aku dan Ibu-ibu Masyarakat Kendeng

20.16 Unknown 1 Comments

Pagi ini saya merasa sangat terharu dan ingin menangis, maaf lebay, kadang memang saya berlebihan cengengnya. Setiap kali saya melihat berita dan informasi yang mengungkit tentang eksploitasi manusia terhadap bumi apa pun alasannya, saya benar-benar tidak mengerti mengapa harus demikian. Kasus Kendeng, piye ora mbuka atine wong sak jagad, betapa seorang petani dengan bangga menyatakan hidupnya bahagia dan sejahtera lebih dari apapun (dalam ungkapan Gunretno, koordinator Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK), pada acara MetroTV 21 Desember 2016 )  lebih dari beragam bentuk modernisasi dan harapan akan ‘kehidupan yang lebih baik’ yang ditawarkan oleh pabrik semen. Ungkapan tersebut diberikan untuk meyakinkan kepada manusia modern lainnya bahwa menjadi petani bukanlah sesuatu yang disesali dan merasa bentuk kesejahteraan lain yang ditopang oleh hasil-hasil modernisasi dan teknologi yang dikembangkan oleh manusia.

Manusia terus mengalami dilema, jika memang itu yang terjadi, antara memenuhi kebutuhannya dan lingkungan di sekitarnya yang harus dijaga. Saya sendiri juga bertanya-tanya, jika saya tidak setuju dengan pembukaan pabrik semen di suatu tempat, tapi bagaimana mungkin jika saya sendiri dan jutaan orang lain di Indonesia membutuhkan semen, untuk membangun rumah-rumah, bangunan pendidikan, masjid,, dan semua ‘pembungunan’ yang akan terus bertambah tiap hari, tiap menit, tiap detik,,, dan sepanjang ‘kehidupan yang lebih baik’ terus dituntut dan diukur dalam sebuah bangunan. Menteri BUMN telah menegaskan bagaimana mungkin proyek yang sudah digulirkan dana sebanyak 5 triliun harus berhenti, tentu saja bahwa semen itu akan sangat bermantaan untuk ‘pembangunan’ Indonesia.

Kita sebagai manusia modern, terkadang tidak menyadari betapa kehidupan yang berlangsung di sekitar sangat tergantung gunung yang terletak jauh di bangunan rumahnya dan hanya dilihat di lukisan yang menggantung di kamarnya. Kita menginjak keramik dan aspal ketika berjalan, tanah hanya bagian dari kotor yang akan merusak suasana hari Anda. Segala yang diharapkan adalah kemudahan dan kenyamanan. Bahkan, bentuk perumahan, perkantoran dan taman sekalipun berlomba-lomba menawarkan tema ‘green’, tapi tidak lebih baik dari daun-daun artifisial yang menggantikan kerindangan pohon-pohon dan pengharum ruangan yang tak lagi membutuhkan wanginya kembang sedap malam. Dan jika masyarakat modern ini membutuhkan rileksasi, maka akhir pekan atau liburan panjang baru mereka berbondong-bondong ke gunung, mencari udara dingin dan kesegaran alam yang sedikit banyak dirindukan di tengah hiruk pikuk kota. Bagaimana manusia ini bisa memahami betapa pentingnya tanah dan gunung kendeng bagi masyarakat petani-petani Kendeng.

Tanah, untuk manusia, tidak hanya dimaknai sebagai tempat tinggal, tetapi juga akar sosial dan budaya yang mendasari setiap cara hidup manusia (ways of life). Gaya kehidupan di atas, bukan berarti tidak membutuhkan tanah, tetapi cara memaknai manusia terhadap tanah atau pun bumi terus berubah. Jika manusia pada zaman dahulu sekali menganggap tanah pohon dan segala yang tumbuh dari bumi adalah bagian suci dan kekuasaan yang sangat mempengaruhi kehidupan mereka, namun makna ini menjadi berubah dengan kenyataan baru bahwa manusia mampu menaklukkan alam dan menggunakannya untuk kepentingan manusia. Hanya dengan mengetahui ilmunya dan melakukan berbagai rekayasa maka bumi akan dengan mudah mengatakan iya untuk segala keinginan manusia.

Gaya pemikiran manusia zaman dahulu ini akan kita sebut sekarang sebagai manusia tradisional. Katakanlah manusia yang menggunakan cara-cara kuno dan tidak efisien, berat menyebalkan dan bahkan tidak memberikan kemajuan sama sekali terhadap ‘pembangunan’ kita. Atau mungkin kita akan melihat yang tradisional itu sebagai ‘wisata’ terhadap kehidupan kita yang cukup rumit dikelilingi dengan mesin. Namun, cara pandang ini lah yang menyelamatkan kita dari segala bentuk kemarahan alam yang telah lama kita dengar beberapa tahun terakhir.

Di antara kita tidak akan pernah berpikir tentang bagaimana mata air itu agar terus terjaga, jika kita dengan mudah cukup dengan membeli air galon dan mengisi kolam renang dengan air bersih yang disediakan oleh pembangun perumahan. Mata air itu jauh dari lokasi kita berada dan bahkan kita tidak bisa membayangkan bagaimana bentuknya, selain apa yang kita kunjungi sebagai air terjun atau wallpaper air jernih dalam laptop. Tapi, ibu-ibu Masyarakat Kendeng ini harus bersusah payah bertahun-tahun berteriak dan mengorbankan segala waktu jiwa dan raganya untuk mempertahankan mata air.

Mungkin anda berpikir bahwa mata air gunung Kendeng bukanlah mata air yang digunakan untuk air minum anda sehari-hari apalagi jelas anda tidak punya apa pun terhadap para petani ini. Tapi bumi yang anda tempati sekarang bukanlah tempat yang terpisah dari yang mereka tempati, para gunung bersaudara, segala pohon memiliki akar yang saling mengikat, begitu juga dengan jumlah air dan segala udara yang mengambang di antara hidung dan angin yang sampai pada kulit anda. Segala bentuk perjuangan dibutuhkan untuk kehidupan yang ingin terus dipertahankan, dan ibu-ibu Masyarakat Kendeng ini tahu betul dengan hubungan  batin antara manusia dan bumi. Sebagaimana perasaan anda kepada anak-anak anda dan orang tua anda.

Saya hanya berharap bahwa saya sendiri mampu bersikap adil terhadap bumi. Rasa keinginan saya terhadap kebutuhan hidup itu setidaknya mampu bergaris sejajar dengan bahagianya bumi bergaul dengan saya. Saya kagum dengan ibu-ibu Masyarakat Kendeng, kekaguman saya terkadang juga membawa rasa sebel terhadap orang-orang yang berpikir untuk dirinya sendiri, bahwa kehidupan mereka akan lebih baik dengan adanya pabrik semen. Tapi mau bagaimana lagi, tentu saja, hal itu benar adanya bagi mereka, tanah sawah sudah dijual untuk kebutuhan lainnya, unit pekerjaan lain lebih dibutuhkan, petani tidak lagi memberikan janji kemakmuran, keramaian akan membuka banyak bidang usaha.

Keinginan manusia seperti lingkaran setan. Tidak akan berhenti hanya dengan habisnya bumi ini. Tapi segala yang terjadi disadarkan pada ‘keinginan Tuhan’ yang mereka bela setengah mati. Hai Manusia, ingatlah.. bumi ini lebih membutuhkan dirimu lebih dari siapa pun, maka Tuhan akan berpihak padamu. Hanya dengan bertanggung jawab dan bersikap adil, maka kita berharap bumi tidak marah begitu juga dengan Tuhan. Apakah menurutmu Tuhan akan membela kita saat bumi marah? Apakah Anda yakin bahwa Anda lebih baik dari bumi dalam menyembah Tuhannya?

You Might Also Like

1 komentar: