Candi Penampihan, Water and Spiritualism

06.11 Unknown 1 Comments


sumber air jernih di sekitar Candi Pernampihan. lokasi ini ditutup agar tidak dikotori pengunjung
Penduduk menggunakan air untuk diminum dan kebutuhan konsumsi lainnya, maupun untuk acara ritual tertentu

Water is the symbol of purity of any spiritualism in religious traditions in any part of world. You will find water in the baptism in Christian Tradition, wudhu in Islamic Tradition, Mulang Pakelem in Hinduism tradition at Lombok, and any other rituals. In many holy books and other spiritual scriptures, we will find many verses about the importance of water for our living life. Unfortunately, human try to destroy the source of water as good as they try to preserve them, or even worst.
I was staying at Tulungagung, a small city in East Java for a year, and i will stay here forever. Yes, as a wife of one of workers in this city, i will be here. Oke, about water and spiritualism. Saya akan melanjutkan dalam Bahasa Indonesia ajah.... hehehe #nyerah mikir...
Kesan yang saya terima pertama kali ketika berkunjung di Candi Penampihan adalah hubungan yang kuat antara air dan spiritualisme. Kunjunganku baru pertama kali, sekalian jalan-jalan di desa wisata Kecamatan Sendang, Kabupaten Tulungagung. Nah, Candi Penampihan ini terletak di Desa Geger, desa yang sama lokasi taman bunga.
Prasasti di Candi Penampihan, terdapat tulisan Jawa Kuno
Jika dilihat dari bentuknya, candi ini sederhana saja, apalagi ukurannya, masih jaauuhh bangetz dibanding candi-candi Hindu lainnya di Jawa Tengah. Candi ini tidak berbentuk gedung, atau bangunan, hanya beberapa batu yang ditata berundak dan satu prasasti. Sebagian besar dari arca yang ada di tempat ini diangkut atau dipindahkan ke musium demi keamanannya. Tentang Ceritanya, nama Penampihan ini dalam bahasa Jawa, diterjemahkan penolakan. Ada seorang pangeran atau pembesar dari Ponorogo ingin melamar putri dari Kerajaan Kediri, tetapi sayangnya lamaran itu ditolak, kemudian alih-alih dia pulang ke Ponorogo, dia memilih untuk mencari tempat peristirahatan dan bertapa serta dibangunlah candi dan prasasti.
Setelah pintu kecil yang dilewati pengunjung, itu adalah halaman pertama dimana prasasti Trinulad berada, terdapat cerita yang ditulis dalam bahasa jawa kuno bertahun 820 C atau 898 M. Di bawah prasasti Trinulad terdapat altar dari batu endesit berdenah lonjong. Di depan altar, terdapat arca bima.
Lokasi candi ini sangat tenang hanya suara air gemericik deras yang membuat suasana menjadi semakin sendu. Di belakang candi, terdapat dua kolam yang dipisahkan dengan jalan kecil menuju ke reruntuhan candi. Kolam air ini sangat jernih dan ada beberapa ikan di dalamnya. Kata penjaga candi, seorang ibu, kolam ini akan menunjukkan kondisi di jawa, jika terdapat bencana atau petanda buruk lainnya, maka kolam akan mulai keruh. Di bagian reruntuhan candi, terdapat beberapa pohon besar yang membuat suasana menjadi teduh. Tidak banyak yang tersisa dari candi, jadi kalau dilihat dari bawah .. atau lokasi dimana prasasti berada, maka reruntuhan ini tidak nampak berarti.
kolam jernih yang terletak di antara prasasti dan reruntuhan candi

Seperti layaknya candi lainnya, candi ini berapa di pegunungan dan dipenuhi dengan pohon-pohon dan tanaman hias. Sehingga mempercantik bangunan dan tempat istirahat lainnya. Ada beberapa pondok makan yang menawarkan beberapa menu seperti nasi pecel, mie ayam dan bakso.
Lokasi ini menjadi sangat menarik bagi saya karena terdapat sumber air yang sangat deras di sini. Di dekat candi dibangun petilasan dimana air jernih itu mengalir deras. Air berasal dari pegunungan, saking jernih dan bersihnya, dapat langsung diminum. Sayangnya, kadang pengunjung tidak berhati-hati dan membuah sampah sembarangan sehingga mengotori air tersebut. Karena itu, penduduk membuat semacam selokan yang diplester kanan kiri untuk mengamankan arus air hingga dapat sampai di perkampungan tanpa dikotori. Penduduk juga memberi plang pemberitahuan kepada pengunjung untuk tidak membuang sampah di aliran air dan tidak mengotorinya. Aku pun mengisi ulang aqua yang aku beli dengan air dari sini, dan memang segar. Rasanya sangat beruntung penduduk yang dapat menikmati air sesegar ini setiap hari. Di kota, orang-orang harus membeli air minum, dan juga air bersih lainnya. Di sini, air berlimpah ruah dan dikelola sebaik-baiknya oleh penduduk setempat.

warga menempelkan papan peringatan agar pengunjung tidak membuang
sampah di air
Sebagai simbol kesucian, air seharusnya dijaga kemurniannya. Tetapi saat ini, air tercemar oleh banyak sisa perindustrian dan sampah-sampah yang dihasilkan oleh manusia. Sungai menjadi keruh sehingga tidak dapat dikonsumsi, begitu juga dengan laut yang dipenuhi dengan sampah plastik. Dengan jumlah air bersih yang sedikit dan kebutuhan air bersih sangat tinggi, maka jadilah dia sesuatu yang diperjualbelikan. Andai saja, air sebagai simbol kesucian itu juga dapat diinternalisasi manusia dalam kehidupan sehari-hari, untuk menjaga kebersihannya, kejernihannya, dan kemurniannya sehingga menjadi berkah alam semesta. 

Reruntuhan Candi Penampihan, ,, ignore cewek cantik yang sedang pusing ini

1 komentar:

Sambel Goreng Rambak, Khas Lebaran

05.42 Unknown 1 Comments

sambel goreng rambak ala semarang

Opor dan sambel goreng adalah dua sayur yang paling sering disajikan dengan ketupat pada saat lebaran tiba. Kupikir kedua menu itu akan mudah ditemukan di semua wilayah Indonesia, secara itu sudah menjadi tradisi turun temurun, bahkan masuk iklan televisi saat-saat menjelang idul fitri. Kalau ketupat dan lontong sih iya,,, di setiap rumah-rumah di Jawa akan menghidangkan kedua makanan pokok tersebut untuk menyambut tamu yang berkunjung untuk berlebaran. Tapi tidak untuk sayur opor dan sambel goreng. Di Jawa Tengah, kedua menu ini wajib ada dengan berbagai versi gaya dan campuran di dalamnya. Tapi bumbu intinya tetep sama. Nah, di Jawa Timur tidak demikian, ada berbagai jenis sayur lainnya yang menjadi pendamping kupat dan lontong. Tidak melulu opor dan sambel goreng.
Di Tulungagung, tempat aku tinggal sekarang (aku asalnya Semarang, jadi menemukan banyak perbedaan selera jateng – jatim), sayur yang menjadi pendamping ketupat dan lontong adalah sayur lodeh. Apapun olahan sayur yang menggunakan santan, orang-orang di sini menyebut dengan lodeh. Jika bahan yang digunakan adalah ayam atau daging (dengan santan tentunya), maka disebut dengan Lodho. Saat pertama kali mencicipi lodho, pada dasarnya bumbu dan rasa sama dengan opor, hanya saja lodho pedas dan ayamnya pun harus dibakar terlebih dahulu sebelum dicampur dengan kuah. Lombok yang digunakan adalah cabai japlak (kecil orange warnanya) utuh (resep lodho nyusul yach...). Adapun lodeh yang juga dijadikan temen ketupat dan lontong ini pun bermacam-macam, ada lodel kacang panjang, lodeh kacang tolo, lodeh nangka muda, dan lain sebagainya. Begitu juga di Bojonegoro, ibu mertuaku memasak lodeh ayam dan kakak iparku menyajikan semur ayam. Lodeh ayam ini juga mirip opor tapi agak pedes, mirip lodho tapi ayamnya tidak dibakar.
rambak dari semarang aku bawa ke bojonegoro
gedenya  sama dengan lebar badanku... hehehe
Aku mau sajian yang berbeda di rumahku Tulungagung dari kebiasaan setempat, aku impor deh rambak kulit sapi dari Semarang. Sebenarnya, Tulungagung juga memproduksi rambak, hanya saja rambak yang dimaksud sudah dalam bentuk kerupuk dan dibumbui, gurih dan renyah rasanya. Kerupuk rambak Tulungagung bisa sih disayur menjadi Sambel Goreng, tapi hasilnya kecil-kecil dan mempes, tidak segar. Karena memang kerupuk rambak Tulungagung, dibuat untuk lauk bukan diolah menjadi sayur. Berbeda dengan kerupuk rambak Semarang (ada juga kerupuk rambak jogja), yang diproduksi untuk disayur sehingga berbentuk lembaran tebal, tapi tidak bisa langsung dimakan seperti kerupuk biasanya. Teksturnya keras sehingga harus direndam dulu di dalam air beberapa menit sebelum dimasak. Kalau sudah kepleh-keplek atau empuk teksturnya, bisa dipotong atau diiris sesuai selera.
Lebaran kali ini, aku sengaja membuat sambel goreng rambak dengan resep dari ibuku. Agak nritik sih,,, karena setiap bahan harus digoreng dulu agar mantab.
rambak di atas wajan,,, dan ayamnya itu untuk opor
Bahan yang harus dihaluskan: Bawang merah, bawang putih, kemiri (bumbu A). (ukurannya sesuai selera, yang penting jumlah bawang merah lebih banyak dari bawang putih, menurutku sih,.,,,) owh ya... jangan lupa sisakan bawang merah dan bawang putih untuk diiris (bumbu B). Agar bumbu tidak hanya halus tapi juga ada yang irisan, tambah sedap. Plus siapkan bawang goreng renyah (bumbu C) untuk taburan ya...
Yang perlu disiapkan:
1)      kentang dipotong kotak-kotak kecil, digoreng sampai garing, benar-benar garing ya.. kalau tidak garing maka akan pecah dan rusak teksturnya ketika dimasak.
2)      Udang ukuran sedang, dihilangkan tutup kepalanya, dibersihkan isi ususnya, dicuci bersih (tidak perlu dikuas kulitnya) kalau terlalu besar bisa dipotong jadi dua, tapi kalau sudah ukuran pas, oke utuh aja udangnya. Digoreng sampai berubah warna dan tiriskan.
3)      Lombok merah keriting, aku pakai seperempat kilogram (banyak bangetz ya.. tapi nggak pedes juga, hehehehe,, di tempat mertua lombok merah keriting panen sendiri dan lebih pedas rasanya dari pada yang ta pakai beli dari pasar ini), dipotong-potong dan dimasak dengan air (digodog) hingga empuk, tiriskan, uleg sampai halus.
4)      Lombok merah besar, bersihkan dari bijinya, kemudian iris miring tipis-tipis.
5)      Pete digoreng setengah mateng.
6)      Santan kental dan santan encer


Oke sekarang cara masaknya:
-          Goreng lombok merah besar yang sudah diiris miring itu sampai benar-benar layu dan matang. Memang agak lama sih... tapi jangan sampai gosong juga, jadi kasih minyak yang agak banyak, biar nggak gampang gosong.
-          Setelah benar-benar layu, masukkan bumbu halus (bawang merah bawang putih dan kemiri) dan bumbu yang diiris (bawang merah dan bawang putih), jangan lupa bumbu pelengkapnya, daun salam, lengkuas dan sere.
-          Masukkan lombok merah ulek ,, terus digongso ya,,, diosreng-osreng gitu.,,, jangan sampai gosong... nah... kalau sudah bau wangi sedep-sedep gitu, santan encer bisa dimasukkan wajan. Jangan banyak-banyak ,,, jangan sampai tumpah hehehehe
-          Kemudian, kalau sudah mendidih masukkan kentang, udang, dan rambak. Lagi-lagi... jangan lupa dibumbuin, garam dan gula jawa. (kata ibuku sih gula jawa lebih enak dari pada gula merah, agar lebih sedap dan gurih).
-          Yupz... tunggu mendidih,, dan masukkan santan kental. Aduk-aduk terus, tunggu sampai menyusut santannya dan terserap oleh rambak, dicicipi.. siapa tahu kurang pas.
-          kalau suka kuah banyak juga bisa, tapi dibuat nyemek-nyemek juga sedaaaappppp.
-          Setelah matang, angkat pindahkan di mangkok dan taburi bawang goreng. Hehehehe
-          Siap disajikan.

Sampai di sini dulu yaaahhh resep sambel goreng rambaknya. ... bisa disajikan dengan kuah apa saja, mau opor, Lodho, atau lodeh, tetep lezat maknyuzzz...

See you!!!
makan bareng dengan tetangga dan sahabat.... :)


1 komentar:

Natural Conservation Based on Religious, Universal and Traditional Knowledge

05.20 Unknown 1 Comments

The attempt of natural conservation has strength opportunity to sustain the continuity of traditional knowledge in balancing with universal knowledge should be based on spiritual/religious motive. The comprehensive effort of natural preservation can not be separated from economic, social, and politic issues. So, the religious and traditional framework will be an important instrument to natural conservation. Even the challenge also founded in the religious realm, but hopefully the awareness of theological teaching on nature especially as a balancing of cosmology will become an observed consideration.
How to preserve turtle, eagle, natural food bunch, climate, water, forest and other will be so difficult in the trapping of the capitalistic system. Technology and science do not mean the only cause of distraction of nature. Such as Scott told of “one of the obstacles to this engagement, however, is the rapid rate of cultural change and modernization in Malaysia, especially between 1980 and 2011, which has replaced many local customary property regimes with statist and capitalist approaches to resource harvesting, consumption, and wealth accumulation (Scott 1969)”
The aim of scientific knowledge to ‘control’ nature in order to get ‘advantage’ especially for big production in transferring it to capitalistic values that are the most caused by crisis in environmental balance. In the same time, this is also ‘crisis spiritual’ as human life.
So, I agree as Michael Northcott noted from Rappaport that “a postmodern hybrid between local and universal knowledge, traditional ritual and conservation practice in which conservation practices are the occasion for new partnerships between traditional rituals and customary relationships and ecosystem science (Rappaport 1999: 456-59/2012, p. 3)
As Chan Eng Heng’s experience that has spiritual motive in her effort of turtle conservation will make her have a strong power of believe and practice. She revealed about “a sense of divine support for her work, as well as to her ability to engage the traditional religious beliefs of her supporters in the sacred status of turtles”. From her person effort become actor-network of conservation scientists, religionists, local communities. Need one can motivate and convince people for the important of natural sustainability.  
Matthew H. Amster also includes traditional knowledge as an instrument for “the nature of dialogue” by resacralization of aspects of nature in a Christian idiom (2008, p. 76). He explained how “traditional beliefs and environmental engagements in the post-Christian conversion era.” Mainly how religious beliefs and practices have positioned, and continue to reposition, the Kelabit vis-à-vis the natural world.

The question is how if there are any contradicted elements of local and universal knowledge, even so in ritual practices for maintaining ritual conservations? 

1 komentar:

The Challenge of Traditional Ecological Knowledge

05.38 Unknown 1 Comments

The effort to harmonize between traditional and modern knowledge in ecological perspective is challenging. This attempt not only needs looking after the tradition which is almost in contrast with modernity in the principal idea but also try to take advantage of modern science and technology for managing tradition, even natural ecosystem. The level of traditional ecological knowledge was identified through four aspects of culture, local knowledge of land/animals, land and resource management system, social institution and world view (Fikret Berkres at all., 2000, p.1257). Those aspects are related each other as a comprehensive society, even sometime in the certain cases precisely compete and resulting the changing worldview of life. One influential aspect is the role of modern communication as the effect of globalization that informs people how to be moderate in ‘imaging’ better life, indeed it is only about the advertisement. 
Fikret Berkes emphasize world view as an essential component of social mechanism. They wrote “world view or cosmology include basic belief pertaining to religion and ethics and structures observations that produce knowledge and understanding. It rounds out the knowledge-practice-belief complex that describes traditional knowledge” (Fikret Berkes at all., 2000, p.1258). However, even people aware that tradition and natural environment are important, but they still insist that modernization is more important because it can increase their economic needs. For that, many people move from village to the bigger city, expanding land for industries. In another hand, the most influential technology for changing worldview is television. Moreover, the internet is now easier to be accessed even in a rural area by phone. So, how to manage cultural internalization to preserve natural environment by traditional ecological knowledge as a worldview, especially in the context of many obstacles from modernizations and globalization process?
another challenge is forest problem, mainly in Indonesia also that told in the paper of Traditional Forest-Related Knowledge: Sustaining Communities, Ecosystems and Biocultural Diversity, “particular concern is the major threat to traditional forest-related knowledge in the region posed by the sustained drive to replace shifting cultivation by permanent commercial agriculture (especially oil palm), accompanied by efforts to deprive the forest dwellers and forest-dependent communities of their decision-making rights” (Lim Hin Fui, at all., 2012, p. 376). In this case, the writers clearly comment about deforestation and depletion of forest resources that erode traditional knowledge of Indonesia. Sirait added that “oil palm plantation development has already resulted in detachment of indigenous peoples from their customs and cultures because of individualization of ancestral lands, descendant group lands, and household lands. The land conversion process also creates conflict that damage community solidarity and local institutions” (Sirait 2009).

So, how to grow an appreciation of forest-dependent communities that rely on traditional knowledge and skills to protect forests? In another hand, the change and use other resources also more expensive for people. For example, it is more difficult to convert from using of oil palm to butter or coconut oil, only for rich people can do, but not ordinary even poor people. It is also about people habit that oil palm is used. How to make ‘conversion’ easy and solve the problem of the environment but also in the difficult economic situation?

1 komentar: