Bikin Rak Buku dari Lemari Baju Bekas

00.08 Unknown 1 Comments

Kayu merupakan benda yang paling disukai suamiku. Tentu saja setelah bebek goreng. Yupz, dia hobi bertukang. Bikin meja. Bikin rak. Bikin tempat pita. Apa aja , apa yang aku minta. Atau kalau aku sudah mulai ngomel karena berantakan. Maka dia akan membuatkan aku storage dari kayu dengan dua senjata yakni jiqsaw dan bor.

lemari dimiringkan dan siap dibelah. bismillah..
Bagiku, rak buku adalah masterpiece keduanya, setelah sebelumnya membuat lemari untuk peralatan dapur. Suami membuat rak buku dari lemari sejenis olimpic bekas. Secara aku tidak menyukai model lemarinya (dulu beli karena uangnya hanya cukup buat beli yang model itu.. hahahahaha). Lemari dua pintu ini berwarna hitam, terdiri dari 4 bagian, yakni tempat menggantungkan baju, dua tempat untuk baju yang dilipat, dan juga ruang penyimpanan.

Kenapa aku tidak suka lemari ini? Tinggi ruang penyimpanan baju lipat terlalu tinggi. Sehingga membuat susah jika ingin mengambil baju. Secara saking tingginya jadi mudah roboh lipatan bajunya. Selain itu, baju kami semakin banyak sehingga tidak memungkinkan untuk disimpan di lemari itu.

kayu disipakan dan diukur ketinggiannya
Aku lebih memilih menggunakan lemari buku untuk menyimpan baju hihi... Lemari bukuku terdiri atas 12 kolom dengan ukuran panjang masing-masing 40 cm. Persoalannya, karena jumlah buku lebih banyak dari muatan raknya, maka aku buat deh satu kolom terisi dua sap buku. Jadinya, buku yang di dalam tidak terlihat kan... hanya buku di layer terdepan yang nampak. Padahal jika aku buat lemari pakaian, dengan kolom sebanyak itu aku akan mudah mengatur baju-baju sesuai dengan jenisnya, seperti baju resmi, kaus, baju santai, rok, celana, jilbab dan lain-lain.

Proyek ini pun didukung karena kami pindahan ke kontrakan lama ke kontraan baru. Hehehehe. Agar buku terpajang semua dan ruang tamu yang cenderung sempit maka furniture juga harus menyesuaikan. Setelah pengukuran ruangan, ternyata pas dengan ide kami untuk menyulap lemari pakaian menjadi rak buku. Hehehe

Pertama. Lepaskan dulu daun pintu dan segala aksesoris di dalamnya. Agar mudah untuk dibelah. Suami sengaja tidak mengambil sekat/sap dalam lemari akan tidak goyah saat dibelah.

Kedua, lemari pakaian dibelah menjadi dua. Bukan atas bawah ya.. tapi sisi depan dan sisi belakang. Pisahkan. Sulit memang tapi bukan berarti tidak mungkin. Kenapa harus dibelah? Kenapa tidak langsung saja dipasang rak tambahan? Karena lebar lemari ini sama dengan rak buku sebelumnya, yang artinya terlalu ke dalam. Walaupun tidak banyak buku yang kita miliki, tapi dengan menyisakan ruang dalam rak, akan mengundang kumpulan debu.
kayu kiloan yang dijual

Rak sengaja dibelah agar ukuran lebarnya menjadi kecil. Hanya 20 cm dan itu pas untuk lebar satu buku. Dengan demikian, rak buku akan memuat lebih banyak buku dengan keuntungan semua buku dapat terpajang tanpa diumpetin bagian belakang.

Ketiga, siapkan sap atau rak. Kayu-kayu ini dapat beli di toko limbah kayu. Di Tulungagung, suami berlangganan kayu di toko dekat penjara, Jl. Pahlawan Rejoagung Kedungwaru. Cari kayu yang kuat tapi ringan. Di toko ini, kayu dijual kiloan. Juga menerima jasa pemotongan lo.... Kemudian, potong kayu sesuai dengan lebar rak lemari. Ingat, ada dua sisi lemari, kanan dan kiri.


Keempat. Ukur ketinggian rak yang diinginkan. Agar penempatan buku lebih efisien, kami mengklasifikasikan tinggi buku. Kesimpulannya, dibutuhkan 4 ketinggian berbeda, yakni 22 cm untuk buku kecil, 26 cm untuk buku sedang, 30 cm untuk jilidan A4, dan juga 40 cm untuk map. Dengan begini, tidak ada ruang yang terbuang.

Kelima, pasang masing-masing sap. Pastikan presisi dan tidak miring ya..

Keenam, bagian tersulit yakni membuat kaki rak. Agar tidak oleng karena lebar hanya 20 cm, maka harus membuat siku, memasang kaki yang ada lapisan karetnya, dan juga kami mengikat lemari di dinding. Hahahaha...



Sip itu lah, semoga dapat menginspirasi. 

1 komentar:

Menikmati Musik Klasik di Tulungagung

23.26 Unknown 1 Comments

artis memainkan ansamble gitar pada acara End Year Partdikan musik konser.  
Klasik tidak harus membosankan. Gitar tidak hanya untuk lagu pop dan dangdut. Muda belum tentu boyband girlband ala-ala K-pop. Dan Musik klasik bukan hanya milik kota besar. Yupz, Sabtu malam, 16 Desember 2017, aku dan suami menghabiskan akhir pekan dengan menikmati musik klasik di Pardikan Art Space, Tulungagung.

Kota ini memang kecil, tapi tidak menyangka memiliki banyak kejutan-kejutan, seperti acara musik malam ini. Konser ini diselenggarakan oleh Tantra Musik Course bekerja sama dengan mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI). 

Terdapat dua sesi musik klasik yang disajikan. Sesi pertama menampilkan murid-murid les yang membawakan beberapa musik klasik seperti Mazurka (Carl Henze/ 1872-1946), Sonatine op. 71 No. 1 (Mauro Giullani/1781-1829),  Playing Love (Ennio Morricone/1928) dan masih banyak lagi. 

revelyn Azzahra memainkan piano menyanyikan lagy Franch's Child 

Kalau saya sebut murid, jangan bayangkan para lelaki dewasa yang mengenakan jas taksido. Mereka yang belajar di sini masing sangat imut, umur belia, dari 4 sampai 10 tahun. Beberapa memilik memainkan gitar dan piano, tetapi ada juga yang memainkan violin. Duh, bikin hatiku rontok!

Para murid ini sangat berbakat, mereka mampu membawakan musik klasik dengan tenang, meyakinkan, tidak gerogi, dan anggun! Ada anak laki-laki berumur kurang lebih enam tahun bernama Flamboyant Jingga. Dia membawakan lagu Fur Elise karya Bethoven dengan piano. Lagu ini sangat familiar kita dengar di kotak musik. Revelyn Azzahra Putri Runa, gadis cilik berumur 4 tahunan ini membawakan Franch Child’s Song. Malam itu, dia mengenakan baju pink seperti princess dengan hiasan jepit bunga warna senada. 

Sesi pertama ditutup dengan Ansambel Gitar oleh 11 artis membawakan Noche En Los Andes dan El Gato Felie (ditulis oleh Eythor Thorlaksson) serta La Partida (anonim). Musik penutup sangat rancak, lembut sekaligus tangkas, dan tentu saja mengagumkan.

instagram Partdikan Art Space jika agan-agan mmau berkunjung

Sesi kedua adalah sesi dimana para bintang menunjukkan sinarnya. Dibuka langsung oleh master gitar klasik dari ISI, Rahmat Raharjo yang memainkan Torre Termeja karya Albeniz. Baru pertama kali aku bertemu sudah membuatku mengaguminya. Hahahaha... dengan tenang, suara rendah, menempati kursi, manata tatakan kaki, menyangga gitar, mengenakan batik mengucapkan salam. 

Cara dia memetik gitar.. alamak... bisa lembut tapi cepat, tidak tergesa-tega, dari nada pelan ke nada yang tinggi, aku bahkan yang tidak tahu tentang musik, apalagi musik klasik, langsung lari mendekati panggung, saking penasarannya karena suara yang muncul terdengar mantab dan nyaman.

Musik kedua dan seterusnya dibawakan oleh tiga mahasiswa ISI satu persatu, yakni Firly Febripartiwi membawakan Prelude no. 1 ditulis oleh Villa Lobos, Tabita Trisanta melanjutkan dengan Prelude No. 4 dan kemudian Nabila Rifda Alfiani dengan Zapateada yang ditulis oleh R. Sanz de la Maza. Dua lagu pertama tenang dan damai sedangkan lagu yang ketiga dibawakan dengan petikan senar yang cepat. 

Penampilan terakhir Nabita Duo Gitar, yakni Nabila dan Tabita membawakan lima lagu, salah satunya variasi aransemen ulang Gambang Suling oleh Iwan Tanzil, salah satu pelatih Tantra. Meskipun pemain menggunakan gitar, tapi aku menikmatinya seperti suara gending jawa. Hahaha... kog bisa ya,, gitar yang aku pikir hanya gejrang gejreng saja, bisa berbunyi sedemikian anggun. Aku berjanji sampai rumah mengumpulkan beberapa musik klasik di Youtube. Hahahaha...

After all, saya sangat menikmati pekan ini. Terima kasih Pardikan Art Space.
See you.... 

1 komentar:

12 Ikatan Samsara dan Keyakinan akan Perbuatan Baik

21.41 Unknown 1 Comments

Belajar tentang ajaran agama lain bukan sesuatu yang menakutkan dan dicurigai. Sama seperti belajar pengetahuan baru, belajar tentang agama lain, seperti menambah perspektif baru dalam keimanan dan juga pengalaman spiritual kita tentang alam semesta, Tuhan, dan juga manusia. 

Kecurigaan muncul saat asumsi-asumsi di kepala kita mengatakan bahwa apa yang akan kita ketahui akan mempengerahui keimanan kita terhadap apa yang sudah kita yakini. Asumsi dan kekhawatiran yang justru tidak akan bisa kita buktikan jika kita tidak mengalaminya bukan.....

Mahasiswa AFI IAIN Tulungagung angkatan 2016 untuk mata kuliah Fenomenologi Agama


Kali ini, saya membawa mahasiswa untuk belajar tentang sedikit ajaran dalam tradisi keagamaan Buddhisme. Kebetulan semester ini saya mengajar mata kuliah Fenomenologi Agama. Mata kuliah ini kurang lebih mendiskusikan tentang pengetahuan, makna dan sudut pandang metodologi penelitian yang menitikberatkan pada pengalaman pribadi seseorang dalam beragama atau kepercayaan terhadap apapun yang mempengaruhi caranya menjalani kehidupan. Singkatnya, ini tentang bagaimana seseorang memaknai hidup berdasarkan pengalaman keagamaaanya atau spiritualitasnya.   

Jumat sore, 29 September 2017, mahasiswa mengunjungi wihara Buddhaloka di Tulungagung, mereka berkenalan dengan guru agama Buddha yang sesekali mengajar di wihara tersebut dan mendampingi umat Buddha untuk melakukan meditasi. Dia mengenalkan salah satu konsep dalam Agama Buddha yang disebut dengan PATTICASSAMUPPADA yaitu hukum sabab musabab yang saling bergantungan. 

Patticassamuppada juga dikenal dengan 12 rantai yang mengikat 31 alam. Biasanya digambarkan sebagai 12 rantai yang mengikat gambar-gambar alam yang tengahnya berpusat pada ayam, ular dan babi sebagi simbol atas keserakahan, kebencian, dan kegelapan batin.



Apakah 12 mata rantai itu? Sebelumnya, mahasiswa mendapatkan penjelasan bahwa manusia akan selalu dipengaruhi oleh ketiga sifat yang berada di titik pusat, terdapat jalan putih yang menunjukkan bahwa merekalah orang-orang yang dapat menghindari sifat-sifat jahat tersebut, sedangkan jalan hitam adalah orang-orang yang dengan tidak takut akan perbuatan jahat mereka.

Bagi pengikut Buddha, mereka meyakini bahwa semua makhluk yang belum “terbebas” akan berputar-putar dalam arus samsara, selalu lahir di salah satu dari 31 alam, yang di antaranya alam manusia, alam hantu, alam binatang, alam setan, alam jin, alam syurga atau bahkan alam brahman. Hal demikian tergantung pada karma baik dan buruknya. Hanya jika makhluk-makhluk telah “terbebas” maka tidak akan lahir kembali yaitu saat merealisasikan “Nibbana”yang digambarkan sebagai roda Dhamma yang berhenti berputar.

Nah, 12 rantai yang mencengkeram makhluk yakni, (1) Avijja (ketidaktahuan atau kebodohan) yang kemudian melahirkan perbuatan-perbuatan atau (2) sankhara. Perbuatan-perbuatan ini akan memunculkan kesadaran (3) Vinnana, dimana dari kesadaran itulah muncul (4) Nama Rupa atau batin dan jasmani, dengan adanya Nama Rupa maka muncul pula enam indera atau (5) salayatana. Dengan adanya enam indera maka akan melahirkan kesan-kesan (6) Passa yang kemudian menciptakan perasaana atau (7) vedana, adanya perasaan maka akan meminta adanya keinginan atau kehausan atau disebut dengan (8) Tanha, adanya tanha atau kehausan itu mengakibatkan (9) upadana atau kemelakatan, yang kemudian muncul (10) Bhava atau proses tumimbal lahir yang menjadikan adanya (11) Jati atau kelahiran kembali, yang kemudian mendapatkan (12) Jamarana atau kelapukan, kematian, keluh kesah, sakit dan sebagainya).

Bingung? Sama hehehe. Oke, secara sederhana dengan membalik urutan Paticcasamuppada Ãœsia tua dan kematian hanya dimungkinkan terjadi pada organisme batin-jasmani, yaitu suatu “mesin”dengan enam indera. Organisme semacam itu harus dilahirkan, oleh karena itu perlu adanya kelahiran. Kelahiran merupakan akibat yang tak dapat dielakkan dari Kamma atau perbuatan di masa lalu, yang dibentuk oleh kemelakatan karena adanya nafsu keinginan. Nafsu keinginan muncul jika ada perasaan. Perasaan merupakan sentuhan indra dengan objeknya”.

mendengarkan narasumber untuk belajar memahami pengalaman umat agama lain
Pada kesempatan yang sama, salah seorang mahasiswa menanyakan tentang benda-benda yang ada di ruangan vihara tempat mereka belajar. Baginya, dia melihat umat Buddha meletakkan patung Buddha di altar kemudian mahasiswa ini membayangkan orang-orang yang datang ke wihara adalah untuk menyembah Buddha dan meminta segala sesuatunya adalah darinya. Apakah hal demikian menunjukkan bahwa Buddha adalah sosok Tuhan bagi Umat Buddha. Guru Agama Buddha pun menjelaskan adanya patung Buddha bukan untuk disembah, tetapi bentuk penghormatan dan juga mengingat jasa seseorang yang telah mengajarkan banyak kebajikan dan jalan menuju “pembebasan” sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Bahwa saat menjadi manusia lah, makhluk memiliki kesempatan untuk keluar dari 12 ikatan dan membebaskan dari samsara, di alam brahman dan syurga, makhluk akan cenderung terlena, sedangkan di alam binatang, jin dan setan, apalagi neraka, mereka memiliki keterbatas-keterbatasan untuk berbuat kebajikan.
So, setiap kebajikan yang dilakukan manusia, tidak hanya untuk orang lain, tapi justru untuk dirinya sendiri, bahkan dalam pemahaman yang lebih dalam, saat tidak ada diri sendiri, kebajikan itu menjadi jalan untuk menyatu pada sumber kebajikan itu sendiri. 

1 komentar:

Humanitas dan Teologi Masyarakat Bahai

20.41 Unknown 1 Comments

Masih dalam tur untuk Mata Kuliah Fenomenologi Agama, mahasiswa minggu ini berkenalan dan bertemu dengan komunitas Masyarakat Bahaí. Mahasiswa untuk kelas ini memang tidak banyak, hanya 12 orang, jadi lebih mudah mengajak jalan-jalan dan menemukan berbagai pengetahuan hal-hal menarik dari pengalaman mereka sehari-hari. 

Di tulungagung, terdapat beberapa keluarga yang menganut Bahai, beberapa tahun sebelumnya, kabar ini sempat menghebohkan warga, secara tradisi keagamaan ini memang baru dari enam agama lainnya yang berkembang di Indonesia.

Sebagaimana saya jelaskan sebelumnya tentang kelas Fenomenologi Agama, di kelas ini, mahasiswa diharapkan untuk mengamati dan menggunakan sudut pandang narasumber dalam memahami apa yang dirasakan narasumber berdasarkan pengalaman keagamaannya. 

Jika sebelumnya dalam suasana dialog antar umat beragama atau pada saat mempelajari fenomena-fenomena keagamaan, sebagian dari peneliti atau bahkan masyarakat menggunakan perspektif atau ukuran mereka sendiri dalam memahami (atau malah dalam kasus yang lebih ekstrim, melakukan justifikasi) terhadap penjelasan narasumbernya. Maka, sebagian dari kelas Fenomenologi Agama, meminta mereka untuk menekan hasrat pemahaman diri mereka sendiri, dengan masuk ke dalam logika, pengalaman, pemahaman, makna dari narasumber yang bersedia bercerita tentang apa yang mereka yakini.

Oke, bagaimana hasil kunjungan mahasiswa ini? 

Komunitas muda masyarakat Bahai menyambut kami dengan ramah. Setelah membuka dengan doa dan saling memperkanlkan diri, kami memulai diskusi. Cara belajar masyarakat Bahai tentang apa yang mereka yakini sangat menarik. Berdasarkan pengalaman sehari-hari, mereka merefleksikan kata-kata suci dari Bahá’u’lláh, pembawa wahyu Agama Bahaí. Secara bergantian, peserta yang hadir dalam diskusi akan membaca sebuah naskah yang diambil dari kitab-kitab dan mengutarakan pendapat mereka berdasarkan pengalaman-pengalaman pribadi tentang tema tersebut.

Malam itu, kami membahas tentang (1) tujuan Tuhan menciptakan manusia, (2) perjalanan sejarah umat manusia dan arahnya, (3) kesatuan umat dan (4) ajaran Bahá’u’lláh tentang keadilan. 

Bahá’u'lláh. Nabi masyarakat Bahai, sumber gambar darihttp://covenantstudy.org 

Pada tema yang pertama, dijelaskan dalam ayat berikut “Semua manusia telah diciptakan untuk melanjutkan peradaban yang telah maju” yang kemudian disusul tentang penjelasan mengapa Tuhan mengirimkan utusan-Nya, pada ayat ini “Tujuan Tuhan mengirimkan para Utusan-Nya kepada manusia ada dua. Pertama adalah untuk membebaskan anak-anak manusia dari kegelapan kebodohan dan membimbing mereka ke arah cahaya pengertian sejati. Yang kedua untuk menjamin perdamaian dan kesentosaan umat manusia dan menyediakan segala sarana untuk mendirikan perdamaian dan kesentosaan itu”.

Berdasarkan ayat-ayat tersebut, Masyarakat Bahai percaya bahwa sejarah perdaban manusia adaah sebuah sejarah panjang yang tidak dapat dilihat sebagai suatu kotak-kotak tersendiri satu masa dengan masa yang lain. Sejarah manusa adalah suatu gambaran untuk dari sebuah perjalanan yang terus berkembang hingga pada titik terbaiknya. 

Sebagaimana setiap utusan yang dikirimkan Tuhan menyesuaikan dengan keadaan manusia saat itu, dari berbagai masalahnya hingga kemampuannya mereka memahami Tuhan. Oleh karena itu, Masyarakat Bahai meyakini ajaran-ajaran yang bersifat universal dari nabi-nabi sebelum Bahá’u’lláh yang terangkum dalam the Golden Rule. Demikian, pada masa dimana Bahá’u’lláh diturunkan untuk manusia adalah dalam rangka mengajak persatuan manusia untuk mencapai kesejahteraanya.

Hal demikian ditegaskan pada tema diskusi yang kedua pada ayat yang disebutkan bahwa “Setiap zaman mempunyai masalahnya sendiri, dan setiap jiwa mempunyai cita-citanya yang khusus. Obat yang diperlukan dunia bagi penderitaannya sekarang ini tak mungking sama dengan obat yang diperlukan pada zaman-zaman berikutnya”. Digambarkan dalam pemahaman Bahai, bahwa umat manusia hari ini sedang mendekati tahap puncak dalam sebuah proses yang berlangsung selama ribuan tahun yang telah membawanya dari tahap kolektif masi bayi ke ambang masa kedewasaan. Makna kedewasaan ini ditafsirkan sebagi tahap dimana manusia akan menyaksikan persatuan umat manusia yang juga secara bersamaan persatuan juga merupakan tantangan paling besar umat manusia. Untuk tujuan tersebut, Bahá’u’lláh diutus.

Dalam mewujudkan kesatuan umat, Masyarakat Bahai meyakini bahwa mereka mendapatkan ruang dimana menyelidiki kebenaran dengan bebas dan mandiri. Dengan cara ini, dengan menyelidiki kebenaran manusia akan melihat pentingnya kesatuan umat manusia. Kebenaran akan menjadi sarana dalam mewujudkan persatuan dengan menghilangkan prasangka terhadap ras, kelas sosial, warna kulit, keyakinan, bangsa, jenis kelamis, dan tingkat peradaban materi yang sering kali merupakan penyebab perselisihan.


Jadi, apa yang kita pelajari dari perspektif ini? 

menarik bukan? dimana terdapat sebuah teologi yang jelas berpusat pada Tuhan, tetapi secara bersamaan sangat menjunjung tinggi kemanusiaan, atau humanitas kita. Menyisihkan perbedaan pada setiap jalan pencarian Tuhan dan menghormati setiap pencarian untuk menemukan kebenaran. berdialog dalam ruang yang disediakan untuk menguji dan berbagai pengalaman.

Keyakinan kita boleh berbeda. Pendapat tentang keyakinan tersebut tidak harus kita imani. Tapi, nilai dan pesan untuk saling menghormati mengajarkan kita untuk selalu saling berterima kasih.

1 komentar:

The Power of Emak-Emak, Avenger Social Club

02.57 Unknown 1 Comments

Persoalan kekerasan dalam rumah tangga bisa terjadi pada siapa pun. Perempuan maupun laki-laki. Penyelesaiannya juga tidak mudah. Kondisi bisa sangat kompleks. Bahkan perceraian bisa menjadi sangat tidak memungkinkan. Dari tindakan kekerasan suami terhadap istri (atau bahkan seluruh anggota keluarga perempuan), perselingkuhan, anak di luar nikah, hingga pelecehan. Di drama korea ini, persoalan yang sedemikian umum ditemukan, digambarkan dengan begitu lugas dan unik. Ya, drama the Avenger Social Club (ASC)!

gambar dari http://dramakoreaindo.com

Baru nonton sampai episode ke lima, membuat saya tertarik untuk menuliskannya. Pendeknya, cerita ini tentang empat anggota ASC yang memiliki persoalan masing-masing tapi dipertemukan dengan satu tujuan yang sama yakni “balas dendam”. ASC ingin balas dendam kepada suami yang jahat, siapapun yang melecehkan perempuan dan mereka yang suka membuli atau merugikan orang lain.

Eits, jangan mbayangin yang tidak-tidak, yang seram-seram, atau yang berdarah-darah. Sebagai ibu-ibu, mereka tidak memiliki banyak kekuatan untuk membalas dendam. Ketika mengungkapkan apa saja yang mereka miliki, hanya ditemukan uang, kesabaran, dan keberanian. Belum lagi, mereka adalah perempuan-perempuan baik, tidak pernah melakukan kejahatan, tidak cukup cerdas untuk menjadi licik, bahkan dalam beberapa hal mereka ceroboh. 

Oleh karena itu, ibu-ibu ini berpikir dengan keras bagaimana balas dendam dilakukan secara rahasia, tanpa ada seorang pun yang tahu, tidak melanggar hukum, tapi mampu mengirimkan para penjahat ke “neraka”. Demi mendapatkan ide untuk belajar tentang balas dendam, mereka membaca setumpuk komik!! Hahahahah...

Lalu bagaimana caranya menghadapi para lelaki licik itu? Dengan cara yang lucu, menyenangkan sekaligus bikin deg-degan drama ini pantas ditonton. ASC berusaha mendapatkan bukti-bukti kejahatan atau kelicikan “para penjahat”, melalui rekaman pengakuan mereka sampai pada bukti-bukti fisik suap. Sekali lagi jangan bayangkan mereka menggunakan baju-baju ala detektif, cukup mengggunakan keahlian memasak, merajut, membersihkan rumah, belanja, dan lain-lain. Bisa? Bisa....  

Berangsur-angsur, mereka memiliki keberanian untuk menghadapi laki-laki yang telah berbuat semena-mena. Berani untuk berkata tidak terhadap permintaan suami yang merugikan dan menyakiti. Berani untuk mengutarakan kekerasan yang dilakukan suami di depan publik. Berani mengambil kebijakan untuk melindungi diri sendiri dan orang-orang yang mereka cintai.

Kekuatan emak-emak ASC mengingatkanku pada film Where Do We Go Now. Film yang berseting di Libanon ini bercerita tentang perjuangan mak-mak untuk mencegah pertumpahan darah di desa kecil yang berada di tengah negara berkonflik. Apa saja dilakukan, termasuk hal-hal yang tidak masuk akal sekali pun! Seperti mengundang artis, agar para lelaki tidak terfokus pada perang. Hehe

Namun ada juga kekuatan mak-mak yang menyeramkan. Salah satu drama Inggris Sherlock Holmes yang rilis 2016 di BBC berjudul the Abominable Bride menceritakan suatu perkumpulan perempuan-perempuan yang mengalami tindakan tidak adil dari para lelaki dan memutuskan untuk menghukum mereka melalui sosok roh perempuan yang diciptakan. Bahkan Sherlock sendiri tidak berani untuk mengungkapkannya. Hmm...


Drama ASC yang dibintangi oleh Lee Yo-Won (sebagai Kim Jung-Hye), Ra Mi-Ran (Hong Do-Hee), Myung Se-Bin (sebagai Lee Mi-Sook) dan Jun (sebagai Lee So-Gyum) patut diacungi jempol. Semangat para perempuan!!!  

1 komentar: