Politik Opium, Politik Monopoli Kolonial Belanda

01.17 Unknown 1 Comments

Abdul Wahid menyampaikan sejarah Opium pada masa Belanda
Penyalahgunaan narkotik dan obat-obat berbahaya atau biasa disebut dengan narkoba merupakan masalah nasional yang tidak hanya berhubungan dengan bisnis penyelundupan dan pasar gelap. Secara multi-nasional, penyelundupan narkotika berhubungan dengan politik internasional yang secara langsung maupun tidak. Sebagaimana sejarah menyebutkan tentang pendistribusian opium pada masa kolonial berdampak serius terhadap kondisi politik negara-negara jajahan. Hal itu terekam dalam peristiwa Perang Candu (1839 - 1842 dan 1856 – 1860 M) di Cina dan negara basis opium lainnya seperti Malaysia dan Singapura. Begitu juga di Hindia Belanda (Indonesia), monopoli bisnis opium juga diterapkan oleh Pemerintah Kolonial, namun tidak seperti di Cina, opium di Jawa tidak memberikan dampak hingga dalam bentuk pergerakan kemerdekaan. Mengapa demikian? Meskipun begitu mengapa opium tetap penting didiskusikan?
Abdul Wahid, SS., M.Hum., M.Phil., Dosen Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada dalam presentasi di Wednesday Forum (12/3) di CRCS, menceritakan tentang kebijakan opium di Jawa pada tahun 1870s-1930s. Menjawab pertanyaan di atas, Wahid menjelaskan bahwa opium adalah komoditas mewah bahkan sebelum Bangsa Eropa masuk dalam kepulauan nusantara. Kemudian, Belanda memonopoli perdagangan opium sejak pertengahan abad 17. Namun demikian, Wahid menegaskan, opium tidak pernah ditanam di Jawa, seluruhnya diimpor dari India dan Turki yang pendistribuasiannya didominasi oleh Inggris. Sebagai bisnis yang sangat menguntungkan, pernggunaan opium di masyarakat meningkat dengan cepat, sehingga menuntut bertambahnya perusahaan cabang di berbagai negara.
Wahid membagi kebijakan opium oleh Pemerintah Kolonial Belanda menjadi tiga masa. Pertama, pada masa VOC ( Vereenigde Oostindische Compagnie- Kongsi Perdagangan Hindia Timur) the Opium Society (Amfioen Sociëteit) in 1745. Kedua, akhir masa kekuasaan VOC, mulai abad 19, Pemerintah Kolonial Belanda menerapkan pacthstelsel atau opium tax farming. Melalui Pacthstelsel, Pemerintah membuat kebijakan untuk mengontrol adminsitrasi bisnis dengan memberikan lisensi kepada pecandu atau agen-agen distribusi. Lisensi tersebut digunakan sebagai syarat izin resmi pembelian opium. Salah satu Pacthstelsel  berada di Semarang, yang mempunyai kewenangan terhadapan distribusi opium di wilayah Semarang dan sekitarnya.
Bisnis opium pun semakin meningkat dan berbahaya jika tidak mendapatkan kontrol yang kuat. Penghasilan terbesar pemerintah dari bisnis opium selama 99 tahun (1816-1915) terjadi pada tahun 1886-1895, sebesar 182,1 juta gulden. Kemudian memasuki abad 20, keuntungannya mencapai hingga 79 % dari penjualan opium sebesar 163,5 juta gulden. Oleh karena itu, Pemerintah Kolonial Belanda pun mengubah kebijakan dari bisnis opium yang bersifat perusahaan swasta menjadi milik negara. Pada abad 20, Pemerintah Kolonial Belanda secara langsung memonopoli opium (opiumregie).
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahkan sebelum Belanda memasuki Nusantara, opium sudah digunakan untuk beberapa tujuan, seperti penghilang rasa sakit dalam kebutuhan pengobatan, obat capek, dan kesenangan. Cara mengkonsumsinya pun dengan cara berbagai macam, seperti dimakan, diminum, dan dihisap. Hingga tahun 1870s, muncul kritik terhadap dampak penggunaan opium. Diantaranya meningkatnya jumlah pasar gelap dan penyelundupan, bertambahnya jumlah pengguna opium dari kalangan pribumi, dan berkembangnya masalah sosial, seperti masalah kriminal, kekerasan, korupsi, dan menurunnya kesejahteraan masyarakat pribumi. Secara tidak langsung, hal-hal tersebut berakibat pada rentan tindakan korupsi di kantor-kantor administrasi, degradasi kualitas  kesehatan masyarakat, dan munculnya ‘negara dalam negara’. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, negara mereformasi sistem administrasi opium pada tahun 1894-1915.
Setelah 15 tahun, sistem baru secara resmi diperkenalkan oleh Pemerintah Belanda untuk meningkatkan keuntungan dan tanggung jawab sosial atas bisnis opium. Di bawah sistem ini, pemerintah berusaha untuk mengkontrol rantai bisnis opium melalui beberapa tahapan. Pertama, pemerintah membangun pabrik modern pengolahan opium yang sudah distandarisasikan. Kedua, pemerintah menciptakan birokrasi yang mengelola opium secara modern, sehingga mampu menekan penjualan opium di pasar gelap yang dijalankan oleh mafia-mafia cina. Ketiga, pemerintah juga mengatur peredaran opium melalui kebijakan penentuan harga opium sekaligus sistem registrasi penggunaan opium. Keempat, pemerintah membangun angkatan militer anti-opium yang terdiri atas polisi dan angkatan laut yang bertugas menangani penyelundupan dan pasar gelap. Sistem tersebut memang mampu mengatasi masalah adminitrasi bahkan mendapatkan keuntungan yang besar, namun tidak menyelesaikan masalah sosial yang disebebkan oleh opium.
Sistem monopoli dalam bisnis opium oleh Pemerintah Belanda, sebagaimana di atas, dikenal dengan the opiumregie. Pada masa tersebut, hanya pengguna opium yang teregistrasi dalam adminsitrasi pemerintah Belanda yang boleh membeli dan menggunakan opium. Namun demikian, sistem tersebut tidak bisa lepas dari manipulasi yang terjadi di kalangan pecandu. Nomor registrasi opium bisa digunakna pecandu lainnya ketika pemilik nomor tersebut meninggal. Nomor tersebuut bisa juga diperjualbelikan. Kampanye anti penyelundupan opium, menurut Wahid, sebenarnya sudah cukup efisien, meskipun dukungan terhadapnya mulai menghilang pada tahun 1930-an. Secara umum, berkurangnya angka konsumsi opium tidak hanya hasil dari kebijakan pemerintah, tetapi juga berbagai faktor internasional lainnya.
Opium menyebabkan masalah kesehatan sejak jumlah pecandunya meningkat. Sayangnya,  baru dari tahun 1915 dan 1926 dibangun rumah sakit anti-opium yang diprakarsai oleh organisais swasta semacam Anti-Opiumvereeniging (AOV). Pada tahun 1930, terdapat 21 rumah sakit/klinik yang meningkat menjadi 41 pada tahun 1930. Namun rumah sakit juga mengalami kesulitan finansial karena kurangnya dukungan dana dari pemerintah, panjangnya masa yang dibutuhkan untuk terapi bebas opium sekitar 20 hingga 40 hari, mahalnya biaya perawatan, sedangkan sebagian besar pasien pribumi berasal dari kelompok masyarakat dengan penghasilan rendah.
Namun, gerakan anti opium sayangnya hanya berpusat di Jawa, padahal, sebagian besar peredaran sudah mulai berpindah ke Sumatra dan pulau-pulau lainnya di nusantara. Komitmen politik untuk mencegah terjadinya penyelundupan pun dilakukan setengah hati. Pada tahun 1930, dalam the ‘opium squad’ hanya terdapat 207 laki-laki, yang hanya difasilitasi satu mobil, 38 sepeda, dan 8 kapal patroli, untuk mengawasi titik-titik penyelundupan opium di Jawa. Lebih buruk, sebagian aparat justru ikut membantu proses penyelundupan opium

Wahid berkesimpulan pemerintah kolonial tidak berhasil memecahkan masalah opium. Hal itu karena kapasitas pemerintah kolonial mengalami kendala baik disebabkan faktor internal maupun eksternal, khususnya faktor sikap ambivalen pemerintah dalam menangani opium. Hal itu karena ketidakmampuan pemerintah untuk berhenti mengambil keuntungan dari bisnis opium meskipun mendapatkan tekanan kebijakan internasinal dan meningkatnya permasalahan sosial yang disebabkan oleh opium. Tidak hanya bentuk penanganan yang setengah hati, yang hanya berpusat di Jawa, tetapi juga kegagalan pemerintah untuk mendisiplinkan aparatnya dari tindakan-tindakan kriminal yang mendukung  proses distribusi opium secara ilegal. Dengan demikian, Wahid menegaskan berkurangnya peredaran opium di nusantara tidak hanya merupakan capaian pemerintah kolonial tetapi juga atas pengaruh faktor-faktor internasional seperti tekanan kebijakan ekonomi dan traktat anti-opium antar negara.(Mahmudatul Imamah/CRCS UGM)

You Might Also Like

1 komentar: