Apakah Agama Mengajarkan Kekerasan?

20.44 Unknown 1 Comments

Ogoh-ogoh yang dibuat masyarakat salah satu desa di Kediri, pada perayaan Hari raya Nyepi. Ogoh-ogoh dikenal sebagai simbol demon yang akan dibakar setelah diarak keliling kampung. 
Agama tidak mengajarkan tindakan kekerasan, tetapi menekankan ketegasan, terutama dalam menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan kelangsungan hidup umat beragama. Dalam kondisi tertentu, kekerasan menjadi pilihan sebagian penganutnya.  Terjadi banyak perdebatan dalam membaca fenomena kekerasan atas nama agama. The theoritical approach to the impact of faith on political conflict by Andreas Hasenlever dan Volker Reittberg (2000) relevan untuk memetakan penyebab utama dan faktor-faktor pendukung bagaimana kekerasan terjadi. Pada teory tersebut, saya berpendapat, meskipun dalam logika pelaku kekerasan terdapat faktor-faktor agama yang melegitimasi tindakannya, namun saya lebih setuju bahwa faktor penyebab kekerasan yang paling dominan adalah faktor ekonomi  (distribusi yang tidak merata), politik (ketidakadilan), dan superioritas (identitas). Masalahnya adalah bagaimana cara mengukur keterlibatan agama dalam tindakan kekerasan sehingga bisa mengurai dan menentukan tindakan paling tepat?
Tindakan kekerasan ditengarai akibat dari pengertian teks agama yang membenarkannya sebagai upaya untuk mengikuti keinginan Tuhan. Paul B. Cliteur mengkritisi pendapat yang bersiteguh mengatakan bukanlah agama yang menyebabkan masalah, termasuk pendapat Spencer. Dia menegaskan bahwa agama pun harus dievaluasi karena terdapat teks-teksnya yang secara langsung maupun tidak menjadi motivasi tindakan kekerasan (Cliteiur, 2010, p. 210). Tentu saja, Paul menemukan beberapa ayat The Quran yang dinilai memakai kekerasan dan memiliki implikasi hukum dalam suatu negara, serta pada Deuteronomy yang berhadapan dengan deklarasi hak-hak asasi manusia (p. 212-214). Oleh karena itu, sangat masuk akal kalau dia berkesimpulan bahwa ‘religious terrorism as an important manifestation of religious evil’. Namun demikian, Paul ignores the context, not only in the text itself but also the understanding of the reader. Jika memang terdapat kekerasan dalam agama, mengapa tidak seluruh pengikutnya melakukan kekerasan yang sama. Sebuah teks pun bebas nilai, sehingga siapa pun yang membaca pasti akan memiliki pengertian yang berbeda-beda. Oleh karena itu, tidak serta merta hanya agama saja yang menjadi faktor tindakan kekerasan, namun dibutuhkan gambaran konteks pembaca atau kondisi nyata kenapa teks menjadi motivasi kekerasan. 
Konflik yang terjadi memiliki berbagai isu yang muncul dipermukaan, sehingga terkadang menyebabkan kerancuan untuk memilah dan menentukan penyebab utama konflik. Untuk memetakan seberapa besar peran agama dalan sebuah konflik, maka terdapat beberapa cara pandang untuk melihatnya lebih jelas, yakni primordialist, instrumentalist, dan konstruktivist (Hasenclever and Rittberger, 2000,p. 641-644). Penggunaan theoritical point of view tersebut tergantung bagaimana perhatian penelti terhadap sebuah peristiwa based on the issues in contention and conflict behafiour ranging from peachful accomodation to aggresive self-help (p. 642). Primordialist percaya bahwa penyebab utama konflik berasal dari agama, sedangkan bagi instrumentalist, agama hanya secara kebetulan berada di tengah konflik, dan konstruktivist menekankan bahwa agama ikut mengintervensi konflik. Cara pandang ini memiliki kelebihan untuk menjelaskan faktor-faktor penting yang puncul pada konflik. Namun, cara pandang ini juga memiliki kekurangan yakni tidak terdapat indikasi agar pilihan penentuan cara pandang paling tepat ditentukan. Indikasi-indikasi primer seharusnya bisa mendapatkan penyebab utama dan penyebab pendukung sebuah konflik, sehingga peneliti tidak terus-terusan berdebat pandangan mana yang paling tepat.   
Kekuasaan maupun diskursus yang berada di sekitar konflik, memiliki peran penting untuk membaca konflik lebih detail. Oleh karena itu, mengukur keterlibatan agama dalam sebuah konflik, selain ketiga cara pandang tersebut, ada dua hal lain yang membedakan konflik, yakni conflicts about interest and conflicts about value (p. 652). Namun, Hasenclever menilai konflik tentang nilai lebih cenderung mendorong tindakan kekerasan daripada konflik tentang interest (p. 653). Dia menjelaskan tiga alasan tentang hal itu, yakni individual identity, regarded as moral justified, and reinforced by the belief that compromises are impossoble. Tetapi menurut saya justru sebaliknya, keberadaan konflik nilai memang menjadi motivasi tindakan kekerasan paling efektif, karena berkaitan dengan emosi. Namun, konflik tentang kepentingan menjadi agenda utama yang seharusnya diselesaikan terlebih dahulu. Saya percaya bahwa konflik akan sulit lepas dari pengaruh kekuasaan (kepentingan) yang membentuk diskursus (nilai) dan bermain di dalamnya.
Oleh karena itu, penyebab kekerasan yang seharusnya berada di luar ranah agama (interest), bisa menjadi isu konflik agama (nilai), karena akan semakin mengancam keberadaan atau kesejahteraan umat beragama jika tidak segera diselesaikan. Terdapat beberapa teori yang menjelaskan tentang akar kekerasan yang berasal dari agama, dua di antaranya Charles Kimball dan Hector Avalos. Keduanya secara umum menjelaskan bahwa dalam hal-hal tertentu, agama memang memiliki potensi untuk menjadi sumber kekerasan. Charles Kimbel fokus pada lima hal yang membuka kemungkinan agama menjadi jahat, salah satunya teks dan penafsiran teks sebagai absolute truth claims, sehingga menghasilkan cara pandang superior dan inferior dan mengakibatkan konflik (Kimbel, 2008, p. 44). Di sisi lain, Hector Avalos menekankan peran agama yang menciptakan sesuatu yang harus diperebutkan (scarce) sehingga memicu tindakan kekerasan bahkan konflik untuk mempertahankan hal-hal tersebut (Avalos,p.103) seperti inscripturation, sacret place, group privileging, and salvation. Saya mengambil benang merah terkait kedua teori tersebut, bahwa sumber utamanya adalah kitab suci. Meskipun demikian, pemahaman dari kitab suci tidak bisa lepas dari realitas pembaca. Realitas itulah yang seharusnya juga menjadi bahan pertimbangan, untuk mendapatkan gambaran logika pelaku kekerasan. Walaupun saya tetap yakin tindakan kekerasan tidak dibenarkan dalam bentuk apa pun, kecuali dalam usaha untuk mempertahankan diri. Realitas itu yang kadang tidak bisa dipisahkan dengan pandangan agama, seperti rasa marah dan kekecewaan terhadap ketidakadilan, dominasi kekuasaan yang menekan, dan kepercayaan bahwa dunia ini dalam situasi ‘perang’.
Logika pelaku tindakan kekerasan atas nama agama tidak hanya berkisar tentang teks yang diinterpretasikan secara literal, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana mereka memandang realitas dalam pemahamannya sebagai seorang yang beriman. Misalnya, Charles Kimbal memberi contoh tindakan kasus Michael Griffin who shot and killed dr. David Gunn outside an abortion clinic in Paninsula (Kimpal, p.44-46). The point is bukan hanya mengapa mereka melakukan itu karena kitab suci menjelaskan tidak diperbolehkan pembunuhan (aborsi dinilai sebagai pembunuhan), tetapi realitas yang ada adalah bisa jadi jumlah tindakan aborsi meningkat tanpa ada tindakan pengendalian dari pemerintah. Apalagi, jika alasan tindakan aborsi tersebut bukan karena untuk melindungi ibu yang mengandung, tetapi akibat dari  seks bebas yang semakin banyak. Oleh karena itu, terdapat sikap marah yang dirasakan Griffin, dan mendorongnya melakukan pembunuhan, yang menurutnya sebagai tindakan religious. Meskipun hal itu tidak dibenarkan sama sekali, namun perlu diperhatikan ‘penyebab utama’ juga harus diselesaikan.
Terkait dengan penyebab utama dan bagaimana tindakan kekerasan dilakukan, Mark Jurgenmeyer memberikan penjelasan yang menarik dan sistematis. Dia menggambarkan tindakan kekerasan atau terorisme sebagai suatu theater of terror. Hal tersebut karena terorisme merupakan produk yang berdasarkan logika internal, pertimbangan matang, penuh perhitungan, bertujuan tertentu dan yang jelas bukan tindakan serampangan. (Jurgensmeyer, 2000, p. 123). Pertimbangan matang tersebut meliputi aksi terorisme sebagai simbol, yang menjadi ruang untuk menyatakan political statemen (p.124) and  public symbole as setting the stage (p. 125) seperti normal goeverment operation and major trasportation system (p, 126). Walaupun penjelasan Jurgensmeyer menunjukkan bahwa aksi terrorist berupaya untuk mempertontonkan kelemahan kekuasaan pemerintahan, namun dia tetap mempertimbangkan hal yang lebih signifikan, yakni sebagian besar kasus teroris adalah ilusi, ‘the movements prepertrating the acts have enermous power and that ideologies behind them have cosmic importance’ (p. 132-133). Selain itu, aksi teorisme juga mempertimbangan audiens, by the ability to seize the attention if the public through the news media is precisely the point (p.140). Dengan analogi sebuah panggung teater, maka realitas yang ditemukan adalah, terdapat persaingan kekuatan maupun kekuasaan yang menyinggung identitas keagamaan, sehingga melahirkan aksi kekerasan dan konflik. Jurgenmeyer sedikit sekali atau bahkan tidak sama sekali mengungkap tentang keterlibatasn penafsiran teks yang lebih dominan mendorong tindakan terorisme. Dia lebih menekankan argumentasinya, terdapat kepentingan yang lebih signifikan untuk terorisme hingga tindakan tersebut dilakukan dengan perencanaan yang sadar.
Untuk melengkapi penjelasan Jurgensmeyer, terdapat analisis yang menjelaskan secara lebih normative tentang motif agama dalam aksi kekerasan, yakni Scott Appleby in The Ambivalence of the Sacred: religion, Violence and Reconciliation. Dalam buku tersebut, walaupun Scott menerangkan tentang ambivalensi yang ditemukan dalam agama. Namun begitu, dia menekankan agar tidak terjadi kesalahpahaman, bahwa yang dimaksud adalah  ‘the ambivalence need not reside in the sacred itself, of course, only in the imperfect human perception of the sacred’ (Appleby, 2000, p. 30). Dengan menyebutkan ‘living tradition’, dia menjelaskan, terkadang agama dalam posisi ambivalensi saat ‘seeking the good in the nexus between inhereted wisdom and the possibilities in the present momen’ (p.33). oleh karena itu memiliki kemungkinan, untuk tidak hanya menyalahkan sisi negatif dalam ambivalensi terhadap teks sebagai penyebab kekerasan, tetapi juga menguatkan sisi positif untuk menguatkan diri dan memiliki alternatif menyelesaikan masalah. 

You Might Also Like

1 komentar: