Kerancuan Politik dalam Polemik Agama

22.09 Unknown 1 Comments

Peserta Sekolah Pengelolaan Keragaman angakatan ke IV berdialog dengan
penganut kebatinan Noto Bawono Bantul Yogyakarta
Proses religionalization in Hefner term ( ‘islamization’ and christianization – spesific term by Picard) memberi dampak pada marginalisasi ‘adat’, ‘kepercayaan’ dan sistem lainnya yang yang tidak tercover dalam pengertian ‘agama’ oleh pemerintah ( and influenced by certain political religious leader). Namun demikian, bukan berarti mereka (penganut kepercayaan) tidak mengalami perkembangan atau justru berkurang, tetapi lebih pada bentuk proses transformasi penyesuaian diri. Sebenarnya, it is not clear how to read the thesis and sosio-politic argument of Hefner, meskipun it is helped by using Picard’s framework about power relation between state, religion and ‘adat’ in Indonesia. Proses transformasi tersebut tidak bisa hanya dibuktikan dengan statistik yang menunjukkan angka penganut ‘abangan’ semakin sedikit, tetapi juga dampak proses dari ‘internalisasi’ dan ‘asimilasi’ yang menghasilkan ‘produk baru’ dari tindakan masyarakat.  
Permasalahan yang membingungkan adalah, Hefner membandingkan dengan pendekatan antropologi kondisi ‘abangan’ (red side) dengan ‘santri’ (white side), yang dihasilkan oleh Cliffort Geertz (p. 73-80), namun juga menghadapkan kondisi kedua golongan tersebut secara politik (clash at 1965-66, p.82-84). Dalam kacamata Picard, hal itu bisa terjadi karena terdapat proses reduksi yang semakin sempit dari proses pendefinian agama, warganegara harus beragama (akibat dari tragedi pasca-pki) dan meluasnya puritanisme agama (khususnya Islam- pasca reformasi). Namun demikian, dengan menggunakan dua pendekatan tersebut menjadi sulit dibedakan bagaimana sebenarnya hubungan antara kedua golongan tersebut. Its needed to consider how to explain ‘red side’ as kind of system of belief in Indonesia rather than many argumens argue why it can collaps by facing of ‘white side’.


Proses transformasi ‘abangan’ memang sulit kembali dalam bentuknya tanpa berafiliasi dengan agama tertentu (sebagai tuntutan negara), namun dalam proses tersebut mereka tetap bisa mengamalkan apa yang mereka yakini, menggunakan simbol-simbol lama dengan makna yang baru. Hefner memang menyebutkan masih adanya berbagai ritual, namun dalam jumlah yang sedikit dan tetap berkesimpulan bahwa abangan collapsed. Padahal, sebagian besar masyarakat pantai maupun pegunungan terutama di Jawa masih melestarikan ‘the cult of village guardians and ancestors that lay as the heart of rural abangan’ (p.87). Ritual tersebut memang sudah dikemas dengan ‘doa’ (pengaruh Islam) tetapi tetap mempertahankan sesajen, proses ritual, lambang dan symbol, serta keyakinan atas ‘yang lain’. Bahkan pada ritual-ritual yang telah banyak masuk dalam tradisi islam jawa seperti upacara kelahiran (ngapati, mithoni, lahir, selapanan), kematian (pasar, nyatus, nyewu, and haul) dan others rituals. Pada ritual tersebut, masyarakat santri pun melakukannya dengan jenis makanan berkat (bancaan- sebagai ungkapan rasa syukur), seperti harus ingkung (ayam utuh), apem, bubur merah putih dan lain-lain. Oleh karena itu, kebijakan negara (factor politik) memang penting terkait hak-hak penganut kebatinan, dan pengakuan identitas mereka, tetapi hal itu tidak bisa menjadi ukuran bahwa kepercayaan ‘kebatinan’ akan punah di Indonesia.               

You Might Also Like

1 komentar: