa yang dibutuhkan untuk terapi bebas opium sekitar 20 hingga 40 hari, mahalnya biaya perawatan, sedangkan sebagian besar pasien pribumi berasal dari kelompok masyarakat dengan penghasilan rendah.
Namun, gerakan anti opium sayangnya hanya berpusat di Jawa, padahal, sebagian besar peredaran sudah mulai berpindah ke Sumatra dan pulau-pulau lainnya di nusantara. Komitmen politik untuk mencegah terjadinya penyelundupan pun dilakukan setengah hati. Pada tahun 1930, dalam the ‘opium squad’ hanya terdapat 207 laki-laki, yang hanya difasilitasi satu mobil, 38 sepeda, dan 8 kapal patroli, untuk mengawasi titik-titik penyelundupan opium di Jawa. Lebih buruk, sebagian aparat justru ikut membantu proses penyelundupan opium

Wahid berkesimpulan pemerintah kolonial tidak berhasil memecahkan masalah opium. Hal itu karena kapasitas pemerintah kolonial mengalami kendala baik disebabkan faktor internal maupun eksternal, khususnya faktor sikap ambivalen pemerintah dalam menangani opium. Hal itu karena ketidakmampuan pemerintah untuk berhenti mengambil keuntungan dari bisnis opium meskipun mendapatkan tekanan kebijakan internasinal dan meningkatnya permasalahan sosial yang disebabkan oleh opium. Tidak hanya bentuk penanganan yang setengah hati, yang hanya berpusat di Jawa, tetapi juga kegagalan pemerintah untuk mendisiplinkan aparatnya dari tindakan-tindakan kriminal yang mendukung  proses distribusi opium secara ilegal. Dengan demikian, Wahid menegaskan berkurangnya peredaran opium di nusantara tidak hanya merupakan capaian pemerintah kolonial tetapi juga atas pengaruh faktor-faktor internasional seperti tekanan kebijakan ekonomi dan traktat anti-opium antar negara.(Mahmudatul Imamah/CRCS UGM)

1 komentar: