Politisasi Studi Agama di Malaysia-Indonesia

01.25 Unknown 0 Comments

Mahasiswa CRCS belajar di Wihara Mendut
Studi agama memiliki tujuan politis dalam rangka menciptakan identitas. Berdasarkan kurikulum maupun latar belakang tujuan jurusan pendidikan tersebut, Malaysia dan Indonesia memiliki hal-hal menarik untuk dibandingkan. Tidak hanya terkait perkembangan studi agama secara general, tetapi juga tantangan negara terkait dengan isu-isu politik-sosial di sekitarnya.
Demikian dijelaskan oleh dua narasumber, Jeffey T. Kenney , Professor Religious Studies di Departmen Religious Studies, DePauw University, USA dan  Dr. Samsul Ma'arif, Koordinator Akademik Center for Religious dan Cross Cultural Studies (CRCS)  pada Wednesday Forum yang diselenggarakan, 5 Juni 2013 di Gedung Pasca Sarjana UGM.
Kenney menjelaskan tentang penelitiannya terkait studi agama di International Islamic University Malaysia (IIUM). Secara ringkas, dia menerangkan tentang sejarah pendirian dan kondisi umum IIUM. Terdapat tiga departemen untuk pendidikan agama, yakni Departemen Quran dan Sunnah, Departemen Fiqh dan Ushul Fiqh, serta Departemen Ushul Al-Din dan Perbandingan Agama.
Secara politis dalam kasus Malaysia, sejak tahun 1981 Dr. Mahathir Mohamad, Perdana Menteri Malaysia ketika itu, mencoba untuk mengontrol kebangkitan Islam. Menurut Kenney, kebijakan Mahathir yang otoriter berupaya untuk mempromosikan program islamisasinya. Maka, salahsatu cara yang digunakan adalah dengan menguatkan identitas Malaysia sejajar dengan identitas Islam di tengah budaya multi-etnis.
Dalam rangka kontrol gerakan revivalis Islam, Pemerintah Malaysia melakukan pelembagaan Islam dengan luasan tertentu. Hal itu seperti dalam mengislamkan sistem perbankan, administrasi, dan pendidikan. Termasuk pembentukan IIUM dengan susunan kurikulumnya, yang di antaranya menyebutkan bahwa fokus pengetahuan untuk perbandingan agama adalah pengetahuan tentang agama-agama lain dari perspektif Islam.
Kenney mempertanyakan bagaimana pendekatan berdasarkan perspektif Islam itu akan memperlakukan non-muslim secara adil dan memberikan kontribusi dalam Akademi Studi Islam. Disamping pihaknya juga tertarik apakah pendekatan tersebut kompatibel karena dalam waktu bersamaan tetap harus mempromosikan keadilan, toleransi, dan harmoni dalam masyarakat yang multi agama dan multi rasial.  
Dalam perspektif Islam, Islam adalah satu-satunya kebenaran. Adapun agama-agama selain Islam didiskripsikan bertentangan dengan Islam. Akibatnya pendekatan studi perbandingan agama akan memperjelas batas-batas identitas. Meskipun demikian, tetap dalam perspektif Islam, hal itu juga diyakini akan berkontribusi untuk toleransi dan harmoni di Malaysia. Sikap tersebut berdasarkan penolakan terhadap pluralisme yang dinilai berpaham relative dan sekuler dan berakar dari Budaya Barat.
Studi agama di IIUM, bagi Kenney, tidak hanya menempatkan ‘objektivitas’ dalam metodologi Barat sebagai keangkuhan intelektual. Namun, studi tersebut juga menggunakan metode kritik untuk menantang pemahaman teologis agama lain. Kedua hal ini berdasarkan ajaran dasar Islam yang dipandang sebagai hal yang lebih benar dan mendorong perspektif kritis di atas.
Kenney menyebutkan beberapa kesulitan yang harus dihadapi dengan pendekatan pendidikan perbandingan agama di Malaysia. Di antaranya kesulitan itu adalah penyusunan pengetahuan dasar agama-agama lain sementara masih terus dipertanyakan keobjektifannya. Kemudian, menyeimbangkan sikap adil terhadap agama lain dengan tetap mempertahankan kebenaran esensial Islam.
Sementera itu, Saamsul Maarif, Dosen CRCS UGM membandingkan kondisi Malaysia dengan Indonesia. Selama masa Orde Baru, pendidikan bertujuan tidak hanya melindungi budaya nasional tetapi juga mendukung modernisasi. Oleh karena itu, keragaman agama dan budaya tidak mendapatkan ruang cukup untuk diekspresikan. Selebihnya, pendidikan menekankan pada homogenisasi negara pada Pancasila, kewarganegaraan, sejarah nasional dan pendidikan agama.        
Sejak 1960, agama menjadi subjek yang berkewajiban untuk sekolah umum dalam upaya berhadapan dengan pagam komunisme dan proses religionisasi warganegara. Kemudian, Keputusan Presiden No.15 tahun 1972 dilanjutkan Instruksi Presiden tahun 1974, ditentukan bahwa pendidikan formal harus terdaftar secara administratif di bawah menteri pendidikan. Keputusan tersebut mendapatkan perlawanan dari pemimpin-pemimpin agama. Mereka mencurigai bahwa kebijakan tersebut dipengaruhi oleh sisa-sia komunis di birokrasi pemerintah. selain itu, tidak terdapat ahli dalam bidan pendidikan agama islam di Kementerian Pendidikan. 

Dia mengungkapkan modernisasi pendidikan agama yang masih dalam framework homogenisasi oleh negara telah menempatkan kesadaran terhadap keragaman semakin berkurang. Oleh sebab itu, CRCS didirikan pada tahun 2000 dengan visi untuk mencapai keadilan dan demokrasi dalam masyarakat multi-cultural.  Agama sebagai fakta sosial budaya akan sangat berguna untuk menciptakan jembatan dalam keragaman tersebut. Agama sebagai konstruksi akademik memiliki tiga konsentrasi studi di CRCS. Ketiga studi tersebut adalah agama dan isu kontemporer, hubungan antar-agama, serta agama dan budaya lokal. Dengan menggunakan pendekatan multi-disiplin, diharapkan CRCS menjadi ‘academic engagement’ dalam jalan baru studi keagamaan.  (Mahmudatul Imamah/CRCS UGM)

You Might Also Like

0 komentar: