Budaya Cina dalam Kultur Masyarakat Jawa-Cina Tulungagung

00.38 Unknown 1 Comments

dari kiri dikenal dengan Kong F Tse ,, tengah, saya lupa, dan ketiga dikenal dengan pendiri Touisme.














Hampir di setiap kota di Indonesia saat ini akan ditemukan satu dua atau lebih klenteng atau bangunan umat beribadah masyarakat Cina. Mereka yang sudah berpuluh-puluh tahun dari nenek moyang hingga saat ini menjadi bagian dari Indonesia. Akan sangat menyenangkan jika sejak dini mahasiswa mengenal masyarakat yang beragam dari lingkungan mereka sendiri. Sebenarnya, tidak lah baru untuk mahasiswa Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah IAIN Tulungagung berkunjung ke beberapa rumah ibadah. Tradisi ini sudah lama dirintis oleh HMJ, bahkan mereka membuat paguyuban anak muda antar iman.

Nah, semester ganjil kemarin saya mengajar kelas Perbandingan Agama di jurusan tersebut. Maka, aku usahakan untuk melakukan kunjungan dan mulai membangun hubungan ke salah satu Klenteng di Tulungagung. Klenteng ini terletak di pinggiran jalan besar sehingga mudah sekali ditemukan. Nama Klentengnya adalah Tjoe Tik Kiong, terletak di Jalan Wage Rudolf Supratman No. 10 Kelurahan Kampungdalem, Kecamatan Tulungagung, Kabupaten Tulungagung. Jalur bus dari Tulungagung ke arah Surabaya akan melewati klenteng ini, letaknya juga berdekatan dengan hotel yang cukup besar, yakni Hotel Bharata.

narasumber atau Guru di Klenteng menjelaskan kepada mahasiswa tentang beberapa simbol,

Untuk dapat berkunjung ke klenteng ini, saya menghubungi pengurus dan merencanakan kedatangan mahasiswa. Secara sangat baik, pengurus dan keluarga besar klenteng menyambut kedatangan mahasiswa dan langsung diajak untuk berkeliling. Berbeda dengan sebagian besar masyarakat yang menilai bahwa warga cina adalah beragama Kong Hu Chu, namun perlu diketahui bahwa terdapat banyak sekali varian kepercayaan dan keyakinan masyarakat cina, namun yang paling mudah dikenali adalah dengan melalui budayanya, seperti simbol dan ragam keseniannya. Seperti juga klenteng ini, tidak hanya untuk penganut Kong Hu Chu, seperti juga budaya masyarakat Cina untuk menghormati nenek moyang dan dewa-dewi yang dipercaya memberikan berkah dan doa kepada kehidupan mereka. 

Ada juga dari pengguna klenteng yang memiliki keyakinan Buddha Matrayana, salah satu dari varian Budhisme yang mengenal tokoh Buddha Matrayana. Nah, sampai di sini ceritanya sangat panjang, perlu belajar lagi untuk menjalskan berapa banyak varian tradisi keagamaan dalam agama Buddha. Khusus untuk Kong Hu Chu juga memiliki altar di klenteng ini. So, sungguh benar-benar tidak ada yang seragam atau tunggal bahkan pada satu rumpun budaya sekali pun, tidak hanya pada Islam, Jawa atau identitas lainnya.
salah satu pahatan atau relief di dinding klenteng adalah cerita tentang 36 Buddha

Oke, dalam gedung Klenteng yang tampak kecil dari luar ini, sebenarnya terdapat banyak ruangan dan luas dan penuh dengan simbol dan ajaran budaya Cina. Dari Halaman Paving, itu sebelah selatan adalah aula besar yang biasanya digunakan untuk acara-acara bersama, kemudian ada ruang pertemuan, dan ruang pengurus, kemudian lokasi peribadatan.

Untuk masuk ke dalam klenteng, yang ingin berdoa harus cuci tangan dan berdoa (dengan bahasa cina tentunya... ) dan terdapat pendeta yang akan membunyikan semacam mangkuk dari kayu dan besi yang dibunyikan berturut-turut dan nyaring. Kemudian, orang tersebut akan mengambil dupa untuk dipersembahkan dahulu kepada Thian, atau Tuhan yang Maha Esa, altarnya terletak di paling depan klentang, akan terlihat dari luar klenteng, yakni berupa gentong besar berwarna emas dan ditanamkan di situ dupanya, diapit dengan beberapa lilin raksasa berwarna merah. Orang tersebut akan melakukan sujud sebanyak tiga kali berturut-turut, dalam rangka membersihkan hati.
altar untuk penganut Kong Hu Chu

Kemudian, orang tersebut menuju kepada dewa yang berada di Klenteng Tjoe Tik Kiong dikenal dengan Mak Co Thian Siang Seng Bo merupakan Dewi Laut,. Dewi ini memiliki banyak cerita yang dirasakan langsung oleh masyarakat Tulungagung, salah satu dari narasumber, menceritakan bahwa terdapat seorang nelayan yang hampir mati tenggelam karena badai yang menerpa kapalnya, kemudian melihat sosok perempuan dan menyelamatkannya, hingga ia menemukan bahwa sosok tersebut berada dalam Klenteng Hok Tek Tjeng Sien sebagai seorang Dewi Pelindung.

Di ruangan yang sama, juga terdapat Dewa Hok Tek Tjeng Sien (Dewi Bumi) dan Ka Lam Ya. Ka Lam Ya adalah salah satu ‘malaikat pintu’ versi Buddha yang sering digambar (berpakaian perang lengkap dengan membawa kampak sebagai senjatanya) di daun pintu bersama-sama Wie Tho (berpakaian perang dengan membawa gada penakluk iblis), sebagai pelindung bangunan-bangunan suci atau klenteng.

Di dinding ruangan ini terdapat lukisan yang seperti pahatan, dan juga perlengkapan persembahyanngan lainnya, seperti lemari yang menyimpan catatan berdoa (ramal) khas budaya Cina, seperti menggunakan bidak kecil dua dari kayu sama persis dan dilempar bersamaan setelah berdoa. Kedua bidak itu akan merujuk pada jawaban dewa terhadap pertanyaan umat manusia. Selain itu, juga ada metode bertanya dengan beberapa bilah kecil bambu yang sudah dinomeri (menggunakan nomor cina tentunya), sehingga orang berdoa bisa menggoyang tempat bilah dengan pelan-pelan hingga terdapat satu dari banyak bilah tersebut jatuh. Nah, angka yang berada pada bilah akan tertuju pada lemari catatan doa, dan akan dibacakan oleh pendeta, mau mencoba?

Kemudian lagi, masuk ke ruanga di balik ruang pertama tadi, terdapat ruang untuk persembahyangan  kepada Kwan She Im Pho sat (Dewi Welas Asih), Kong Tek Cun Ong (Raja Mulia yang memberi berkah berlimpah), dan Co Su Kong (Dewa yang berwajah hitam dari Cadas Air Jernih). Di ruang yang sama itu juga terdapat persembahyangan untuk umat tridharma, yakni terdapat Kong Hu Chu, Tao, dan juga Buddha Matrayana. Ruangan ini lebih terang dan pencahayaa yang baik, dicat putih berbeda dengan ruang sebelumnya yang hampir semua ornamen berwarna merah dan emas. Ruang ketiga adalah untuk peribadatan umat Buddha, ruangannya sangat luas dan tenang.


altar di ruang ketiga

Kunjungan ini juga dilengkapi dengan dialog dan saling bertukar cerita dan ramah tamah, semoga para mahasiswa dapat mendapatkan pengalaman yang akan mempengaruhi cara pandang mereka tentang Indonesia, selain itu juga saya sangat berterima kasih kepada pengurus yang memberi banyak sekali pengatahuan, persahabatan dan keramahan. Semoga ada kesempatan lagi untuk berkunjung dan bersilaturahmi. 

You Might Also Like

1 komentar: