Kemah Lampion Borobudur Part 1

00.25 Unknown 0 Comments

Borobudur dari Putuk Setumbu malam sebelum perayaan Waisak
Siang sangat terik sekali, sedang bus yang aku tumpangi tidak segera meneruskan perjalanan. Setengah jam berlalu, tapi tidak ada tanda-tanda bertambahnya penumpang, bahkan sopir maupun kernet juga tak nampak. Aku memaksakan melihat lingkungan terminal melalui jendela. Sepi, hanya beberapa orang berseragam mondar-mandir. Dua bus ke jurusan Yogyakarta sudah berangkat, tapi bus ini, bernafas pun sepertinya tidak. Hampir seluruh penumpang turun, ketika bus sampai di terminal Tidar Magelang. Jika seandainya aku tahu akan selama ini, seharusnya aku memilih turun dan pindah bus. Tapi sudah terlambat, tak ada pilihan selain duduk menunggu.
Aku hubungi teman di Jogja, seharusnya jam satu siang atau selambat-lambatnya setengah dua aku sudah sampai di rumah temanku itu. Kami berencana untuk mengunjungi perayaan Waisak di Borobudur. Jam di hapeku menunjukkan pukul 12 lebih 45 menit, sangat tidak memungkinkan. Masih dibutuhkan satu jam dari Magelang hingga terminal Jombor, itu pun jika tidak macet dan lain-lain. huft bus ekonomi.
Waktu aku habiskan dengan melamun. Demi acara hari ini, aku kabur dari rumah dan meninggalkan beberapa hal penting. Ternyata, karena mungkin tidak mendapat restu (hehehe), perjalananku benar-benar kacau. Aku tertinggal travel yang sudah aku pesan jauh-jauh hari. Aku kehabisan tiket bus dan travel lain yang biasa aku gunakan. Tidak ada kemungkinan untuk bus patas. Semua penuh dan satu-satunya pilihan adalah bus ekonomi. Aku banyak memiliki kenangan buruk dengan bus ekonomi. Pernah suatu malam aku harus menempuh perjalanan enam jam Jogja-Semarang, yang seharusnya bisa ditempuh tiga jam. Dari persoalan macet, ngetem di terminal, kerusakan mesin, oper ke bus lain, hingga bocor karena hujan lebat. Hampir mati pingsan di bus saking gemesnya. Aku tengok kembali sekeliling bus, masih sama, tidak ada tanda-tanda bus bergerak.
Peringatan Waisak di Candi Borobudur banyak aku dengar sebelumnya. Dari berbagai ritual yang dihadiri oleh sangga-sangga Budhis di Indonesia sampai pelepasan seribu lampion. Nah, yang terakhir itu menarik perhatianku. Aku membayangkan akan membangun tenda di kompleks borobudur dan ikut menerbangkan satu lampion dengan teman-temanku nanti. Aku pernah melihatnya meski lewat film. Ada satu adegan di Film Java Heat, ketika ribuan orang berkumpul di halaman Candi Borobudur dan menerbangkan lampion-lampion itu bersamaan. Indah sekali. Ramai sekali. Aku seperti sudah berada di tengah-tengah keramaian itu. Apa pun yang terjadi aku harus sampai. Batinku. Bus bergerak perlahan.
Temanku mengirim pesan. Dari pada telat sampai Jogja, aku diminta untuk berangkat sendiri ke Candi, tanpa harus mampir ke rumah panitia. Aku menyanggupi dan mulai bertanya bagaimana caranya agar sampai ke Candi. Semua orang menjawab. Dari naik bus arah sana sini. Haduh, aku makin bingung, tidak tahu harus mengikuti pendapat siapa. Tiba-tiba ada yang menawariku ojek, bapak-bapak penjual buku. Langsung saja aku iyakan, tanpa peduli berapa ongkos yang bapak itu minta. Yang penting aku ingin segera sampai di Candi.
Akhirnya kami turun tepat di mall yang terletak di jantung Kota Magelang, tidak terlalu kuperhatikan, judul mallnya. Kami berjalan ke arah tempat bapak itu memarkinkan motornya selagi dia berjualan buku di bus-bus. Dia berpesan, kalau akan membawa aku melalui jalan yang tidak biasa dilewati orang atau jalan umum ke arah Candi. Tapi jalan yang biasa ia lalui, karena rumahnya searah dengan candi. Bagiku tidak masalah mau lewat jalan mana pun, yang penting sampai ke Candi.
Ternyata bapak itu benar, kami melewati gang-gang rumah, pematang sawah, perkebunan pepaya, jalan-jalan berliku naik turun seperti melewati lembah-lembah, dan sungai-sungai kecil. Selama perjalanan, bapak itu bercerita, ia memiliki dua anak perempuan, yang paling besar lulus SMP tahun ini dan mendapatkan peringkat ke-17 dari 300-an siswa di sekolahnya. Bapak itu menanyakan padaku nama sekolah yang baik di Jogjakarta. Sayangnya, aku tidak tahu apa pun tentang Jogja, selain kos dan kampus. Haddeehh...
Bapak itu parasnya seperti familiar, meski sebenarnya mungkin baru pertama kali aku bertemu dengannya. Dia berperawakan sedang, tidak terlalu gemuk, tidak juga kurus. Berkulit gelap dengan bentuk wajah yang keras namun tetap senyum dengan ramah. Nada bicaranya pun pelan dan sopan, dengan bahasa jawa halus, seperti orang magelang lainnya yang aku kenal. Bahkan, dia sempat memberiku berbagai nasehat, termasuk segera menikah, aku hanya tertawa kecil.
Sekitar setengah jam perjalanan, cukup jauh sebenarnya. Mungkin karena baru sekali aku melewatinya. Bapak itu menunjuk bukit yang berada di sebelah Barat Daya jalan yang kami lewati. Kata bapak itu, bukit itu dikenal dengan Menoreh. Aku langsung termangu-mangu sebentar. Menoreh adalah kata yang paling membuatku semakin ingin tahu. Aku membaca 4.480 halaman untuk satu jilid berjudul Api di Bukit Menoreh. Aku selalu membayangkan di mana letaknya. Dan beberapa tempat yang juga disebutkan dalam cerita tersebut, seperti Pajang, Mataram, Sangkal Putung, Jati Anom, dan lain-lain.
Jalan yang kami lalui menjadi semakin padat, padahal itu adalah jalan alternatif, hanya sedikit yang tahu jalan itu kecuali warga setempat. Sampai di dekat-dekat candi, suasana semakin panas dan padat. Macet di mana-mana, untuk bergerak satu meter saja hampir lima menit menunggu. Bapak itu tetap sabar, tidak mengeluh, mencarikan jalan yang lebih baik, bahkan muter-muter sebentar untuk mencarikanku ATM, sebagaimana permintaanku. Sementara itu, bahkan aku tidak tahu harus turun di mana dan apa yang harus kulakukan selagi menunggu teman-temanku yang lain.
Bapak itu menurunku di dekat pintu gerbang masuk Candi. Setelah membayar dan berterima kasih, aku berjalan melewati parkiran di wilayah dalam Candi. Banyak orang berlalu lalang, termasuk rombongan biksu-biksu yang memakai atribus khusus. Aku memilih untuk singgah sebentar di warung es dawet. Penjualnya ibu yang mungkin umurnya 30-an, gemuk berkerudung dan mengenakan pakaian panjang dengan lemek di pangkuannya. Es dawet berwarna merah dan hijau, air santan dan gula merah, cukup menyegarkan, disamping perutku yang juga lapar.    
Aku duduk sambil melihat-lihat orang lalu lalang. Mereka sepertinya dari berbagai daerah, aku mendengar dari logat bahasa yang digunakan, dan beberapa bentuk fisik yang mudah dikenali. Siang begitu amat terik, namun aku meminum dawet dengan tetap memperpanjang waktu berharap temanku akan segera datang. Dengan demikian, aku tidak seperti orang hilang macam ini.
Aku putuskan mencari mushola untuk sekedat beristirahat. Aku tanya kepada pedagang dawet dan  dia pun memberi petunjuk. Ternyata aku berjalan kearah yang sama awal aku masuk di halaman parkiran Borobudur. Berjalan berhati-hati menyelinap di tengah-tengah kemacetan dan keramaian, mushola yang aku temukan terlalu sempit tanpa ada lubang colokan yang bisa digunakan untuk mencharger netbuk maupun hp. Aku melanjutkan perjalanan, ratusan warung dibuka, tapi sebagian besar hanya bakso, mie ayam, dan nasi rames. Tentu saja, di warung seperti itu juga akan kesulitan mendapatkan colokan listrik. Akhirnya, aku menentukan mengantri di salah satu warung ayam goreng Olive, yang terletak dekat dengan pertigaan jalan menuju arah candi.
Mengantre hampir satu jam, memilih tempat yang berdekatan dengan colokan listrik, menggeser meja, dan membuka netbuk. Aku sebenarnya tidak terlalu lapar meskipun belum makan sedari pagi. Aku hubungi temanku lagi. Jam setengah dua, sedangkan mereka baru berangkat dari Jogja jam dua. Akan menjadi penantian yang cukup panjang.

Aku buka facebook dan sedikit bermain-main. Tiga jam sudah berlalu, enam orang sudah bergantian menempati kursi di meja yang sama denganku. Tidak ada kabar bahwa teman-temanku itu akan nampak. Hanya sesekali salah satu dari mereka menelponku. Menyuruhku memesan makanan lagi. Huft rasanya sudah hampir meledak kepalaku menunggu. Anyway... gak da pilihan lain. Seperti tidak surut-surutnya sepeda motor dan mobil terus mengalir, begitu juga dengan orang yang lalu lalang. MENUNGGU...

You Might Also Like

0 komentar: