Membaca Buku, Berat nggak sih?

20.39 Unknown 1 Comments



Setelah menulis tentang film di masa laluku, hohoho sekarang saya lanjutkan tentang membaca buku. Selain film, membaca memang menjadi favoritku. Klasik bangetz ya, berbeda dengan anak milineal sekarang yang memiliki lebih banyak pilihan hobi dan hampir semua berhubungan dengan digital. Umurku saat menulis ini mungkin hampir 30 dan mengandung anak keduaku sekitar hampir 5 bulan minggu depan. Anak pertamaku meninggal di kandungan ketika berumur 6 bulan. Aneh memang sepertinya menulis blog saat masa-masa populernya blog sudah agak berkurang, toh apa yang aku tulis tidak juga memiliki konten-konten informatif yang dapat membantu meningkatnya ranting blogku. Hihihi, aku sih karena suka saja, karena punya waktu di kantor, saat semua pekerjaan selesai, sedangkan pekerjaan pribadi menuntut menggunakan pikiran yang berlebihan, akan lebih menyenangkan jika menulis tentang pengalaman masa lalu, atau hobiku akhir-akhir ini kan. Hehehe...

Oke, malah nglantur, aku mau nulis tentang buku. Keponakanku selalu mengeluh tentang bagaimana meningkatkan keinginan untuk membaca buku. Secara sama orang tuanya suka banget dipaksa belajar dan membaca buku, sesuatu yang dia sangat tidak terbiasa. Memang, anak sekarang lebih suka bermain dengan sosial media dan hasil digital lainnya, seperti game dan banyak aplikasi, termasuk selfie dan saling ngomen ngrumpi tentang kabar teman mereka. 
Aku sih dulu juuga gitu ya, tapi masih pakai surat yang dikirim lewat pak pos. Hehehehe dan aku juga rajin afdruk foto lo ....
gue saat masih S2 dan bergaya membaca hahaha
Nah, menurutku sih, membaca bukan persoalan wajib atau tidak,  tapi kalau ingin menjadi suka membaca setidaknya sejak awal harus dibiasakan berpikir dan merasakan bahwa membaca adalah sesuatu yang menyenangkan dan menghibur. 

Jika sejak kecil sudah merasa terbebani dengan membaca karena dianggap membaca adalah membaca buku-buku pelajaran yang sangat membosankan tentu saja akan menjadi berat seterusnya, bahkan ketika hanya disuruh baca buku komik. Ngapain baca komik kalau ada film animasinya ye kan,,, mungkin beberapa anak akan berpikir demikian. Belum lagi tidak semua orang menyukai film atau buku-buku sastra karena dianggap tidak bermanfaat atau tidak mempengaruhi secara langsung hal-hal yang akan membuat mereka senang, rileks atau bahagia.

Beberapa orang tua mungkin juga berpikir bahwa membaca komik, cerpen, novel merupakan kegiatan yang buang-buang waktu, karena tidak memberi kontribusi kecerdasan maupun ilmu sebagaimana jika anak-anak itu membaca buku pengetahuan, buku pelajaran, buku-buku sejarah dan lain sebagainya. Secara mau buku apapun harganya sama-sama mahal. 

Padahal, jika diperhatikan, buku-buku yang ringan itu akan menjadi pemantik pertama untuk anak-anak atau kita nanti kelak untuk membaca buku yang lebih berat atau membutuhkan sedikit tenaga untuk memahaminya. Setiap masa perkembangan anak disesuaikan dengan apa yang akandi konsumsi, bisa saja dia akan tetap bertahan membaca komik hingga dewasa kelak, tapi itu juga akan membantunya untuk menyukai buku-buku lain yang sesuai dengan umur dan ketertarikannya terhadap informasi atau pengetahuan tertentu sesuai dengan kebutuhan.

Namun, jangan berlebihan juga karena generasi sekarang mengkritisi kebijakan orang tua yang beberapa di antaranya tidak menyukai jika anak, murid atau mahasiswanya tidak mengindahkan pentingnya membaca buku-buku sastra maupun komik-komik. 

Kemarin, saya menemukan sebuah status yang mengkritisi dosen atau pengajar yang mewajibkan murid atau mahasiswa mereka untuk membaca dan menulis sebagai sesuatu yang tidak boleh tidak, alias harus. Dia mengkritisi harusnya dosen juga lebih kreatif dalam memberikan tugas, yang bisa saja seperti membuat video dan animasi, seperti apa yang dikonsumsi anak milineal sekarang. Kalau menurut pendapat aku sih, setiap dosen atau pengajar mempunyai kebijakan yang bisa saja untuk mata kuliah tertentu memang harus mewajibkan untuk membaca dan menulis.

Zaman boleh berubah dengan banyak gaya untuk belajar, tapi pendekatan paling konvensional sekalipun seperti membaca, tetap tidak begitu saja bisa dihilangkan atau dihindari begitu saja.

Jadi, jika ada dosen yang menuntut mahasiswa membaca menurutku wajar-wajar saja, karena aku sebagai dosen kadang juga sebal dengan anak yang sama sekali tidak mau belajar apalagi membiasakan membaca. Maunya tanya dan mendapatkan jawaban yang instan. Bahkan untuk membuat video atau karya digital lainnya, membaca tetap menjadi syarat dalam prosesnya juga kan. Kalau tidak bagaimana transfer keilmuan dapat diberikan.

Saranku sih, benarkah anda kesulitan membaca, bukankah setiap hari anda membaca status banyak orang di timeline sosial media anda? Atau mungkin berbeda membaca timeline dengan membaca buku atau karya tulis yang cenderung membosankan dan tidak menarik sama sekali. Nah, kuncinya ada di kata “menarik” bagaimana anda membutuhkan dan tertarik, itu tergantung di motivasi anda. 

You Might Also Like

1 komentar: