Culture, Modernity and Gender

00.22 Unknown 1 Comments



Laporan Kunjungan Sekolah Pluralism ke Kraton Yogyakarta Part-2
Pendar-pendar cahaya merah senja masih jelas di langit. Jalan Malioboro nampak padat, Terlihat lampion merah sisa perayaan Tahun Baru Cina. Beberapa pemain music perkusi pun sedang tampil meramaikan jalanan. Lima mobil melalui Gerbang Plengkung Kraton Yogyakarta, berjalan mengikuti arah selatan dan masuk dalam tembok-tembok besar yang semakin menyempit.
Turun dari mobil, tamu mendapatkan arahan abdi dalem kraton, mereka berjalan beriringan melewati pendopo yang di dalamnya beberapa perangkat gamelan. Pada ruangan utama, kursi-kursi yang telah ditata sejajar dan saling berhadapan. Bagian ujung paling depan terdapat sepasang kursi warna merah tua dengan ukiran lambang Kraton Yogyakarta. Di belakangnya, papan pembatas  warna cokelat berukiran hewan, bonsai sakura di tengah dan di sisi kanan kiri secara simetris ada dua guci cina sebesar orang dewasa bergambar merak.
Ngarso Dalem, Raja Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono X dengan ramah menerima peserta Sekolah Pluralisme Kewargaan (SPK) UGM Yogyakarta, yang diselenggarakan kerja sama Pusat Studi Agama dan Lintas Budaya UGM, Hivos dan The Kosmopalis Institut of University for Humanistics Belanda, Kamis (21/2) malam di Kraton Nyayogyakarta Hadiningrat.
Sultan Hamengku Buwono X memberi kesempatan peserta SPK untuk berdiskusi berbagai persoalan yang menjadi pengalaman peserta sekolah pluralism. Setelah beberapa prinsip budaya dan filosofi Jawa dijelaskan oleh Sultan sebagai dasar pengelolaan keberagaman, maka Sultan juga menerangkan lebih lanjut tentang tantangan budaya dalam menghadapi modernisasi, isu perpecahan dan masalah gender.
Sultan menyebutkan lima kualifikasi yang menjadi identitas etnik, yakni bahasa lokal, menu makanan lokal, cara berpakai lokal, tradisi dan filosofi lokal. Hal terpenting yang seharusnya dibangun dalam peradaban manusia adalah bagaimana manusia berbudi luhur dan berintegritas. Namun sayangnya, pasca-kemerdekaan, pembangunan hanya menggunakan pendekatan ekonomi. Akhirnya, menurut penilaiannya identitas Negara saat ini hanya diukur dengan sejumlah uang. Masyarakat grassrote melihat orang kaya itu jauh dihargai dari pada orang yang bermoral baik. “Akhirnya yang dijumpai apa? Bagi-bagi kekuasaan. 2014 bingung ya kan? Sedangkan bagi saya, buka siapa yang akan dipilih, tetapi bagaimana politik ‘bagi-bagi kekuasaan’ harus runtuh di Republik Indonesia ini. Kalau tidak dirubah akan sama lagi, pertanyaannya akan selalu kapan akan mendapat bagian? Bukan didasari pengabdian,” keluhnya.      
Salah satu peserta dari Jawa Tengah, Burhanudin, pegawai Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial Jayapura, Papua, menceritakan pengalaman dan kesulitan yang dihadapinya selama bertugas empat tahun terakhir. “Saya mempososisikan diri dengan berbagai identitas ketika berada di papua. Identitas sebagai abdi negara, Orang Jawa sekaligus pendatang. Saat ini, pandangan dikotomi antara orang asli dan pendatang sangat kuat. Kalau memang dialog itu menjadi salah satu atau mungkin malah satu-satunya jalan, seberapa besar masa depan Papua agar tetap menjadi bagian dari NKRI,” tanya Burhan.

Mengenai isu kemerdekaan Papua dan masalah sosial di sana, Sultan Hamengku Buwono X memberikan beberapa tawaran solusi. 
Burhanuddin diminta untuk berupaya sekuat tenaga menangani masyarakat yang kehilangan lahan pertaniannya dengan kegiatan ekonomi lainnya. Khususnya,  masalah ekonomi yang harus dibebankan kepada penduduk Papua. Pertama, terkait kebutuhan beras. Bagi masyarakat Papua dalam setahun membutuh 20 ribu ton beras. Bulog mempunyai 7 ribu ton beras, sedangkan beras yang beredar di petani sebanyak 13.000. Namun, pemerintah justru mengimpor beras dari Surabaya sebanyak 6 tibu ton. Dengan demikian Bulog memiliki persediaan 13 ribu ton. Masalahnya beras sebanyak 13 ribu ton di petani itu tidak dapat didistribusikan, karena semua kebutuhan TNI, Polri, dan PNS dicukupi Bulog. Kedua, banyaknya pengangguran di kota besar.  Mereka adalah petani dengan  metode ladang berpindah. Terdapat tiga periode dalam setahun untuk masa tanam. Namun, masa tanam menjadi dua periode karena tanah ladang berubah fungsi akibat pembangunan. Karena kehilangan satu periode tanam, maka mereka mengadu nasib ke kota tanpa keterampilan. Tapi justru sebaliknya, mereka menjadi pengangguran yang tidak memiliki rumah.

“Bisa tidak Bapak berkoordinasi dengan Pemerintah Pusat untuk mengurusi orang-orang kehilangan periode tanamnya dan tidak memiliki pekerjaan lainnya. Jangan sampai masalah sosial mengganggu stabilitas nasional,” harap Sultan kepada peserta tersebut.
Berhubungan dengan proses industrialiasisi dan modernisasi sebagaimana terjadi di Papua dan beberapa tempat lainnya, Sultan Hamengku Bowono X mengungkapnya perlunya perubahan paradigma. Menurutnya, kebudayaan harus berubah menyesuaikan dengan zaman dan tantangannya. Sultan mencontohkan konsep harmoni. Pada masyarakat agraris, persaingan tidak diperbolehkan karena akan mengganggu keharmonisan penduduk. Adapun masyarakat industru justru sebaliknya, semangat berkompitisi justru sangat diperlukan. Oleh karena itu pengertian harmoni harus mendapatkan nilai-nilai baru. Namun demikian, pada aspek-aspek universal nilai-nilai tidak akan lapuk oleh zaman.
Persoalannya kemudian adalah seringkali pada proses pembangunan masyarakat yang pada dasarnya sudah demokrat agamis, namun pendekatan yang dipakai pemerintah maupun kelompok akademis justru bukan menggunakan bahasa masyarakat etnis sendiri. Misalnya istilah demokrasi yang biasa dipakai oleh tentara, diaplikasikan kepada masyatakat etnis yang belum tentu bisa menterjemahkan istilah tersebut.
 “Untuk menyebut kebersamaan, setiap masyarakat memiliki budayanya sendiri. Bagaimana masyarakat sejahtera tergantung bagaimana masyarakat mendesain. Mestinya civitas akademis mudah menerima pendapat orang lain. Bukan justru ngotot untuk menang sendiri,” kritiknya.
Untuk mengatasi masalah tersebut, Sultan menegaskan bahwa etnik harus menjadi kekuatan berbasis kearifan local. Tantangan modernisasi harus dihadapi dengan perhatian penuh terutama meningkatkan taraf hidup masyarakat miskin. “Misalnya ubi kayu tidak hanya dijadikan sebagai produk pertanian, namun bagaimana menjadi bagian dari sektor industri. Menanam ubi kayu dilakukan pada hari yang sudah ditentukan, tidak lagi sesuka hati.  Maka kita harus mengubah budaya itu. Kalau yang miskin tidak didahulukan saya khawatir dia tidak bisa masuk ke sektor industri. Takutnya tidak ada peluang,” terangnya.
Isu gender juga menjadi perhatian diskusi yang berlangsung semakin larut namun justru semakin menarik ini. Peserta dari Perkumpulan Kelompok Perempuan dan Sumber-sumber Kehidupan (KPS2K) Surabaya, Iva Hasanah, mengutarakan apresiasinya terhadap kebijakan Ngarso Dalem yang telah memperbolehkan putrinya menikah, meskipun harus mendahului salah satu kakaknya. Selain itu, dia juga meminta penjelasan tentang upaya meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik.
“Kraton menjadi ikon perubahan gaya Jawa, ketika ada pernikahan yang dilaksanakan kemarin. Menikahnya tidak urut. Hal itu berdampak sangat jauh hingga pada masyarakat di grass root, menjadi sesuatu yang berbeda, sehingga terjadi perubahan sudut pandang,” tutur Iva Hasanah.

Pada kesempatan itu pula, Sultan Hamengku Buwono X, menerima permintaan Pesantren Waria untuk berkunjung ke Istana, sebagaimana disampaikan oleh salah satu peserta yang sebelumnya telah melakukan dialog sebelumnya dengan mereka. “Bagi saya bertemu dengan waria tidak masalah, tapi tolong buat surat dulu. Kapan mereka punya waktu, kalau bisa dua atau tiga tanggal, biar nanti saya yang memilih. Kira-kira saya bisa kapan. Kan mereka lebih banyak, pasti sulit untuk menentukan agar semuanya bisa datang, kecuali kalau saya kan sendiri, bisa mengatur waktu lebih mudah. Baiknya pagi atau siang pada hari libur, saya membutuhkan waktu yang agak lama,” jelasnya.   

Merespon pertanyaan tersebut, Gusti Kanjeng Ratu Hemas memberikan jawaban yang sangat positif. Pihaknya berusaha untuk bagaimana perempuan harus masuk dalam politik, lembaga penentuan kebijakan baik eksekutif maupun legislative. Misalnya pada system kepemimpianan politik, beliau mengupayakan agar salah satu dari calon kandidat, baik ketua atau wakil, harus perempuan. Hal itu memang membutuhkan negosiasi politik yang sangat sulit. Perempuan juga harus mengikuti Musyawarah Perencanaan Pembangunan (musrembang) di setiap daerah.

You Might Also Like

1 komentar: