Agama dan Relasi Sosial

20.39 Unknown 1 Comments


Malam tidak nampak semakin larut. Cahaya lampu menyela lebih cantik dibanding  terang mentari, di Jogja. Jalan-jalan juga ramai. Meski berkali-kali berkunjung ke kota ini, aku tak kunjung mengurangi kekagumanku. Seperti negeri dongeng buatku. Kotanya, tamannya, sekolah-sekolahnya, orang-orangnya,,,,tapi yang paling membuatku tertarik di sini, adalah bukunya. Selalu,,,,,bukunya.
Misi di siang hari sudah terlaksana. Alhamdulillah. Meski agak belepotan di sana sini, tapi tidak berantakan amat, semoga. Sebelum pulang pada keesokan harinya, ada undangan makan malam dan sedikit reoninan teman lama, mungkin pertama kali bertemu tiga atau empat tahun yang lalu di Jaringan Islam Kampus Jogjakarta.
Ternyata jalan yang harus aku tempuh dengan salah satu teman yang kuminta menjemput di lokasi kos teman yang kutumpangi cukup jauh. Banyak perempatan yang kami lewati. Aku tidak tahu arah mana sepeda motor itu berjalan. Entah ke barat, ke timur atau selatan. Ikut saja percaya bahwa sebentar lagi ada makanan menanti sedang perut laparku sedang lapar. Sesekali memperhatikan café, warung, gedung, hotel, toko, rumah-rumah dan taman-taman. Membayangkan, suatu kali nanti saya bisa tinggal di kota ini, meski tidak selamanya, dan akhirnya aku berkesempatan setelah satu bulang sejak kunjungan ini.
Sepeda motor berbelok, di sisi jalan, kemudian masuk gang kecil di antara rumah-rumah. Berhenti di depan rumah, disambut empat orang, dengan hmmmm pecel di tengah-tengah mereka.
Setelah berbasa-basi menghabiskan masakan yang sudah disajikan pemilik rumah, dilanjut jagongan, diskusi dimulai dengan pemantik yang memberikan bahan diskusi Rabu Wijilan. Ini yang pertama bagiku, kebetulan saja di Jogja, syukurlah, saya berkesempatan. Sudah sejak lama tak berdikusi.
“Jadi, malam ini, kita akan berdiskusi tentang agama, kalangan menengah, dan penyimpangan. Hmm sebelumnya untuk dua komponene di atas akan dijelaskan terlebih dahulu,” kata pemantik.
Dia mempertanyakan, sebenarnya bagaimana kalangan menengah memfungsikan agamanya, atau seperti bagaimanakah hubungan kalangan menengah dengan agama yang mereka anut. Berbagai macam bentuk dan contoh mulai disebutkan oleh masing-masing yang datang.
(ketika saya ingin menuliskan ini terjadi berbagai pertimbangan di kepala saya. Seperti, apakah ini pantas, atau memang pilihan bagi mereka yang mengambil sikap demikian. Analisis-analisis yang kami buat dalam diskusi juga terjadi dengan sendirinya. Kadang mencelat ke hal-hal lain yang tidak tentu arah, tapi memang disengaja untuk tidak banyak membeatasi imajinasi kami. Tapi ragu juga saat mau menuliskan. Apakah karena saya terbiasa menkonvirmasi hasil record wawancara saya, sehingga berharap tidak ada kesalahpahaman dalam penulisan dan penyampaian, atau karena ketakutan ada yang komplain dengan ide-ide atau pendapat kami dalam diskusi itu. Meskipun begitu biarin saja lah,,,, diskusi ini umurnya sudah setahun lalu hehe,,, mungkin orang yang berdiskusi juga sudah lupa)
“Misalnya kelompok kalangan menengah atas yang menyelenggarakan pelatihan salat khusu’. Seperti les privat, ada biaya yang harus dikeluarkan. Jangan-jangan menjadi gaya hidup, untuk mencari ketenangan spiritual tertentu, di tengah-tengah kesibukan kerja, kalangan menengah membentuk budaya islam dengan versi mereka. Bahkan ada yang harus memiliki kartu member jamaah tertentu. Tentu saja di lain sisi akan menimbulkan kesenjangan, karena akses terbatas,”
 “Belum lagi fenomena haji. Motif haji saat ini akan sangat beragam. Tidak bisa dipungkiri. Akses dan fasilitas berhaji pun bisa dijual dengan kriteria sesuai kantong calon haji. Tidak seperti zaman dulu. Mau haji, harus naik kapal, berbulan-bulan, bahkan disempatkan belajar dengan beberapa pemuka agama atau masyayikh di sana. Ada juga forum diskusi dari berbagai wilayah negara menceritakan kondisi masing-masing. Maka terjadilah dialog untuk saling membantu baik secara ekonomi maupun politik antar umat Islam dari seluruh belahan dunia waktu itu. Lah sekarang, haji jadi salah satu sarana untuk mencitrakan diri. Baik secara politik maupun kesan feodalisme bagi sebagian masyarakat. Haji menjadi bagian dari status sosial masyarakat, bukan tahapan kewajiban ritual agama saja. Tidak hanya makna spiritual. Tapi lebih karena kebutuhan dunia.       
“Akumulasi kapitalisme dalam ritual. Semacam itu mungkin,” aku menimpali.
“Ndak cuma soal agama, termasuk moral, ne nyampe model baju. Memanfaatkan moral dalam hukum agama untuk bentuk-bentuk style atau gaya hidup yang dibilang trend. Seperti beberapa mode pakaian muslim yang banyak dipertontonkan di sinetron-sinetron. Sangat gak masuk akal tuh, jika untuk kegiatan sehari-hari harus berpakaian seribet itu, kerudung diputer-puter, pakaian berlapis-lapis, lah nek mau salat malah susah tow, dandan saja bisa berjam-jam,” protes perempuan yang memang nampak sederhana dengan kerudung menempel apaadanya.
“Ye, kalau soal style kan memang urusane mode dan keinginan konsumen.Hmm, iklan kale di sinetron pakai gituan. Mosok yo tiru modelmu, rak payu sinetrone ra….” celetuk suara tanpa rupa.
Lagi serius berdiskusi sms itu muncul lagi, entah apa yang dipikirkan orang ini. 
”Menurutku, kapitalisme itu bukan memanfaatkan hukum agama, tapi memang Islam sudah terlalu dekat dengan kapitalisme. Islam sendiri yang mendekatkan diri terhadap kapitalisme. Tidak beda dengan Kristen. Kristen dan kapitalisme sudah menyatu,”
Dasar, ini orang selalu saja membuat komentar seenaknya. Apa maunya coba dibilang deket-deket gitu, menjeneralisir. Padahal ada bagian dari Islam yang bernama sufisme, yang sering bertolak belakang dengan prinsip-prinsip kapitalisme. Saya belum punya waktu untuk membantah orang ini, nanti dulu saja, jika ada waktu senggang. Hmmm mendengarkan diskusi kembali.
”Sori aku lagi ngomong, ada pertanyaan yang menarik. Mereka pinter-pinter ini, anak universitas ternama,” balasku atas smsnya.
“Iya, mereka pinter. Bacaannya banyak,”
“Enaknya di jogja tuh gene. Jagongan enam orang aja cukup,”
”Njenengan cocok di Jogja,”
“Baiklah, aku simak dulu jagongan mereka yah,”
Keberadaan FPI malah mengukuhlan legitimasi agama2 itu
“Hmm tapi diskusine lompat2
Tapi bagus berbagi tentang pengalaman masing2” smsku lagi kepada orang itu.
“ Intereksi pondok modern dengan masyarakat sekitarnya,” kembali aku sadar bahwa aku masih di tengah diskusi.
“ Elit gak nya terpenting sistem pondoknya,”
 “Interaksi sosial kan tidak harus harus santrinya.”
 “Lembaga yang ada relasi dengan masyarakat sekitarnya”
Hubungan sosial zaman sekarang berbeda, yang dominan yang terinstitusi dg baik.”
 “Apakah agama ditakdirkan, setelah hidup sekali berarti setelah itu mati.”
Apakah ada selalu melakukan pencarian?”
 “Agama pertama kali muncul berupa ajaranm,” Kata temenku
“ kemudian berubah jadi penjajah, butuh disiplinkannorma baru, apa yang menjadi aturan baru, yang sebelumnya tidak adaSudah ada akumulasi power, orang2 yang memegang otoritas, punya power untuk menggerakan, kepentingan lain yang menyusup
Jangan2 agama tdk usah dilembagakan saja,”
Kalau agama tidak dilembagakan, akan kehilangan fungsi utamanya, memberi kepastian hokum dan membentuk kode tertentu, persis seperti negara modern.”
Bisakah kita meminimalisir esos negatif dari agama, efek otoritas dan legitimasi,”
Negosiasi bersifat elitis, untuk kepentingan sendiri, bagaimana negosiasi itu membawa suara kalangan bawah,”

Diskusinya masih panjang, tapi waktu juga semakin malam. Aku terpaksan harus meninggalkan, takut kalau-kalau kos sudah ditutup oleh induk semang. Bisa tidak punya tempat tidur sepanjang malam. Memang masih menggantung, tapi saya pikir akan lebih baik, suatu kali akan dilanjutkan kembali.

You Might Also Like

1 komentar: