Membaca Buku, Berat nggak sih?

20.39 Unknown 1 Comments



Setelah menulis tentang film di masa laluku, hohoho sekarang saya lanjutkan tentang membaca buku. Selain film, membaca memang menjadi favoritku. Klasik bangetz ya, berbeda dengan anak milineal sekarang yang memiliki lebih banyak pilihan hobi dan hampir semua berhubungan dengan digital. Umurku saat menulis ini mungkin hampir 30 dan mengandung anak keduaku sekitar hampir 5 bulan minggu depan. Anak pertamaku meninggal di kandungan ketika berumur 6 bulan. Aneh memang sepertinya menulis blog saat masa-masa populernya blog sudah agak berkurang, toh apa yang aku tulis tidak juga memiliki konten-konten informatif yang dapat membantu meningkatnya ranting blogku. Hihihi, aku sih karena suka saja, karena punya waktu di kantor, saat semua pekerjaan selesai, sedangkan pekerjaan pribadi menuntut menggunakan pikiran yang berlebihan, akan lebih menyenangkan jika menulis tentang pengalaman masa lalu, atau hobiku akhir-akhir ini kan. Hehehe...

Oke, malah nglantur, aku mau nulis tentang buku. Keponakanku selalu mengeluh tentang bagaimana meningkatkan keinginan untuk membaca buku. Secara sama orang tuanya suka banget dipaksa belajar dan membaca buku, sesuatu yang dia sangat tidak terbiasa. Memang, anak sekarang lebih suka bermain dengan sosial media dan hasil digital lainnya, seperti game dan banyak aplikasi, termasuk selfie dan saling ngomen ngrumpi tentang kabar teman mereka. 
Aku sih dulu juuga gitu ya, tapi masih pakai surat yang dikirim lewat pak pos. Hehehehe dan aku juga rajin afdruk foto lo ....
gue saat masih S2 dan bergaya membaca hahaha
Nah, menurutku sih, membaca bukan persoalan wajib atau tidak,  tapi kalau ingin menjadi suka membaca setidaknya sejak awal harus dibiasakan berpikir dan merasakan bahwa membaca adalah sesuatu yang menyenangkan dan menghibur. 

Jika sejak kecil sudah merasa terbebani dengan membaca karena dianggap membaca adalah membaca buku-buku pelajaran yang sangat membosankan tentu saja akan menjadi berat seterusnya, bahkan ketika hanya disuruh baca buku komik. Ngapain baca komik kalau ada film animasinya ye kan,,, mungkin beberapa anak akan berpikir demikian. Belum lagi tidak semua orang menyukai film atau buku-buku sastra karena dianggap tidak bermanfaat atau tidak mempengaruhi secara langsung hal-hal yang akan membuat mereka senang, rileks atau bahagia.

Beberapa orang tua mungkin juga berpikir bahwa membaca komik, cerpen, novel merupakan kegiatan yang buang-buang waktu, karena tidak memberi kontribusi kecerdasan maupun ilmu sebagaimana jika anak-anak itu membaca buku pengetahuan, buku pelajaran, buku-buku sejarah dan lain sebagainya. Secara mau buku apapun harganya sama-sama mahal. 

Padahal, jika diperhatikan, buku-buku yang ringan itu akan menjadi pemantik pertama untuk anak-anak atau kita nanti kelak untuk membaca buku yang lebih berat atau membutuhkan sedikit tenaga untuk memahaminya. Setiap masa perkembangan anak disesuaikan dengan apa yang akandi konsumsi, bisa saja dia akan tetap bertahan membaca komik hingga dewasa kelak, tapi itu juga akan membantunya untuk menyukai buku-buku lain yang sesuai dengan umur dan ketertarikannya terhadap informasi atau pengetahuan tertentu sesuai dengan kebutuhan.

Namun, jangan berlebihan juga karena generasi sekarang mengkritisi kebijakan orang tua yang beberapa di antaranya tidak menyukai jika anak, murid atau mahasiswanya tidak mengindahkan pentingnya membaca buku-buku sastra maupun komik-komik. 

Kemarin, saya menemukan sebuah status yang mengkritisi dosen atau pengajar yang mewajibkan murid atau mahasiswa mereka untuk membaca dan menulis sebagai sesuatu yang tidak boleh tidak, alias harus. Dia mengkritisi harusnya dosen juga lebih kreatif dalam memberikan tugas, yang bisa saja seperti membuat video dan animasi, seperti apa yang dikonsumsi anak milineal sekarang. Kalau menurut pendapat aku sih, setiap dosen atau pengajar mempunyai kebijakan yang bisa saja untuk mata kuliah tertentu memang harus mewajibkan untuk membaca dan menulis.

Zaman boleh berubah dengan banyak gaya untuk belajar, tapi pendekatan paling konvensional sekalipun seperti membaca, tetap tidak begitu saja bisa dihilangkan atau dihindari begitu saja.

Jadi, jika ada dosen yang menuntut mahasiswa membaca menurutku wajar-wajar saja, karena aku sebagai dosen kadang juga sebal dengan anak yang sama sekali tidak mau belajar apalagi membiasakan membaca. Maunya tanya dan mendapatkan jawaban yang instan. Bahkan untuk membuat video atau karya digital lainnya, membaca tetap menjadi syarat dalam prosesnya juga kan. Kalau tidak bagaimana transfer keilmuan dapat diberikan.

Saranku sih, benarkah anda kesulitan membaca, bukankah setiap hari anda membaca status banyak orang di timeline sosial media anda? Atau mungkin berbeda membaca timeline dengan membaca buku atau karya tulis yang cenderung membosankan dan tidak menarik sama sekali. Nah, kuncinya ada di kata “menarik” bagaimana anda membutuhkan dan tertarik, itu tergantung di motivasi anda. 

1 komentar:

Film, Azumi dan Masa Kecilku.

19.58 Unknown 1 Comments


gambarnya nggak nyambung nih, ngomongin film tapi gambarnya kelapa. nggak papa lah, nggak ada adean aku nonton film soalnya, hihi

Aku sangat menyukai nonton film, apa saja asal tidak horor. Tapi, aku tidak terlalu tertarik menulis ulasan tentang film-film yang sudah aku tonton. Pertama, karena sudah banyak yang nulis tentang sinopsisnya. Kedua, aku tidak tahu apa yang harus aku tulis, apalagi pakai gaya kritikus film, kebanyakan nontonku hanya untuk hiburan, mendapatkan pengalaman baru tentang dunia, dan juga mencintai imajinasi. Jadi, saya akan menulis tentang bagaimana kesukaan saya dengan film-film, tapi tidak secara khusus mengulas film tersebut.

Sejak kecil, SD mungkin, saya sangat menyukai menonton film. Bahkan saat semua orang belum mempunyai player. Saya lahir tahun 1987, meskipun tinggal di perkotaan Semarang, tapi saat itu, memiliki player pemutar kaset sangatlah sedikit. Hanya orang-orang kaya yang memilikinya. Untungnya, saya mempunyai satu orang teman kaya yang sering kesepian karena kedua orang tuanya selalu bepergian untuk urusan pekerjaan maupun bisnis. 

Film pertama aku yang tonton masih menggunakan kaset pita nan besar, yaitu film Cinderella. Sebagai gantinya, aku akan mengerjakan PR temanku, asal aku diperbolehkan menonton film-film kartun koleksinya di rumahnya. Sekarang aku tidak tahu bagaimana kabar teman filmku itu.

Kesukaan dengan film makin menjadi-jadi, justru saat aku harus menahan diri tidak menonton selama 4 bulan. Karena ketika aku sudah memasuki bangku tsnawiyah, alias sekolah menengah pertama, aku dikirim ke pondok oleh orang tua. Pondok pesantren tentu saja akan sangat tidak mengizinkan jika santrinya menonton film-film bukan? Akhirnya aku hanya punya kesempatan 2 minggu liburan sekolah tiap catur wulan. Pada tahun 2000 – 2003, tahun ajaran masih dibagi menjadi tiga kali, sehingga dikenal dengan caturwulan. 

Jika ada yang seumuranku, mungkin masih merasakan masa itu. Nah, seminggu pertama di rumah benar-benar aku manfaatkan hanya untuk menonton film. Dengan uang seadanya, aku membeli player, waktu itu film sudah ada dalam bentuk VCD, dan aku sangat bersyukur punya tetangga yang membuka rental film. Langsung saja tiap hari aku dapat menyewa enam sampai tujuh film. Kadang jika terlalu berlebihan aku hanya boleh menyewa 4 film sehari. Dari ratusan film yang aku tonton selama satu minggu per catur wulan selama tiga tahun, hanya sedikit yang benar-benar terkesan.

Pada masa itu, aku paling suka dengan film-film hero yang pemeran utamanya perempuan. Film itu juga bukan hanya film holywood, aku juga suka film-film action Jepang dan juga film romantis India. Nah, film terbaik yang aku suka adalah Azumi. Film ini tentang seorang samurai wanita yang harus menghadapi banyak rintangan untuk menuntaskan misinya. Setiap misi harus mengorbankan orang-orang yang disayanginya. Film ini rilis pada tahun 2003, dan sutradaranya adalah Ryuhei Kitamura, sedangkan Aya Ueto berperan sebagai Azumi yaitu seorang Samurai wanita yang memiliki skill lumayan tangguh dalam menghadapi musuhnya. 

Kenapa aku menyukainya? Secara film-film dengan pemeran utama wanita, membuatku selalu bersemangat untuk bermimpi. Memang sih film ini agak serem dan juga sadis, adegan berdarah dimana-mana, dan dulu aku masih kuat nonton kayak gituan, sekarang mah mending menghindari, cari-cari film drama ajah.

Tapi bagusnya film ini adalah dari gaya pengambilan gambar dan juga animasi yang pada waktu itu sudah sangat canggih bangetz. Meskipun ini film serius dan juga action, tapi pemilihan warna dan setting sangat ceria, dari hutan bambu, sungai, hingga suana kota Jepang kuno yang menyegarkan. Tidak banyak adegan perang dalam kegelapan. Penggunaan pakaian tradional Jepang (kimono) juga menjadi kekayaan perfomance film yang tidak membosankan. Saya menunggu film sebagus ini lagi, tapi meskipun sudah muncul film samurai adaptasi dari kartun Rurouni Kenshin, menurutku masih bagusan Azumi. 

Pertama, film Kenshin aku sudah nonton versi kartunnya, sehingga ketika diperpendek menjadi sebuah film seperti banyak adegan dan cerita yang terpotong. Aktor yang memainkannya juga terlalu imut, meskipun lama kelamaan juga akan terbiasa sih, si pemain Azumi sebenarnya juga imut, cuma karena tatapan matanya bisa dingin dan hangat sekaligus, tokoh ini menjadi sangat unik. 

Kedua, gerakan perang atau battle samurai Kenshin masih kurang detail, kadang terlalu cepat, meskipun bagusnya tidak banyak gambaran sadis. Adapun Azumi, mampu memberikan tidak hanya kecepatan tetapi juga detail gerakan bela diri, serta taktik yang harus dilakukan dengan disiplin dan penuh pengorbanan. Meskipun akhirnya sad ending juga sih.

Film kedua yang lebih ceria, komedi, dan ada animasinya adalah Anna Enchanted. Di film ini pertama kali aku punya aktris favorit, cantik dan semangat, Anna Hathaway. Dari filmnya ini, aku mulai mencari beberapa film yang dia bintangi. Seperti Princess Diare, Princess Diare II, dan the Devil Wears Prada. Hingga beberapa film terbarunya seperti Alice in Wonderland dan the Intern. Film drama yang ia mainkan selalu memberikan pesan untuk selalu semangat dan juga menghadapi segala persoalan dengan positif. Selain juga dia selalu cocok untuk peran putri yang modern.

Adapun untuk film action, aku masih sangat menggemari the Matrix. Awalnya sih bikin aku suka dengan Keanu Reaves, tapi lama-lama biasa aja hihihi.  Awal nonton film ini nggak paham-paham amat, paling yang aku perhatikan action dan juga animasinya yang keren. Secara ini adalah film yang pertama kali menggunakan gaya slow move di bela dirinya atau action scenenya kan. 

Namun kemudian, ketika masa kuliah, aku menyadari bahwa film ini di dalam naskahnya banyak sekali mengungkapnya pertanyaan-pertanyaan filosofis tentang makna “ada”. Tentang sebuah tujuan existensi, tentang mempertanyakan realitas dan juga tentang fenomena kenabian dan forecast di setiap tradisi kepercayaan. Berawal dari sini, aku mulai memperhatikan naskah sebagai salah satu pertimbangan bagus tidaknya sebuah film.

Tentu saja masih banyak film lainnya yang tidak kalah bagus dari yang kusebutkan di atas. Hanya saja memang beberapa film saja yang berkesan, eh itu belum termasuk film bolywood yang melegenda sampai sekarang dari Kunch Kuch Hota Hai, Mohabbatein sampai Har Dil Jo Pyar Karega. Hihihihi

Oke, itu sedikit ceritaku tentang film waktu aku masih remaja. Bagaimana dengan film favoritmu? 

1 komentar:

Hunting Mie Ayam, Kupas Tuntas

22.50 Unknown 1 Comments


Siapa sih di Indonesia ini yang nggak kenal mie ayam? Mie yang katanya sejarahnya dari Cina ini sudah meng-Indonesia bangetz dengan beragam cara untuk beradaptasi dengan cita rasa beragam suku budaya di pelosok tanah air. Sudah harganya murah meriah, mienya lembut, ayamnya mantab, kuahnya segar hingga pedes endes tak terbatas.

Penjual mie ayam bisa saja ditemukan di setiap pojok jalan kota-kota anda, atau langganan yang selalu lewat depan rumah, tapi tidak mudah untuk mendapatkan mie ayam dengan cita rasa yang sesuai selera bukan? Nah, kali ini saya ingin menulis pengalaman saya saat hunting warung mie ayam di Tulungagung.

Informasi umum dulu ya, sebagian besar cita rasa mie ayam di Tulungagung terbagi menjadi dua, yakni Mie Ayam Solo dan Mie Ayam Jakarta.  Mie ayam solo biasanya rasanya manis, ada sedikit kandungan kecapnya, mienya ukurannya agak besar, ada juga yang kuahnya berwarna kuning dan sedikit asin, yang menjadi khas mie ayam solo di Tulungagung adalah ukuran ayamnya, di sini potongan ayamnya besar-besar dan rasanya manis. 

Berbeda dengan mie ayam solo, mie ayam Jakarta biasanya dicirikan dengan memisahkan mie dengan kuahnya. Rasanya pun lebih gurih karena tidak menggunakan kecap, hanya bawang putih dan lada.

Oke, saatnya hunting, dari yang paling populer hingga yang paling enak. Menurutku loh ya... hehehe. Siapa tahu ada yang seselera denganku. Hihihi
ini yang aku maksud mie ayam dengan penampilan kkhas jakarta. kuah dan mie dipisah..

Awal mula di Tulungagung, kalau lagi googling, yang paling terkenal adalah mie ayam ijo di wilayah Tunggulsari Tulungagung. Mie ayam ini memang unik karena menyediakan mie yang warnanya ijo. Selain itu, berbeda dengan mie ayam lain yang biasanya pakai sawi hijau, di mie ayam ini pakai selada. Menurutku sih, rasanya asin, dan kuah dan mienya nggak bisa nempel, tidak tahu kenapa, sehingga mienya pun meski warnanya cantik cerah nan hijau mempesona rasanya cenderung anyep.

Tahukan anyep? Nggak asin nggak manis alias nggak ada rasanya kecuali rasa tepung. Ayam yang sudah dibumbuin pun harusnya enak, tapi rasa itu hanya bisa bercampur dengan kuah, tidak dengan mie apalagi seladanya. 

Soal selada lah ya, sebenarnya itu pilihan alternatif yang bagus juga, secara mie ayam di Tulungagung dipengaruhi dengan gaya cwi mie ala Malang yang memang menggunakan selada untuk pelengkap sayurannya. Masalahnya, selada ini nggak tahan panas, jika selada dan kuah mie ayam dijadikan satu mangkuk. Kalau dimakan terpisah dia pahit, kalau dimasukin kuah langsung lemes lenyap. Dilema selada di mangkuk mie ayam. Hal ini bisa saja dihindari jika sama mie dan kuahnya terpisah. Hahahaha aku kog kayak kritikus makanan ya... hahahahaha

Dengan gaya yang sama, menggunakan ciri khas mie ayam beragam warna, ada yang namanya warung mie ayam Malioboro, lokasinya di seberang Mie Nelongso (salah satu warung mie terpopuler dan teramai di Tulungagung). Mie ini spesialisasinya mie rasa wortel dan rasa bayam. 

Harganya memang di atas rata-rata mie ayam original sekitar 8.500an kalau yang ada rasa-rasanya sekitar 12.000an. Gaya penyajian mie ayam ini seperti mie ayam jakarta, dipisah mie dan kuahnya. Tapi olahan ayamnya khas solo, yang cokelat dan manis. Pakai sawi hijau dan ukuran mie ayamnya kecil. 

Boleh lah sekali-kali ngemie di sini, hanya saja menurut saja kurang segar. Karena kuah yang disajikan kurang panas, kuah mie rasa asin tapi ayam yang disajikan manis, jadi mungkin yang diharapkan gurih, tapi sayangnya kurang pas, karena seperti setengah-setengah mau mengarah ke mana rasa mie ayamnya hehehehe saya lupa bahwa mie ayam temennya adalah saus. Mungkin kalau dikasih saus bisa membantu.   

Oke, mie ayam kedua, adalah mie ayam terkenal dan enak. Yakni mie ayam Perempatan Kepatihan. Dari Masjid Al Muslimun itu ke Barat dan tidak lebih dari 50 meter  

Mie ayam ini sangat ramai dikunjungi para penggemarnya. Harganya memang di atas rata-rata kurang lebih 10.000an, tapi rasanya jos. Mie ayam khas Jakarta memberikan kualitas sebagaimana pilihan genre rasanya. Ukuran mienya kecil, sebagaimana yang biasa dipakai untuk mie ayam Bangkok yang khas Cina. Sebelum disajikan mie nya dicampur dan diaduk dengan minyak ayam, minyak wijen dan bumbu. Di atas mie, diletakkan selada segar dan juga ayam yang dipotong halus, dengan rasa garam dan lada dengan sedikit minyak wijen. Kuah disajikan terpisah. Selain segar karena dicampur dengan daun bawang, juga awet panas. 

Jadi meskipun cara makan anda dengan tetap mempertahankan mie dan kuah terpisah, maka hangatnya kuah akan tetap bertahan hingga anda menghabiskan mienya. Dan, misalnya pun kuah itu anda masukkan ke dalam mie, kuahnya tidak mengganggu bumbu. Mie ini memang cenderung rasa asin, sangat berbeda dengan mie ayam solo.
   
mie ayam Tunggal Rasa 

Ketiga, mie ayam Tunggal Rasa di Jalan Sutomo, Tulungagung. Yang ini mie ayam favoritku. Karena pada dasarnya aku suka mie ayam yang agak solo dan juga agak jakarta. Hohohoho apa itu maksudnya. Hehehe... mie ayam yang tetep berkuah (tidak terpisah kuahnya) tapi juga asin (meski ayam yang disajikan warna cokelat alias pakai kecap). 

Mungkin secara penampilan mirip mie ayam solo, tapi rasanya lebih ke mie ayam Jakarta. Kkwkwwkwkwkw aneh juga ya,,,, Mie ayam dengan tagline nama Tunggal Rasa di Tulungagung sebenarnya banyak, ada di Kepatihan hingga perempatan BTA. Tapi hanya yang di Jalan Sutomo ini yang cocok. 

Saya tidak tahu kenapa mie ayam tunggal rasa yang satu dengan yang lain berbeda. Kadang ada yang terlalu manis, kadang ada yang mienya terlalu besar. Oke, kenapa mie ayam ini juga spesial, menurut aku sih karena rasanya, teksturnya maupun kesegarannya pas. Ukuran mie tidak terlalu besar maupun kecil, sehingga tidak membuah neg yang makan. Kuah yang disajikan juga tidak terlalu banyak ataupun terlalu sedikit,  sehingga mienya tidak mudah mengembang. 

Saya lebih suka sawi hijau dari pada selada untuk mie ayam, dan sekali lagi, sawi harus dimasak dalam kondisi segar. Kalau sawi sudah dimasak duluan untuk mempercepat proses penyediaan mie, maka membuat kuah yang ada di mangkok kehilangan cita rasa segarnya sawi. 

Tekstur ayamnya yang dipotong tidak besar-besar seperti ayam potong, tapi lebih seperti ayam sisir, jadi ayam pun terasa lebih lembut dan mudah dikunyah, nggak ada ceritanya seliliten makan ayam nya mie ayam hohoho. Rasanya pun meskipun pakai bumbu cokelat khas mie ayam solo, tapi tidak mendominasi rasa kuah yang dibuat gurih. Kuahnya bening, tidak berwarna kuning maupun agak ada cokelatnya. After all it is the best mie ayam i found in Tulungagung.

Oke, sampai di sini, studi tentang mie ayam di Tulungagung. Disambung nanti kuliner lainnya...

1 komentar:

Kopi dan Denyut Nadi Kota

20.48 Unknown 1 Comments


Kota boleh lengang, tapi bukan berarti tidak ada keramaian. 

Pertama saya datang ke sini, ketika ingin mencari makan malam, saya dan suami hampir kesulitan. Salah kami juga yang telat hunting makan karena keasikan nonton film, dan ketika keluar rumah tidak sadar sudah jam sembilan. 

Kami menyusuri jalan-jalan besar di tengah kota, berharap ada warung atau resto yang masih buka. Tapi kota ini menunjukkan hal sebaliknya. Pertokoan tutup, jalan lengang, tidak ada lagi parkir mobil dan motor di pinggir jalan, tidak juga ada penjual gerobak.

Tapi, ada yang menarik perhatianku. Di beberapa titik, di antara bangunan dengan lampu depan teras yang sudah gelap, ada cahaya. Orang-orang berkumpul mengerumuni cahaya.
salah satu pojok cafe atau warung angkringan Simongan Tulungagung

Jadi ingat laron, tapi ini bukan laron. Jadi, ada beberapa warung dengan menyediakan meja besar, di ruang terbuka, ada juga yang lesehan di teras-teras rumah. Meja dikelilingi oleh anak muda hingga bapak-bapak. Nampak  cangkir-cangkir kopi hitam, asbak, dan juga beberapa gorengan. Kalau warung macam itu, biasanya aku sebut dengan angkringan.

Aku ragu harus menghentikan sepeda motor, secara angkringan menjadi sangat lekat dengan cowok. Jadi, aku pun berpikir, jika ada angkringan, ada kopi, maka seharusnya ada cafe. Hohohohoh tempat yang lebih feminim.
ini salah satu gaya aku di angkringan Pinka 

Nah, jika anda cari di google, ada banyak cafe yang tersebar di Tulungagung. Tapi sebagian cafe itu berstatus seperti resto yang akan tutup jam 9 malam. Sebenarnya yang unik di sini adalah banyak angkringan yang didesign seperti cafe. Rapi, bersih, beragam jenis kopi serta minuman tradisional lainnya dan juga makanan ambil sendiri.

Jenis makanan yang disajikan kelas angkringan bangetz, dari nasi bungkus (kalau di semarang, aku sih nyebutnya nasi kucing, nasi dengan sambel teri atau lauk yang minimalis) sampai segala macam gorengan. Nasi bungkus di sini juga macem-macem, ada namanya nasi campur, nasi yang lauknya berupa mie, sambel goreng tahu, potongan telor dadar. Ada namanya nasi gegok, nasi yang dibungkus daun isinya teri dengan kelapa parut kemudian bungkusan itu dikukus, nasi ini rasanya sedap, bau daun, dan gurih kelapa dan teri. 

Ada yang namanya nasi sambel teri, ini sudah biasa kan, tapi teri di sini besar-besar dan sambelnya pedesnya nendang, bisa megap-megap nggak karuan. Ada juga nasi goreng, nasi ayam (meski potongannya kecil bangetz) dan juga nasi ikan. Nasi favoritku adalah nasi gegok yang dibakar sebelum disajikan. Wangi daunnya yang nempel di nasi memberi suasana adem di lidah.
salah satu penampakan barista angkringan

Tidak hanya makanan, angkringan ala cafe yang menarik juga menyediakan berbagai jenis minuman. Cafe-cafe konvensional, cafe ala resto, minuman yang banyak ditawarkan seperti berbagai kopi, teh, juz hingga soda. Berbeda dengan angkringan ala cafe, minuman yang dijual, lebih seperti minuman olahan lokal, dari rempah-rempah, susu, santen, buah, hingga cokelat. 

Tulungagung terkenal dengan kopi ijo dan juga kopi hitam. Bagi yang nggak kuat minum kopi ijo, bisa pusing atau diare, seperti suamiku. Padahal, dia tipe peminum kopi hitam tiap pagi dan sepanjang hari saat bekerja. Nah, bagi yang cocok dan suka, bisa saja ketagihan, kopi ijo ini adalah olahan kopi sangrai ( biji koppi sangrai akan jadi hitam, makanya kopi warnanya hitam) dan kopi mentah (biji kopinya masih ijo). Hampir semua warung akan menyediakan untuk anda.

Warung kopi terlaris di Tulungagung adalah Warung Kopi Waris. Ini jenis yang benar-benar warung kopi. Semua orang datang hanya demi kopi.

Nah, tentang minuman lainnya, tadi saya menyebutkan rempah-rempah. Minuman tradisional ini menggunakan rempah-rempah sebagai komposisinya, seperti jahe, sere, salam, kencur dan lain-lain. Nama minumannya di antaranya bajigur, uwuh, jakencruk (jahe kencur jeruk). Owh ya, di Tulungagung, es beras kencur itu sama biasanya diminum seperti  es teh dan es jeruk setelah makan di warung-warung. 

Minuman tradisional ini menjadi sangat populer di kalangan anak muda, terutama yang doyan nongkrong. Selain menyehatkan, minuman ini juga recomended kog, rasanya enak, segar dan dapat menjadi alternatif selain minuman di ordinary cafe seperti capucino, latte, moccacino.

Di angkringan ala cafe, pembeli datang, mengambil piringan (biasanya dari jalinan bambu atau piring seng yang warna putih mengkilap itu lo) kemudian mengambil lauk berupa gorengan atau jajanan, jika mau, gorengan itu boleh minta ke penjual untuk dibakar sebentar di atas bara, tidak hanya gorengan tempe, tahu, atau menjes (kalau di jawa tengah disebut juga dengan tempe mbus), tapi juga ada gorengan ayam, cakaran pedes, tahu bakso, hingga sosis bumbu kecap. 

Dijamin mata dan perut anda ikut berbinar. Lauk itu melengkapi berbagai jenis nasi yan saya sebutkan tadi.

Oh ya tambah satu lagi, angkringan khas dengan jualan di atas gerobak dengan atap daun rumbia. Di sini juga sama, setiap angkringan ala cafe, selalu mengusahakan adanya simbol tersebut. dengan lampu pencahayaan kuning nan temaran. Tapi, memang tidak semua tempat favoritku seperti itu sih. Yang aku garis bawahi hanya menu dan bagaimana cara kita mengakses menu. hehehe

Kalau di Tulungagung, ada beberapa tempat favorit angkringan ala cafe kami. Pertama, namanya Angkringan Pinggir Kali atau dikenal dengan Pinka. Letaknya di Jembatan Lembu Peteng di bantaran sungai sebelah Barat, dekat penjual tanaman (sekarang sih sudah digusur sejak dibangun running treck di pinggiran sungai). Angkringan ini buka sore sekitar jam 4-an. Lokasinya agak mojok, tapi bisa langsung melihat aktivitas orang-orang yang menghabiskan waktu bermain dengan keluarga, main layangan atau nongkrong-nongkrong saja di sepanjang sungai Lembu Peteng. Angkringan ini spesialisasinya di lauk dan segala macam jajan ringan. Seperti beragam jenis kerupuk, klethian, jajanan pasar dan lain-lain.

Kedua, angkringan otomotif. Angkringan ini sangat populer di kalangan remaja, mahasiswa, sampai orang dewasa. Letaknya di pojoan perempatan Bus Ngguling. Meskipun agak aneh karena lokasinya yang sangat terekspos, secara di pojokan perempatan, jadi siapa saja yang berhenti di lampu merah bisa melihat secara leluasa siapa aja yang sedang nongkrong di situ. Tapi, angkringan ini menawarkan minuman yang alamaaak seger dan so traditional gituh... namanya juga lucu-lucu. Seperti bandrek, uwuh, ada juga namanya wedang nonik, isinya beragam buah dicampur dengan susu hangat dan jahe. 

Memang, jahe menjadi andalan minuman tradisional, rasanya yang menyegarkan ternyata dapat dipadu-padankan dengan beragam olahan minuman lainnya, baik sesama rempah atau bahkan buah-buahan.

Ketiga, bukan macam angkringan, tapi juga bisa angkringan deh, lebih mirip warung kopi seperti cafe. Namanya, Samongan. Lokasinya memang terpencil di Kelurahan Tertek, tempatnya tidak di pinggir jalan besar, juga tidak di tengah keramaian. Di sini, memang lebih banyak diisi oleh bapak-bapak. Menyediakan berbagai jenis kopi dengan beragam cara penyajian. Kopi-kopi yang dijual di sini berasal dari beberapa tempat yang terkenal dengan kualitas kopinya, dari kopi Gayo, kopi Toraja, kopi Aceh, hingga kopi khas Tulungagung sendiri. 

Cara pengolahannya bisa memilih dengan gaya tradisional, gaya tubruk yang sederhana atau gaya press yang pakai alat agak heboh. Tinggal dipilih. Lokasi terpencil yang tenang membuat jagongan menjadi khusyu’ dan nyaman. Dikelilingi pagar bambu, rumah ini disulap menjadi ruang-ruang yang diisi meja-meja di beberapa sudut, ada juga satu ruang khusus yang dibuat di atas pohon. Bagi kalian penikmat kopi, ini menjadi salah satu dari yang terbaik referensi aku.

Oke, sampai di sini ulasanku sedikit tentang tempat nongkrong kopi macam angkringan ala-la cafe di Tulungagung, selamat mencoba. 
met ngopi. Lokasi di Kedai Bang Kosim. Tulungagung

1 komentar: